Selasa, 27 Desember 2016

Takdir dan Marabahaya



Takdir dan Marabahaya


Seperti yang penulis singgung pada tulisan sebelumnya. Bahwa antara hukum-hukum Tuhan yang berlaku kepada makhluknya tersebut memiliki keberagaman bentuk dan sifat yang bermacam-macam. Silih berganti tak pernah lepas dan tak bisa menghindari dari yang namanya satu takdir. Apakah itu takdir kebahagian atau juga takdir kesengsaraan.

Ibarat pepatah mengatakan, “dimana kaki berpijak di situ langit ku junjung”, artinya adalah bahwa ada sifat baik dan buruk yang mesti kita sadari dalam kehidupan ini. Boleh jadi sifat baik itu berpadu dengan kita, akan tetapi sifat buruk ini jangan dipungkiri tentang adanya. Ketika ada sifat buruk menimpa sesuatu yang tidak menyenangkan hidup, maka kita cepat-cepat melontarkan penyebabnya adalah suatu takdir, dan sebaliknya bila sifat baik diberikan Allah Swt pada hidup anda, malah yang terjadi adalah melupakan kata “takdir” dan terkadang melampaui batas setelah Allah Swt memberikan kebaikan, kesuksesan tersebut.

Prinsip seperti yang di atas jelas sudah tidak sejalan lagi bila dikaitkan dengan petunjuk Allah dalam Alquran sebagai berikut :
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَّفْسِكَ...
apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri...”
(QS. an-Nisa’, 4:79)


Kalimat حَسَنَةٍ  di sini memiliki arti “nikmat, kebaikan (kebajikan)” yang menggambarkan bahwa kebaikan yang diterima setiap manusia, itu tidak luput dari pemberian Allah atau kehendak-Nya. Pada ayat sebelumnya diceritakan tentang kisah kaum munafik ketika mereka memperoleh kebaikan, lalu mereka mengatakan bahwa “ini dari sisi Allah”, namun pada saat mereka ditimpa satu keburukan, mereka lancang mengatakan “ini dari engkau (Muhammad)” (lihat QS.an-Nisa’ 4:78)

Penjelasan berikutnya dengan memakai redaksi kalimat سَيٍّئَةٍ yang mengatakan tentang bencana maupun marabahaya yang diperoleh setiap manusia bukanlah atas kehendak orang lain seperti perkataan kaum munafik di atas, akan tetapi itu merupakan hasil dari perbuatan (kesalahan) mereka. Walhasil, takdir yang buruk tidak diperoleh oleh setiap manusia kecuali dari hasil tindak-tanduk mereka sendiri. 

Sebagai contoh, dalam dunia balapan yang sering ditonton di media Televisi, sebut saja nama fens anda itu Valentino Rossi, beliau dijatuhi sanksi dari Race Direction MotoGP Malaysia akibat melanggar kode etik balapan yang mengakibatkan lawan balapnya Marc Marquez kecelakaan pada tikungan empat belas lap ke VII di sirkuit balapan. Sehingga Rossi diberikan sanksi pinalti pengurangan tiga poin. Bukan itu saja, akan tetapi pembalap dari Negeri Italia peraih juara dunia kesepuluh ini harus start memulai balapan di Valencia Spanyol pada tanggal 8 November 2015 dengan posisi belakang atau paling buncit. 

Musibah atau sanksi yang diterima oleh Rossi adalah merupakan hasil dari perbuatannya sendiri. Takdir ini menentukannya untuk memulai balapan di Spanyol berada pada posisi terakhir. Jika seandainya Rossi tidak melanggar kode etik balapan tersebut, barangkali sanksi itu tidak pernah dijatuhkan kepadanya. 

Selanjutnya, sedikit kita mengkaji firman Allah yang menyatakan bahwa suatu musibah yang terjadi kepada manusia itu sendiri adalah akibat dari ulah tangan atau ulah perbuatan mereka sendiri, hal ini bisa dilihat dalam Alquran sebagai berikut:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِى عَمِلُوا لَعَلَّهَمْ يَرْجعُوْنَ .
“telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. ar-Ruum, 30:41)

Kalimat أَيْدِى النَّاسِtangan manusia” di sini merupakan kata yang mewakili seluruh perbuatan manusia. Meskipun Allah Swt, tidak mengatakan dengan akibat kaki, akibat mata, akibat mulut manusia dan sebagainya, bukan berarti menutup kemungkinan bahwa malapetaka yang terjadi pada manusia itu adalah akibat dari pengucapan mereka, hasil dari pendengaran mereka. 

