Mengenali Diri Sendiri
مَنْ
عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
"Siapa-siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal tuhannya"
--------------------rajulkhan20.blogspot.com----------------------
Membahas tentang manusia, sudah tentu membicarakan diri kita
sendiri sebagai makhluk
paling unik di bumi ini, yang pada hakikat penciptaannya dari Tiada lalu
menjadi Ada dan kelak akan ditiadakan kembali, hingga Allah Swt, membangkitkannya
pada saat yang telah ditentukan oleh-Nya yang maha perkasa.
Filsafat kontemporer secara hakiki terpusat pada pribadi manusia.
Boleh jadi tanpa situasi historis, kita tidak bisa memahami apa dan bagaimana
esensi diri yang sebenarnya. Dengan menggunakan Alquran sebagai referensi utama
dan Sunah (Hadits) sebagai referensi pelengkap, manusia akan menemukan
pengetahuan, petunjuk dan pedoman kehidupannya di dunia ini.
Pengetahuan hidup yang dijalaninya haruslah senantiasa dianalisis,
sesuaikah dengan informasi yang dikabarkan oleh Alquran dan As-Sunah? Juga
pengetahuan yang diperoleh selama ini sesuaikah dengan fitrah manusia atau
sebaliknya menyimpang dari fitrah. Hanya dengan kebeningan hati dan kejernihan
pikiran, manusia akan mampu melakukan penilaian atas perjalanan kehidupannya.
Alquran membuka pintu dunia baru, tentang kesadaran diri secara
berurutan sampai kepada kesadaran universal
yang mampu mengenali dirinya sendiri siapa. Tanpa terikat pada satu golongan
ataupun beberapa kelompok dan sekte-sekte tertentu. Manusia seharusnya mampu
menyadari tanpa ada dorongan dari golongan tersebut untuk memikirkan
eksistensinya di muka bumi, sehingga manusia tersebut dapat mengatasi
persoalan-persoalan (hidup dan kehidupan) yang dihadapkan kepadanya dan tidak
melemparkannya begitu saja.
1.
Hakikat “TIADA”
Hakikat yang
pertama bahwa manusia tersebut berawal dari TIADA, tidak berbentuk,
belum bernyawa, juga belum memiliki unsur-unsur lain yang mengikat manusia itu
sendiri. Lebih lanjutnya bahwa manusia itu (cikal-bakal menjadi manusia
tersebut) masih dalam perencanaan Allah untuk menciptakannya, yang pada awalnya
bahwa manusia tersebut akan menjadi khalifah di muka bumi, sehingga para
malaikat sedikit protes (bukan membantah) akan rencana Allah Swt tersebut, lalu
mereka berkata dengan komunikasi yang lembut kepada Allah Swt, hal ini dapat
dilihat firman Allah dalam Alquran, yaitu :
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى الْأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ
فِيْهَا وَيَسْفِكُ
الدِّمَآءَ
وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ...
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"...(QS. Al-Baqarah 2:30)
Kalimat إِنِّى جَاعِلٌ “Sesungguhnya
Aku (Allah) hendak menjadikan” merupakan af’al (perbuatan) Allah yang belum
nyata terjadi pada ketika itu, yang dalam ilmu Nahwunya adalah fi’il mudhari’
(masa sekarang dan masa akan datang). Maksudnya ketika Allah berkata kepada
malaikat yang hendak menciptakan manusia adalah kehendak Allah tersebut bukan
hanya menciptakan manusia pertama yaitu Adam a.s, tetapi Allah akan atau hendak
menciptakan manusia itu secara kurun demi kurun, sebagaimana yang diterangkan
oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya yaitu “menciptakan manusia dari suatu
kaum yang akan menggantikan satu kaumnya, kurun demi kurun, dan generasi demi
generasi”
Selanjutnya,
sebagai ilmu pertama dari ayat di atas, bahwa tujuan penciptaan manusia berada
di muka bumi ini adalah sebagai khalifah. Kendatipun demikian, perlu dipahami
bahwa penjelasan ayat tersebut bermaksud bukanlah hanya Adam a.s saja yang