Hal ini merupakan rahasia yang menyimpan ribuan makna. Kendatipun demikian, harus diluruskan bahwa Allah Swt, memberikan malapetaka itu dengan memiliki tujuan yang berharga, salah satunya seperti ayat di atas “Allah Swt, menghendaki mereka kembali kepada jalan yang lurus”. Dengan malapetaka yang terjadi pada seseorang, tentunya ada hal yang harus dipahami secepatnya, yaitu mungkin dengan malapetaka tersebutlah dia (manusia) akan sadar, akan beralih kejalan yang benar. Berarti Allah memberikan malapetaka itu adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri.

Sebagai yang terakhir, harus disadari bahwa segala sesuatu yang bersumber dari-Nya adalah hal yang baik, Dia (Allah Swt), tidak akan memberikan ujian, cobaan, bahaya, malapetaka itu kepada setiap jiwa kecuali dalam hal kebaikan. Allah Swt menghendaki kebaikan-kebaikan kepada setiap jiwa, namun mereka (manusia) tidak menyadarinya. Wallahu A’lam...

Semoga bermanfaat.  Amin 

Minggu, 18 Desember 2016

Mengenali Diri Sendiri

Mengenali Diri Sendiri

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ

"Siapa-siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal tuhannya"


--------------------rajulkhan20.blogspot.com----------------------



Membahas tentang manusia, sudah tentu membicarakan diri kita sendiri sebagai makhluk paling unik di bumi ini, yang pada hakikat penciptaannya dari Tiada lalu menjadi Ada dan kelak akan ditiadakan kembali, hingga Allah Swt, membangkitkannya pada saat yang telah ditentukan oleh-Nya yang maha perkasa. 

Filsafat kontemporer secara hakiki terpusat pada pribadi manusia. Boleh jadi tanpa situasi historis, kita tidak bisa memahami apa dan bagaimana esensi diri yang sebenarnya. Dengan menggunakan Alquran sebagai referensi utama dan Sunah (Hadits) sebagai referensi pelengkap, manusia akan menemukan pengetahuan, petunjuk dan pedoman kehidupannya di dunia ini.

Pengetahuan hidup yang dijalaninya haruslah senantiasa dianalisis, sesuaikah dengan informasi yang dikabarkan oleh Alquran dan As-Sunah? Juga pengetahuan yang diperoleh selama ini sesuaikah dengan fitrah manusia atau sebaliknya menyimpang dari fitrah. Hanya dengan kebeningan hati dan kejernihan pikiran, manusia akan mampu melakukan penilaian atas perjalanan kehidupannya.

Alquran membuka pintu dunia baru, tentang kesadaran diri secara berurutan  sampai kepada kesadaran universal yang mampu mengenali dirinya sendiri siapa. Tanpa terikat pada satu golongan ataupun beberapa kelompok dan sekte-sekte tertentu. Manusia seharusnya mampu menyadari tanpa ada dorongan dari golongan tersebut untuk memikirkan eksistensinya di muka bumi, sehingga manusia tersebut dapat mengatasi persoalan-persoalan (hidup dan kehidupan) yang dihadapkan kepadanya dan tidak melemparkannya begitu saja.

1.    Hakikat “TIADA”
      
Hakikat yang pertama bahwa manusia tersebut berawal dari TIADA, tidak berbentuk, belum bernyawa, juga belum memiliki unsur-unsur lain yang mengikat manusia itu sendiri. Lebih lanjutnya bahwa manusia itu (cikal-bakal menjadi manusia tersebut) masih dalam perencanaan Allah untuk menciptakannya, yang pada awalnya bahwa manusia tersebut akan menjadi khalifah di muka bumi, sehingga para malaikat sedikit protes (bukan membantah) akan rencana Allah Swt tersebut, lalu mereka berkata dengan komunikasi yang lembut kepada Allah Swt, hal ini dapat dilihat firman Allah dalam Alquran, yaitu :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى الْأَرْضِ خَلِيْفَةً    قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيْهَا  وَيَسْفِكُ
 الدِّمَآءَ  وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ...
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"...(QS. Al-Baqarah 2:30)[1]

Kalimat  إِنِّى جَاعِلٌ  Sesungguhnya Aku (Allah) hendak menjadikan” merupakan af’al (perbuatan) Allah yang belum nyata terjadi pada ketika itu, yang dalam ilmu Nahwunya adalah fi’il mudhari’ (masa sekarang dan masa akan datang). Maksudnya ketika Allah berkata kepada malaikat yang hendak menciptakan manusia adalah kehendak Allah tersebut bukan hanya menciptakan manusia pertama yaitu Adam a.s, tetapi Allah akan atau hendak menciptakan manusia itu secara kurun demi kurun, sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya yaitu “menciptakan manusia dari suatu kaum yang akan menggantikan satu kaumnya, kurun demi kurun, dan generasi demi generasi”[2]

Selanjutnya, sebagai ilmu pertama dari ayat di atas, bahwa tujuan penciptaan manusia berada di muka bumi ini adalah sebagai khalifah. Kendatipun demikian, perlu dipahami bahwa penjelasan ayat tersebut bermaksud bukanlah hanya Adam a.s saja yang menjadi khalifah, atau ke-khalifah-an manusia tersebut bukanlah untuk Dzat Allah sebagai pengganti atau menjadi wakil Allah di muka bumi, sebab Allah bukan mengatakan “Sesungguhnya aku akan menjadikan, untuk-Ku, seorang khalifah bagi-Ku di Bumi. Akan tetapi Allah mengatakan bahwa “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”[3] dan adalah sudah pasti bahwa manusia itu tidak layak menjadi khalifah Allah atau wakil Allah, karena mustahil bagi Allah memiliki sifat kekurangan, atau mustahil bagi Dzat Allah Swt, menyerupai dengan sifat yang baharu terlebih lagi sifat manusia. Maha suci Allah dari adanya pihak yang ingin menandingi dan menyerupai kesempurnaan-Nya. Wallahu a’lam

Yang jelas, bahwa Allah tidak hanya menghendaki Adam a.s saja, karena jika hal demikian terjadi bahwa hanya Adam a.s saja yang dikehendakinya, niscaya tidak tepat pertanyaan para malaikat yang sedikit protes tentang hal cikal-bakal khalifah di muka bumi sepertinya kalimatnya فِيْهَا وَيُسْفِكُ الدِّمَآءَ قَالُوْآ أَتَجْعَلُ فْيْهَا مَنْ يُفْسِدُ mereka (para Malaikat)berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah” (lihat QS. Al-Baqarah, 2: 30).

Alquran Surat al-Baqarah di atas kita jadikan sebagai referensi dalam mengupas kerangka yang jelas dari peristiwa kejadian atau penciptaan manusia, di mana para makhluk yang ada saat itu, baik para malaikat juga iblis/setan mempertanyakan tentang hal kebijakan Allah Swt, yang ingin menciptakan manusia, yang dalam pandangan malaikat adalah bahwa (manusia) akan menjadi makhluk yang membuat kerusakan, suka melakukan pertumpahan darah, selalu dalam keributan dan keonaran, sementara meraka (malaikat) selalu bertasbih memuji Allah, mengagungkan asma Allah siang maupun malam (lihat QS. Al-Baqarah, 2:30).

Para setan juga tak kalah mem-protes akan kehendak Tuhan ini, mereka para setan membantah akan keberadaan manusia yang dipandang remeh dan hina, yang diciptakan Allah dari unsur tanah yang busuk, hingga mereka (setan) membanggakan diri dengan lancang berkata bahwa “mereka lebih baik dari pada manusia” lalu alasan setan selanjutnya mereka dipenciptakan dari api. Namun dengan ke-maha lembutannya, Allah Swt menjawab halus dan rendah ke dalam relung rahasia malaikat dengan kalimat berikut ini:
... قَالَ إِنِّى أَعْلَمُ مَالَا تَعْلَمُوْنَ .
...Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah, 2:30)[4]

Jawaban Allah ini membuat keadaan para malaikat begitu terheran-heran sambil dengan gigit jari dan mereka berkata dalam hati “rahasia macam apa ini”

Uraian ayat Alquran di atas merupakan rentetan ungkapan malaikat dengan Allah Swt, dan setan yang menyombong kepada Allah Swt, inilah merupakan suatu kajian mengenai hakikat diri yang sebenarnya, yang mana malaikat dan setan mengatakan bahwa manusia itu dalam keadaan suka merusak bumi, membuat keonaran, serta hina dan lemah. Di sisi lain, karena dinobatkan sebagai “khalifah” (wakil Allah) yang bertugas mengatur alam semesta dan juga merupakan wakil Allah untuk menjadi saksi atas kemaha besaran-Nya serta mengungkapkan rahasia dibalik firman-firman-Nya.