menjadi khalifah, atau ke-khalifah-an manusia tersebut bukanlah untuk Dzat
Allah sebagai pengganti atau menjadi wakil Allah di muka bumi, sebab Allah bukan mengatakan “Sesungguhnya aku akan menjadikan,
untuk-Ku, seorang khalifah bagi-Ku di Bumi. Akan
tetapi Allah mengatakan bahwa “Sesungguhnya
aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”
dan adalah sudah pasti bahwa manusia itu tidak layak menjadi
khalifah Allah atau wakil Allah, karena mustahil bagi Allah memiliki sifat
kekurangan, atau mustahil bagi Dzat Allah Swt, menyerupai dengan sifat yang
baharu terlebih lagi sifat manusia. Maha suci Allah dari adanya pihak yang
ingin menandingi dan menyerupai kesempurnaan-Nya. Wallahu a’lam
Yang jelas,
bahwa Allah tidak hanya menghendaki Adam a.s saja, karena jika hal demikian
terjadi bahwa hanya Adam a.s saja yang dikehendakinya, niscaya tidak tepat
pertanyaan para malaikat yang sedikit protes tentang hal cikal-bakal khalifah
di muka bumi sepertinya kalimatnya فِيْهَا
وَيُسْفِكُ الدِّمَآءَ
قَالُوْآ أَتَجْعَلُ فْيْهَا مَنْ يُفْسِدُ
mereka (para Malaikat)berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah” (lihat QS. Al-Baqarah,
2: 30).
Alquran Surat
al-Baqarah di atas kita jadikan sebagai referensi dalam mengupas kerangka yang
jelas dari peristiwa kejadian atau penciptaan manusia, di mana para makhluk
yang ada saat itu, baik para malaikat juga iblis/setan mempertanyakan tentang
hal kebijakan Allah Swt, yang ingin menciptakan manusia, yang dalam pandangan
malaikat adalah bahwa (manusia) akan menjadi makhluk yang membuat kerusakan,
suka melakukan pertumpahan darah, selalu dalam keributan dan keonaran,
sementara meraka (malaikat) selalu bertasbih memuji Allah, mengagungkan asma
Allah siang maupun malam (lihat QS. Al-Baqarah, 2:30).
Para setan juga
tak kalah mem-protes akan kehendak Tuhan ini, mereka para setan membantah akan
keberadaan manusia yang dipandang remeh dan hina, yang diciptakan Allah dari
unsur tanah yang busuk, hingga mereka (setan) membanggakan diri dengan lancang
berkata bahwa “mereka lebih baik dari pada manusia” lalu alasan setan
selanjutnya mereka dipenciptakan dari api. Namun dengan ke-maha lembutannya,
Allah Swt menjawab halus dan rendah ke dalam relung rahasia malaikat dengan
kalimat berikut ini:
...
قَالَ إِنِّى أَعْلَمُ مَالَا تَعْلَمُوْنَ .
...Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang
tidak
kamu
ketahui." (QS. Al-Baqarah, 2:30)
Jawaban Allah
ini membuat keadaan para malaikat begitu terheran-heran sambil dengan gigit
jari dan mereka berkata dalam hati “rahasia macam apa ini”
Uraian ayat
Alquran di atas merupakan rentetan ungkapan malaikat dengan Allah Swt, dan
setan yang menyombong kepada Allah Swt, inilah merupakan suatu kajian mengenai
hakikat diri yang sebenarnya, yang mana malaikat dan setan mengatakan bahwa
manusia itu dalam keadaan suka merusak bumi, membuat keonaran, serta hina dan
lemah. Di sisi lain, karena dinobatkan sebagai “khalifah” (wakil
Allah) yang bertugas mengatur alam semesta dan juga merupakan wakil Allah untuk
menjadi saksi atas kemaha besaran-Nya serta mengungkapkan rahasia dibalik
firman-firman-Nya.
Sebagai makhluk
ciptaan Allah yang sebaik-baik (sebagus-bagus) bentuk yang memiliki semuanya
(raga, roh, jiwa, hati, akal, nafsu, wajah, paras) terdapat dalam Kalam Allah
(Qs. At-Tin, 95:4). Juga Alquran
mendorong manusia untuk merenungkan perihal dirinya yang sebenar-benarnya, atas
keajaiban penciptaannya, serta keakuratan pembentukannya. Sebab, pengenalan
manusia terhadap dirinya dapat mengantarkannya pada ma’rifatullah.