Sebagai makhluk ciptaan Allah yang sebaik-baik (sebagus-bagus) bentuk yang memiliki semuanya (raga, roh, jiwa, hati, akal, nafsu, wajah, paras) terdapat dalam Kalam Allah (Qs. At-Tin, 95:4). Juga  Alquran mendorong manusia untuk merenungkan perihal dirinya yang sebenar-benarnya, atas keajaiban penciptaannya, serta keakuratan pembentukannya. Sebab, pengenalan manusia terhadap dirinya dapat mengantarkannya pada ma’rifatullah.

2.    Hakikat “ADA”

Hakikat yang kedua adalah manusia tersebut menjadi ADA, Penciptaan manusia setelah Adam dan Hawa adalah melalui proses reproduksi sebagaimana yang dikenal dan terjadi hingga sekarang ini, yaitu hasil hubungan biologis antara seorang ayah dan ibu, melalui proses kehamilan dalam kandungan sang ibu. Alquran menginformasikan pada kita, pada awalnya, manusia diciptakan dari sari pati tanah. Allah berfirman sebagai berikut. Sebagaimana firman Allah :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَلَةٍ مِّنْ طِيْنٍ .
“dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah”. (QS. Al-Mu’minun, 23:12)[5]

Pengertian الْإِنْسَانُ  diatas terdapat dua makna, pertama bisa berarti di alihkan kepada Adam a.s sebagai manusia pertama, yang memang diciptakan dari tanah. Kedua, juga berarti anak cucu Adam yaitu semua manusia, yang diciptakan dari مِّنْ سُلَلَةٍ طِيْنٍ  (sari pati tanah). Makna kedua lebih mengena jika dihubungkan dengan ayat berikutnya. Yaitu:
ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فىِ قَرَارٍ مَّكِيْنٍ.
“kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim)” (QS. Al-Mu’minun, 23:13)[6]


Dalam penjelasan ini sengaja penulis tidak menambahkan tentang tahapan atau fase-fase perkembangan manusia dalam kandungan/rahim, penulis mengarah dan pokus kepada tuntutan diri setelah diciptakan oleh-Nya. Penciptaan manusia ini sangat simpel yang diatur oleh-Nya dalam kandungan ibu sebagaimana yang dikatakan para tokoh dan ahli psikologi. Namun, dari hasil penciptaan itu harus kita urutkan mana sebenarnya titik letak ciptaan itu.

Sudah lama Alquran menginformasikan bahwa manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki dua unsur yaitu fisik dan non fisik.[7] Imam al-Ghazali yang hidup dipertengahan abad, dalam buku-buku filsafatnya mengatakan bahwa manusia itu mempunyai identitas esensial yang baku, tidak dapat berubah-ubah yaitu Jiwa (an-nafs).[8] An-nafs ini berupa substansi immaterial yang mampu berdiri sendiri dan merupakan subyek yang bekerja untuk mengetahui hal-hal disekitarnya, serta memahami persoalan yang ditujukan padanya.

Hal demikianlah yang membuat rasa penasaran bahwa kita mengetahui dan menyadari tentang adanya kenabian, adanya ganjaran perbuatan-perbuatan manusia kelak di hari pembalasan, jika seandainya substansi immaterial (an-nafs) ini tidak ada, barangkali akan membuat manusia melampaui batas selama-lamanya, mari perhatikan lingkungan sekitar, betapa banyak orang yang melupakan Allah, jiwa mereka di cabut sehingga apapun yang diperbuatnya seolah-olah tidak berpengaruh kepada akalnya. Berterima atau tidaknya tidak dipikirkan, sebab hanya kesenangan sementara-lah yang Allah berikan.