2.
Hakikat “ADA”
Hakikat yang
kedua adalah manusia tersebut menjadi ADA, Penciptaan manusia setelah Adam dan Hawa
adalah melalui proses reproduksi sebagaimana yang dikenal dan terjadi hingga
sekarang ini, yaitu hasil hubungan biologis antara seorang ayah dan ibu,
melalui proses kehamilan dalam
kandungan sang ibu. Alquran
menginformasikan pada kita, pada awalnya, manusia diciptakan dari sari pati
tanah. Allah berfirman sebagai berikut.
Sebagaimana firman Allah :
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَلَةٍ مِّنْ طِيْنٍ .
“dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal) dari tanah”. (QS. Al-Mu’minun, 23:12)
Pengertian الْإِنْسَانُ
diatas terdapat dua makna, pertama bisa berarti di alihkan kepada Adam a.s sebagai manusia pertama, yang memang diciptakan dari tanah. Kedua, juga berarti anak cucu Adam yaitu semua manusia, yang diciptakan dari مِّنْ سُلَلَةٍ
طِيْنٍ (sari pati tanah). Makna
kedua lebih mengena jika dihubungkan dengan ayat berikutnya. Yaitu:
ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فىِ قَرَارٍ
مَّكِيْنٍ.
“kemudian Kami jadikan saripati itu air mani
(yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim)” (QS. Al-Mu’minun, 23:13)
Dalam
penjelasan ini sengaja penulis tidak menambahkan tentang tahapan atau fase-fase
perkembangan manusia dalam kandungan/rahim, penulis mengarah dan pokus kepada
tuntutan diri setelah diciptakan oleh-Nya. Penciptaan manusia ini sangat simpel
yang diatur oleh-Nya dalam kandungan ibu sebagaimana yang dikatakan para tokoh
dan ahli psikologi. Namun, dari hasil penciptaan itu harus kita urutkan mana
sebenarnya titik letak ciptaan itu.
Sudah lama
Alquran menginformasikan bahwa manusia sebagai mahluk
ciptaan Tuhan yang memiliki dua unsur yaitu fisik dan non fisik. Imam al-Ghazali yang hidup dipertengahan abad, dalam buku-buku
filsafatnya mengatakan bahwa manusia itu mempunyai identitas esensial yang
baku, tidak dapat berubah-ubah yaitu Jiwa (an-nafs).
An-nafs ini berupa substansi immaterial yang mampu berdiri sendiri dan
merupakan subyek yang bekerja untuk mengetahui hal-hal disekitarnya, serta
memahami persoalan yang ditujukan padanya.
Hal demikianlah
yang membuat rasa penasaran bahwa kita mengetahui dan menyadari tentang adanya
kenabian, adanya ganjaran perbuatan-perbuatan manusia kelak di hari pembalasan,
jika seandainya substansi immaterial (an-nafs) ini tidak ada, barangkali
akan membuat manusia melampaui batas selama-lamanya, mari perhatikan lingkungan
sekitar, betapa banyak orang yang melupakan Allah, jiwa mereka di cabut
sehingga apapun yang diperbuatnya seolah-olah tidak berpengaruh kepada akalnya.
Berterima atau tidaknya tidak dipikirkan, sebab hanya kesenangan sementara-lah
yang Allah berikan.
Selain itu,
perlu dipahami bahwa di antara setiap makhluk-makhluk hidup itu memiliki
perbedaan yang menunjukkan tingkat kemampuanya berbeda-beda. Makhluk hidup memiliki
kelebihan ketimbang makhluk mati yaitu sifat geraknya. Meskipun benda mati
memiliki pergerakan, tetapi itu adalah gerak yang monoton, contohnya matahari
yang tidak pernah berpindah dari tempatnya sejak ia diciptakan, begitu juga
dengan bulan. Dan bumi hanya bergerak pada poros yang telah ditetapkan, bejalan
pada jalurnya sejak Allah menciptakannya.
Sementara itu,
makhluk hidup yang lebih rendah tingkatannya yaitu tumbuhan, masih memiliki
gerakan yang bervariasi setiap angin melaluinya. Prinsip ini dikatakan sebagai jiwa
yang vegetatif.