Selain itu, perlu dipahami bahwa di antara setiap makhluk-makhluk hidup itu memiliki perbedaan yang menunjukkan tingkat kemampuanya berbeda-beda. Makhluk hidup memiliki kelebihan ketimbang makhluk mati yaitu sifat geraknya. Meskipun benda mati memiliki pergerakan, tetapi itu adalah gerak yang monoton, contohnya matahari yang tidak pernah berpindah dari tempatnya sejak ia diciptakan, begitu juga dengan bulan. Dan bumi hanya bergerak pada poros yang telah ditetapkan, bejalan pada jalurnya sejak Allah menciptakannya.

Sementara itu, makhluk hidup yang lebih rendah tingkatannya yaitu tumbuhan, masih memiliki gerakan yang bervariasi setiap angin melaluinya. Prinsip ini dikatakan sebagai jiwa yang vegetatif.

Selanjutnya, hewan sebagai makhluk hidup tingkat kedua yang memiliki sifat gerak yang lebih tinggi dari pada tumbuh-tumbuhan, sehingga menjadikannya selain memiliki sifat yang bervariasi, akan tetapi hewan ini memiliki rasa, dan prinsip ini dikatakan sebagai jiwa sensitif.

Manusia, selain memiliki kelebihan dari makhluk hidup (tumbuhan dan hewan), juga memiliki sifat-sifat makhluk lainnya, disamping itu manusia mampu berpikir baik dan buruknya, mempunyai hak untuk berbuat dan tidak berbuat, serta memungkinkannya untuk memilih atau menolak. Prinsif ini yang dikatakan sebagai “an-nafs al-insaniyyat. Prinsip inilah yang membedakan manusia dengan segala makhluk lainnya.

Balasannya untuk kedua jiwa (tumbuhan dan hewan) inipun dicukupkan di dunia saja. Berbeda dengan jiwa manusia yang bertujuan pada hal-hal yang abstrak akan dihidupkan kelak di akhirat.

Sifat seseorang yang bergantung pada jiwa ketiga macam tersebut (tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia) akan berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan dekat pada kesempurnaan (insan kamil).
Alquran tidak mengolongkan manusia kedalam kelompok binatang selama manusia menggunakan akal dan jiwanya serta karunia Tuhan lainnya. Namun, jika manusia tidak lagi menggunakan jiwa, dan berbagai potensi pemberian Tuhan yang sangat tinggi nilainya yakni pemikiran (rasio), kalbu, akal, raga, serta panca indera secara baik dan benar, maka Allah akan menurunkan derajatnya sendiri menjadi binatang seperti yang dinyatakan Allah dalam Alquran :
 
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ
 أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
dan sesungguh,akan kami isi neraka jahannambanyak dari kalangan jin dan manusia. mereka (jin dan manusia) punya hati tetapi tidak ndipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), punya mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), punya telinga tetapi tidak mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka yang demikian seperti binatang,bahkan lebih sesat lagi dari pada binatang. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (QS. Al-A’raf, 7:179)[9]

Jiwa manusia akan kekal dan akan mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, dengan cara mampu melepaskan jiwanya dari pengaruh hawa nafsu. jika tidak, maka ia akan hidup dalam keadaan menyesal dan akan ditimpa kesengsaraan yang sangat berat di akhirat karena tidak terpenuhinya hasrat jasmaniah.

Alquran adalah kitabullah sebagai mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk segenap manusia. Di dalamnya Allah menyapa akal dan perasaan manusia, mengajarkan tauhid dan menyucikan manusia dengan berbagai ibadah, menunjukkan manusia kepada hal-hal yang dapat membawa kebaikan serta kemaslahatan dalam kehidupan individual dan sosial, membimbing manusia kepada agama yang luhur agar mewujudkan diri, mengembangkan kepribadiannya, serta meningkatkan diri manusia ke taraf kesempurnaan insani. Sehingga, manusia dapat mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Namun, pernah atau jarangnya kita atau bahkan mungkin lupa atas kesibukan seharian yang menjadi belenggu tersendiri untuk menyadari dan mempertanyakan kembali tentang : Siapa diri ini?  Untuk apa diri ini? dan hendak kemana diri ini? Sehingga yang timbul adalah kebathilan dan kekhilapan secara terus menerus yang menyebabkan diri terlupa arah (kehilangan arah) lalu berpaling dari diri sendiri akhirnya merasa hilang kontrol, maka timbul-lah dosa maupun noda yang silih berganti menjadi hal yang biasa dilakukan dalam kehidupan kita.

Merenung sejenak, sambil memikirkan bahwa segala sesuatu yang ada di dalam alam semesta ini berada di bawah kendali dan pengaturan Allah Swt, (sunnatullah). Baik matahari, bulan, bintang-bintang dan seluruh jagad raya ini, begitu juga sekalian binatang-binatang, tumbuhan apalagi dengan manusia. Semuanya terjalin bersama-sama dalam sebuah sistem dari hukum yang tidak pernah berubah.

3.    Hakikat TIADA Kembali

Hakikat ketiga adalah DITIADAKAN kembali oleh-Nya. hal ini adalah suatu kenyataan yang Allah Swt datang kepada setiap makhluknya, tidak terkecuali tumbuh-tumbuhan, hewan, malaikat, jin, setan maupun dengan manusia itu sendiri. Janji-an ini tidak bisa terlepas maupun lari akan kepastiannya. Sebab, setiap yang bernyawa akan merasakan kematian, dan Allah swt, yang menghidupkan Dia juga yang akan mematikannya.
Lahir kedunia tanpa membawa apapun, dengan telanjang hina, dihibur dengan tawa canda sebagai bentuk kebahagian orang sekeliling kita dalam menyambut kelahiran ke dunia yang penuh pemainan ini.
Namun, seiring waktu berjalan tidak terasa akan berjumpa juga dengan masa penuaan. Menjadi tua adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Siapa pun kita, apapun kedudukan kita, presiden, raja pengusaha sukses, artis top dunia intertaiment, atau rakyat biasa, pasti akan melewati masa tua, kecuali orang-orang yang meninggal sebelum masa tua menghampirinya.
Allah Swt, sebelum memberikan takdir kematian kepada seseorang, terlebih dahulu diberikan-Nya tanda-tanda dan peringatan untuk bersiap-siap mengahadapi kematian. Salah satunya adalah wajah kita ketika dilahirkan sangat tampan, cantik menawan, mata terlihat tajam, otot yang kuat, gigi yang mampu mengunyah makanan sekeras apapun. Tetapi ketika ajal mulai menghampirinya, wajah tadi menjadi keriput, kecantikannya kendor, matanya mulai rabut, otot tidak mampu berbuat atau bekerja sekuat dulu, gigi mulai rontok satu persatu, lalu kematian menjumputnya. Dan itupun sangat sedikit sekali manusia yang mampu memikirkannya.
Begitulah perkataan Allah Swt dalam kalam mulia-Nya hingga banyak ditemukan ayat-ayat Alquran yang membicarakan akan datangnya kematian, boleh kita merujuk kepada ayatnya “di mana pun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, meskipun kamu berlindung atau bersembunyi di belakang tembok (dinding-benteng) yang tinggi dan kokoh” (lihat QS. an-Nisa’, 4:78).
Tidak bisa dipungkiri tentang kenyataan kematian ini. Kematian adalah satu pintu untuk membuka lembaran kehidupan baru lagi, itulah yang dikatakan Rasulullah Saw. Dengan tibanya ajal menjemput sesorang berarti dia akan memulai hidupnya pada alam yang baru. Karena manusia ini telah Allah tentukan beberapa alam yang akan dilewatinya. Alam dunia merupakan alam kedua yang harus di lalui setelah alam kandungan (rahim) ibu, selanjutnya akan beralih kepada alam ketiga yaitu alam barzakh, dan untuk memasuki alam ketiga ini harus mulai dengan kematian di alam kedua (dunia).
Meskipun berlindung pada bangunan yang kokoh lagi bertingkat-tingkat, memiliki segala-galanya, harta luas, kekayaan melimpah ruah, pangkat yang tinggi dengan embel-embel nama yang panjang, namun itu tidak membuat malaikat yang bertugas mengurusi nyawa sekalian makhluk ini kendor dan takut sama sekali pun.
Sebagai perumpamaan bagi kita, dengan kisah nabi Sulaiman a.s dengan sahabatnya yang akan menemui kematian. Suatu hari ketika nabi Sulaiman a.s sedang melakukan dakwah kepada umatnya, lalu dengan tiba-tiba tanpa mengirim kabar terlebih dahulu, malaikat Izra’il menjumpai nabi Sulaiman a.s, dan memberikan berita bahwa salah seorang sahabatnya akan menemui ajalnya. Sulaiman a.s pun terdiam sebentar hingga malaikat Izra’il meninggalkan beliau. Dua hari kemudian, sahabat yang dimaksudkan oleh Isra’il tersebut mengetahui akan kematiannya.
Lalu sahabat tersebut berkata kepada nabi Sulaiman “Ya Nabiyallah Sulaiman, karena malaikat Izra’il telah memberitahukan kepadamu tentang kedekatan ajalku, maka aku meminta tolong agar aku dikirim ke tembok di negeri Cina (RRC)”, lalu nabi Sulaiman pun memerintah jin ifridh untuk membawanya. Sesampainya di tembok yang dimaksud, malaikat izra’il pun telah menantikan kedatangannya ke tembok Cina itu. Hingga ia (sahabat) masuk kedalamnya dan ajal pun menjumpainya.
Pelajarannya adalah mati itu merupakan suatu nikmat yang Allah Swt, berikan kepada setiap makhluk begitu juga terhadap manusia, kenapa demikian? Karena telah diketahui sebelumnya bahwa manusia itu ketika mati ada dua hal yang “kembali”. Yang pertama bahwa jasad (secara fisik) akan kembali kepada asalnya yaitu tanah dengan cara dimakamkan. Kedua, jiwa yang ada pada jasad itu akan kembali kepada pemiliknya yaitu Allah Swt, sebagaimana firmannya :
يَأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ  إِرْجِعِى إِلَى رَبِّكِ رَا ضِيَةً مَّرْضِيَةٍ .
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”. (QS, al-Fajr, 89:27-28)[10]