Selanjutnya,
hewan sebagai makhluk hidup tingkat kedua yang memiliki sifat gerak yang lebih
tinggi dari pada tumbuh-tumbuhan, sehingga menjadikannya selain memiliki sifat
yang bervariasi, akan tetapi hewan ini memiliki rasa, dan prinsip ini dikatakan
sebagai jiwa sensitif.
Manusia, selain
memiliki kelebihan dari makhluk hidup (tumbuhan dan hewan), juga memiliki sifat-sifat makhluk
lainnya, disamping itu manusia mampu berpikir baik dan buruknya, mempunyai hak
untuk berbuat dan tidak berbuat, serta memungkinkannya untuk memilih atau
menolak. Prinsif ini yang dikatakan sebagai “an-nafs al-insaniyyat”.
Prinsip inilah yang membedakan manusia dengan segala makhluk lainnya.
Balasannya
untuk kedua jiwa (tumbuhan dan hewan) inipun dicukupkan di dunia saja. Berbeda
dengan jiwa manusia yang bertujuan pada hal-hal yang abstrak akan dihidupkan
kelak di akhirat.
Sifat seseorang
yang bergantung pada jiwa ketiga macam tersebut (tumbuh-tumbuhan, binatang, dan
manusia) akan berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang
yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi
jika jiwa manusia yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat
menyerupai malaikat dan dekat pada kesempurnaan (insan kamil).
Alquran tidak
mengolongkan manusia kedalam kelompok binatang selama manusia menggunakan
akal dan jiwanya serta karunia Tuhan lainnya. Namun, jika manusia tidak lagi
menggunakan jiwa, dan berbagai potensi pemberian Tuhan yang sangat tinggi
nilainya yakni pemikiran (rasio), kalbu, akal, raga, serta panca indera secara
baik dan benar, maka Allah akan menurunkan derajatnya sendiri menjadi binatang
seperti yang dinyatakan Allah dalam Alquran :
وَلَقَدْ
ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا
يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا
يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ
أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ
هُمُ الْغَافِلُونَ
dan
sesungguh,akan kami isi neraka jahannambanyak dari kalangan jin dan manusia.
mereka (jin dan manusia) punya hati tetapi tidak ndipergunakan untuk memahami
(ayat-ayat Allah), punya mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), punya telinga tetapi tidak mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka yang demikian seperti binatang,bahkan lebih sesat lagi dari pada
binatang. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (QS. Al-A’raf, 7:179)
Jiwa manusia
akan kekal dan akan mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan,
dengan cara mampu melepaskan jiwanya dari pengaruh hawa nafsu. jika tidak, maka
ia akan hidup dalam keadaan menyesal dan akan ditimpa kesengsaraan yang sangat
berat di akhirat karena tidak terpenuhinya hasrat jasmaniah.
Alquran adalah kitabullah
sebagai mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk segenap
manusia. Di dalamnya Allah menyapa akal dan perasaan manusia, mengajarkan
tauhid dan menyucikan manusia dengan berbagai ibadah, menunjukkan manusia
kepada hal-hal yang dapat membawa kebaikan serta kemaslahatan dalam kehidupan
individual dan sosial, membimbing manusia kepada agama yang luhur agar
mewujudkan diri, mengembangkan kepribadiannya, serta meningkatkan diri manusia
ke taraf kesempurnaan insani. Sehingga, manusia dapat mewujudkan kebahagiaan di
dunia dan akhirat.
Namun, pernah
atau jarangnya kita atau bahkan mungkin lupa atas kesibukan seharian yang
menjadi belenggu tersendiri untuk menyadari dan mempertanyakan kembali tentang
: Siapa diri ini? Untuk apa
diri ini? dan hendak kemana diri ini? Sehingga yang timbul adalah kebathilan
dan kekhilapan secara terus menerus yang menyebabkan diri terlupa arah
(kehilangan arah) lalu berpaling dari diri sendiri akhirnya merasa hilang
kontrol, maka timbul-lah dosa maupun noda yang silih berganti menjadi hal yang
biasa dilakukan dalam kehidupan kita.