Ayat di atas mengatakan bahwa jiwa itu akan kembali kepada Rabbnya dengan hati yang puas, namun perlu diketahui bahwa kembalinya jiwa bukan berarti sekedar jiwa saja, tetapi jiwa yang kembali itu adalah jiwa yang tenang.
Mungkin timbul pertanyaan, bagaimana maksud daripada jiwa tenang tersebut? Apakah jiwa yang dibeluti dengan kekayaan selama hidupnya? Apakah jiwa yang memiliki embel-embel nama panjang? Ataukah jiwa yang dihiasi dengan harta yang luas? Tentu tidak demikian. Tetapi jiwa yang tenang itu adalah jiwa yang mengukui kelamahan dirinya, yang meng-Esa-kan Tuhannya, tidak pernah mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun selama hidupnya, tidak meminta imbalan apapun dari Rabbnya disaaat melakukan amal kebajikan serta yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah, seperti kalam Allah berikut ini:

قُلْ إِنَّمَا أنَاْ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُو حَى إِلَىَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَّحِدٌ   فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاًصَلِحاً وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً .

Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. al-Kahfi, 18: 110)[11]

Kematian itu terjadi setelah kehidupan dunia berakhir, dimana tidak terdapat lagi rezeki yang harus diterima di dunia ini lagi. Udara yang tidak diberi izin lagi untuk di hirup. Air tidak mungkin lagi melewati tenggorokan. Kaki tidak mempunyai tempat untuk berpijak, mata sudah dilarang memandangi alam semesta. Hingga berlakulah takdir Allah Swt kepada seseorang itu untuk berpisah dengan jasadnya. Namun, sebelum malaikat Izra’il menghampiri, sudah siapkah kita untuk menjalankan takdir kematian ini? Tentu kembali kepada diri pribadi kita.

Ingatlah saudaraku !!! 

Kehidupan ini ibarat sebuah perjalanan dari sebuah kota menuju kota yang lain. Jika perjalanan itu mengikuti aturan dan persyaratan yang telah ditetapkan, Maka dalam akhir perjalanan dia akan sampai di kota tujuan dengan lancar tanpa hambatan. Demikian juga perjalanan kehidupan manusia untuk mencapai garis akhir perjalanan dengan selamat, dia harus mengikuti aturan, pedoman dan persyaratan yang telah ditetapkan oleh Sang Maha Kuasa.
Jika konsisten mengikuti aturan dan persyaratan yang ada, maka sesungguhnya dia berjalan sesuai dengan fitrahnya. Sebaliknya jika dia sudah tidak mengikuti aturan dan persyaratan yang ada dia telah menyimpang dari fitrah.
Kefitrahan seseorang merupakan anugerah Allah Swt, yang tak ternilai harganya, itu harus dikembangkan agar manusia dapat menjadi manusia yang sempurna (insan al-kamil).
Oleh karena itu, perlu ditekankan kembali untuk penyadaran diri, dengan mempergunakan akal dengan sebaik-baiknya, menghayati gerak gerik kehidupan dengan sikap tenang. Dan jangan sekali-kali berbangga diri atas kekayaan yang ada, barangkali dengan tato yang membalut sekujur badan, itu bukanlah suatu yang harus dibanggakan, akan tetapi justru itu harus disesalkan dan ditangiskan.
Firman-firman Allah begitu banyak menjelaskan hal kematian, sebatas apakah kehidupan ini, yang ujungnya mati juga. Pelbagai tingkah laku yang telah menyalahi fitrah penciptaannya, melampaui batas. Sadarkah kita bahwa Allah sangat membenci orang-orang yang melampaui batas?
Sebenarnya Allah Swt, tidak menyalahkan atau tidak melarang untuk mencari harta dunia, menjadi orang yang kaya. Bahkan sebagai umat Islam, untuk dapat menjalankan peribadatan dengan sempurna dan baik diperlukan biaya, umpanya menunaikan zakat, menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Tetapi dalam mencari harta benda, kekayaan, harus mengikuti aturan dan syariat yang telah Allah tetapkan.
Suatu kematian akan pasti menghampiri seseorang. Namun, tidak bisa di percepat dan tidak bisa diperlambat sedikitpun. (lihat, QS. an-Nahl, 16:61). Sebelum ada penyesalan di hari kemudian, berbuat amal-lah dengan sebaik-baiknya, Allah telah memberi gambaran bagi kita tentang manusia yang dipenuhi penyesalan, bahwa mereka berkata, seandainya Engkau masih menangguhkan ajalku ya Rabb, niscaya aku akan menginfakkan seluruh hartaku, bersedekah dengan kekayaanku, dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh (lihat, QS. al-Munafiqun, 63:10). Hanya dengan memohon kepada Allah Swt yang maha pemilik jiwa, agar kiranya dimatikan dalam husnul khatimah, dengan mengucap dua kalimat agung (tauhid).
Dengan demikian, pengenalan diri yang sebenarnya akan dapat mengantarkan kita menjadi “insan kamil (manusia ypang sempurna). Jika sudah dapat mengenali diri sendiri, maka dengan mudah pula mengenali pencipta diri. “Sesungguhnya baginya apa yang ada di langit juga apa yang ada di bumi”. Tidak ada yang luput dari pandangan Allah Swt sedikit pun, Allah Swt tidak pernah tidur seperti tidurnya manusia, karena tidur itu adalah sifatnya makhluk yang baharu, dan semuanya akan kembali kepadanya. Selagi nyawa masih dikandung badan, perbanyaklah amalan yang dapat membawa jiwa kita tenang menuju perjumpaan dengan-Nya. Wallahu ‘alam.


[1] Departemen Agama RI. Alquran dan Terjemahnya, (Surabaya: Fajar Mulya, Tt), hal. 6
[2] Muhammad Ma’arif ar-Rifa’I. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid I, (Depok: Gema Insanai, 2009), hal. 104
[3] Ibid, hal. 105
[4] Departemen Agama RI..., hal. 6
[5] Ibid., hal. 342
[6] Ibid., hal. 342
[7] Baharuddin. Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 64.
[8] Abu Sangkan. Berguru Kepada Allah, Cet ke-XVIII, (Jakarta Selatan: Yayasan Shalat Khusu’, 2013), hal.52
[9] Departemen Agama RI..., hal. 174 
[10] Ibid,.hal. 594
[11] Ibid,. Hal. 304

Kewajiban Menutup Aurat Dan Batasannya

Kewajiban Menutup Aurat Dan Batasannya السلام عليكم ورحمة الله وبركاته بِسْمِ اللهِ الرَحْمَنِ الرَّحِيْمِ، الحَمْدُ لِ...