Merenung
sejenak, sambil memikirkan bahwa segala sesuatu yang ada di dalam alam semesta
ini berada di bawah kendali dan pengaturan Allah Swt, (sunnatullah).
Baik matahari, bulan, bintang-bintang dan seluruh jagad raya ini, begitu juga
sekalian binatang-binatang, tumbuhan apalagi dengan manusia. Semuanya terjalin
bersama-sama dalam sebuah sistem dari hukum yang tidak pernah berubah.
3.
Hakikat TIADA Kembali
Hakikat ketiga
adalah DITIADAKAN kembali oleh-Nya. hal ini adalah suatu kenyataan yang
Allah Swt datang kepada setiap makhluknya, tidak terkecuali tumbuh-tumbuhan,
hewan, malaikat, jin, setan maupun dengan manusia itu sendiri. Janji-an ini
tidak bisa terlepas maupun lari akan kepastiannya. Sebab, setiap yang bernyawa
akan merasakan kematian, dan Allah swt, yang menghidupkan Dia juga yang akan
mematikannya.
Lahir kedunia
tanpa membawa apapun, dengan telanjang hina, dihibur dengan tawa canda sebagai
bentuk kebahagian orang sekeliling kita dalam menyambut kelahiran ke dunia yang
penuh pemainan ini.
Namun, seiring
waktu berjalan tidak terasa akan berjumpa juga dengan masa penuaan. Menjadi tua
adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Siapa pun kita, apapun
kedudukan kita, presiden, raja pengusaha sukses, artis top dunia intertaiment,
atau rakyat biasa, pasti akan melewati masa tua, kecuali orang-orang yang
meninggal sebelum masa tua menghampirinya.
Allah Swt,
sebelum memberikan takdir kematian kepada seseorang, terlebih dahulu
diberikan-Nya tanda-tanda dan peringatan untuk bersiap-siap mengahadapi
kematian. Salah satunya adalah wajah kita ketika dilahirkan sangat tampan,
cantik menawan, mata terlihat tajam, otot yang kuat, gigi yang mampu mengunyah
makanan sekeras apapun. Tetapi ketika ajal mulai menghampirinya, wajah tadi
menjadi keriput, kecantikannya kendor, matanya mulai rabut, otot tidak mampu
berbuat atau bekerja sekuat dulu, gigi mulai rontok satu persatu, lalu kematian
menjumputnya. Dan itupun sangat sedikit sekali manusia yang mampu
memikirkannya.
Begitulah
perkataan Allah Swt dalam kalam mulia-Nya hingga banyak ditemukan ayat-ayat
Alquran yang membicarakan akan datangnya kematian, boleh kita merujuk kepada
ayatnya “di mana pun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, meskipun
kamu berlindung atau bersembunyi di belakang tembok (dinding-benteng) yang
tinggi dan kokoh” (lihat QS. an-Nisa’, 4:78).
Tidak bisa
dipungkiri tentang kenyataan kematian ini. Kematian adalah satu pintu untuk
membuka lembaran kehidupan baru lagi, itulah yang dikatakan Rasulullah Saw.
Dengan tibanya ajal menjemput sesorang berarti dia akan memulai hidupnya pada
alam yang baru. Karena manusia ini telah Allah tentukan beberapa alam yang akan
dilewatinya. Alam dunia merupakan alam kedua yang harus di lalui setelah alam
kandungan (rahim) ibu, selanjutnya akan beralih kepada alam ketiga yaitu alam
barzakh, dan untuk memasuki alam ketiga ini harus mulai dengan kematian di alam
kedua (dunia).
Meskipun
berlindung pada bangunan yang kokoh lagi bertingkat-tingkat, memiliki
segala-galanya, harta luas, kekayaan melimpah ruah, pangkat yang tinggi dengan
embel-embel nama yang panjang, namun itu tidak membuat malaikat yang bertugas
mengurusi nyawa sekalian makhluk ini kendor dan takut sama sekali pun.
Sebagai
perumpamaan bagi kita, dengan kisah nabi Sulaiman a.s dengan sahabatnya yang
akan menemui kematian. Suatu hari ketika nabi Sulaiman a.s sedang melakukan
dakwah kepada umatnya, lalu dengan tiba-tiba tanpa mengirim kabar terlebih
dahulu, malaikat Izra’il menjumpai nabi Sulaiman a.s, dan memberikan berita
bahwa salah seorang sahabatnya akan menemui ajalnya. Sulaiman a.s pun terdiam
sebentar hingga malaikat Izra’il meninggalkan beliau. Dua hari kemudian,
sahabat yang dimaksudkan oleh Isra’il tersebut mengetahui akan kematiannya.
Lalu sahabat
tersebut berkata kepada nabi Sulaiman “Ya Nabiyallah Sulaiman, karena
malaikat Izra’il telah memberitahukan kepadamu tentang kedekatan ajalku, maka aku
meminta tolong agar aku dikirim ke tembok di negeri Cina (RRC)”, lalu nabi
Sulaiman pun memerintah jin ifridh untuk membawanya. Sesampainya di tembok yang
dimaksud, malaikat izra’il pun telah menantikan kedatangannya ke tembok Cina
itu. Hingga ia (sahabat) masuk kedalamnya dan ajal pun menjumpainya.
Pelajarannya
adalah mati itu merupakan suatu nikmat yang Allah Swt, berikan kepada setiap
makhluk begitu juga terhadap manusia, kenapa demikian? Karena telah diketahui
sebelumnya bahwa manusia itu ketika mati ada dua hal yang “kembali”. Yang
pertama bahwa jasad (secara fisik) akan kembali kepada asalnya yaitu tanah
dengan cara dimakamkan. Kedua, jiwa yang ada pada jasad itu akan kembali kepada
pemiliknya yaitu Allah Swt, sebagaimana firmannya :
يَأَيَّتُهَا
النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
إِرْجِعِى إِلَى رَبِّكِ رَا ضِيَةً مَّرْضِيَةٍ
.
“Hai
jiwa yang tenang.
Kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”.
(QS, al-Fajr, 89:27-28)
Ayat di atas
mengatakan bahwa jiwa itu akan kembali kepada Rabbnya dengan hati yang puas,
namun perlu diketahui bahwa kembalinya jiwa bukan berarti sekedar jiwa saja, tetapi
jiwa yang kembali itu adalah jiwa yang tenang.
Mungkin timbul
pertanyaan, bagaimana maksud daripada jiwa tenang tersebut? Apakah jiwa yang dibeluti
dengan kekayaan selama hidupnya? Apakah jiwa yang memiliki embel-embel nama
panjang? Ataukah jiwa yang dihiasi dengan harta yang luas? Tentu tidak
demikian. Tetapi jiwa yang tenang itu adalah jiwa yang mengukui kelamahan
dirinya, yang meng-Esa-kan Tuhannya, tidak pernah mempersekutukan Allah dengan
sesuatu pun selama hidupnya, tidak meminta imbalan apapun dari Rabbnya disaaat
melakukan amal kebajikan serta yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah,
seperti kalam Allah berikut ini:
قُلْ إِنَّمَا أنَاْ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُو حَى
إِلَىَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَّحِدٌ
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاًصَلِحاً وَلاَ
يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً .
Katakanlah:
Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:
"Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa".
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Tuhannya". (QS.
al-Kahfi, 18: 110)
Kematian itu
terjadi setelah kehidupan dunia berakhir, dimana tidak terdapat lagi rezeki
yang harus diterima di dunia ini lagi. Udara yang tidak diberi izin lagi untuk
di hirup. Air tidak mungkin lagi melewati tenggorokan. Kaki tidak mempunyai
tempat untuk berpijak, mata sudah dilarang memandangi alam semesta. Hingga
berlakulah takdir Allah Swt kepada seseorang itu untuk berpisah dengan
jasadnya. Namun, sebelum malaikat Izra’il menghampiri, sudah siapkah kita untuk
menjalankan takdir kematian ini? Tentu kembali kepada diri pribadi kita.
Ingatlah
saudaraku !!!
Kehidupan ini
ibarat sebuah perjalanan dari sebuah kota menuju kota yang lain. Jika
perjalanan itu mengikuti aturan dan persyaratan yang telah ditetapkan, Maka
dalam akhir perjalanan dia akan sampai di kota tujuan dengan lancar tanpa
hambatan. Demikian juga perjalanan kehidupan manusia untuk mencapai garis akhir
perjalanan dengan selamat, dia harus mengikuti aturan, pedoman dan persyaratan
yang telah ditetapkan oleh Sang Maha Kuasa.
Jika konsisten
mengikuti aturan dan persyaratan yang ada, maka sesungguhnya dia berjalan
sesuai dengan fitrahnya. Sebaliknya jika dia sudah tidak mengikuti aturan dan
persyaratan yang ada dia telah menyimpang dari fitrah.
Kefitrahan
seseorang merupakan anugerah
Allah Swt, yang tak ternilai harganya, itu harus dikembangkan agar manusia
dapat menjadi manusia yang sempurna (insan al-kamil).
Oleh karena itu, perlu ditekankan kembali untuk penyadaran diri,
dengan mempergunakan akal dengan sebaik-baiknya, menghayati gerak gerik
kehidupan dengan sikap tenang. Dan jangan sekali-kali berbangga diri atas
kekayaan yang ada, barangkali dengan tato yang membalut sekujur badan, itu
bukanlah suatu yang harus dibanggakan, akan tetapi justru itu harus disesalkan
dan ditangiskan.
Firman-firman Allah begitu banyak menjelaskan hal kematian,
sebatas apakah kehidupan ini, yang ujungnya mati juga. Pelbagai tingkah laku
yang telah menyalahi fitrah penciptaannya, melampaui batas. Sadarkah kita bahwa
Allah sangat membenci orang-orang yang melampaui batas?
Sebenarnya Allah Swt, tidak menyalahkan atau tidak melarang untuk
mencari harta dunia, menjadi orang
yang kaya. Bahkan sebagai umat Islam, untuk dapat menjalankan peribadatan
dengan sempurna dan baik diperlukan biaya, umpanya menunaikan zakat, menunaikan
ibadah haji ke Baitullah. Tetapi dalam mencari harta benda, kekayaan, harus
mengikuti aturan dan syariat yang telah Allah tetapkan.
Suatu kematian
akan pasti menghampiri seseorang. Namun, tidak bisa di percepat dan tidak bisa
diperlambat sedikitpun. (lihat, QS. an-Nahl, 16:61). Sebelum ada penyesalan di
hari kemudian, berbuat amal-lah dengan sebaik-baiknya, Allah telah memberi
gambaran bagi kita tentang manusia yang dipenuhi penyesalan, bahwa mereka
berkata, seandainya Engkau masih menangguhkan ajalku ya Rabb, niscaya aku akan
menginfakkan seluruh hartaku, bersedekah dengan kekayaanku, dan aku akan
termasuk orang-orang yang saleh (lihat, QS. al-Munafiqun, 63:10). Hanya dengan
memohon kepada Allah Swt yang maha pemilik jiwa, agar kiranya dimatikan dalam husnul
khatimah, dengan mengucap dua kalimat agung (tauhid).
Dengan
demikian, pengenalan diri yang sebenarnya akan dapat mengantarkan kita menjadi
“insan kamil” (manusia ypang sempurna). Jika sudah dapat mengenali diri
sendiri, maka dengan mudah pula mengenali pencipta diri. “Sesungguhnya
baginya apa yang ada di langit juga apa yang ada di bumi”. Tidak ada yang
luput dari pandangan Allah Swt sedikit pun, Allah Swt tidak pernah tidur seperti
tidurnya manusia, karena tidur itu adalah sifatnya makhluk yang baharu, dan
semuanya akan kembali kepadanya. Selagi nyawa masih dikandung badan,
perbanyaklah amalan yang dapat membawa jiwa kita tenang menuju perjumpaan
dengan-Nya. Wallahu ‘alam.
Departemen Agama RI. Alquran dan Terjemahnya,
(Surabaya: Fajar Mulya, Tt), hal. 6
Muhammad
Ma’arif ar-Rifa’I. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid I, (Depok: Gema
Insanai, 2009), hal. 104
Ibid, hal. 105
Departemen Agama RI..., hal. 6
Ibid., hal. 342
Ibid., hal. 342
Baharuddin. Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hal. 64.
Abu Sangkan. Berguru Kepada Allah, Cet ke-XVIII,
(Jakarta Selatan: Yayasan Shalat Khusu’, 2013), hal.52