BAB 3
APAKAH KITA SUDAH BERISLAM?
Pengertian Agama Islam
gama samawi yang diturunkan
oleh Allah Swt melalui utusan-Nya, Muhammad Saw, yang ajaran-ajarannya
termaktub dalam kitab Alqur’an dan Sunnah dalam bentuk perintah-perintah,
larangan-larangan dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan umat manusia, baik di
dunia maupun akhirat.
Makna Agama !
Ibarat orang buta yang sedang
berjalan dikeramaian orang, tentunya ia akan menemukan kendala-kendala dalam
menyisiri jalanan. Ia tak tahu akan arahnya lagi, kiri kanan banyak manusia
lain yang menjadi penghalang jalannya, muka belakang juga terdapat beberapa
bebatuan besar maupun kecil yang acap kali ia tersungkur karena
ketidaktahuannya. Sebab itu, untuk keselamatannya tentu ia butuh penuntun arah
jalannya, butuh seseorang sebagai pemandu langkahnya hingga ia bertemu pada
garis finish dan beristirahat padanya.
Mungkin dari judul bab di
atas pastinya akan menimbulkan beberepa komentar dari pembaca sendiri,
megeluarkan argumen-argumen yang tidak enak kepada saya sebagai penulis. Contoh
kecilnya pada saat saya baru menemukan ide tentang menulis bab seperti di atas,
terlebih dahulu saya meminta beberapa pendapat para kawan yang komunitasnya kerja
di berbagai instansi pemerintahan, swasta, dan karyawan, mereka mengatakan
bahwa saya telah bodoh, “masa keislaman seseorang engkau pertanyakan”?
“apa kamu sudah mulai edan alias sinting
sehingga ente tidak mempercayai keislaman seseorang?, padahal mereka rajin ke
mesjid, tidak pernah tinggal shalat baik yang sunnah apalagi yang wajib? Mereka
suka berbagi sesama, sedekah, infak mereka keluarkan?.
Ya, jawabku, memang sebagian
dari mereka rajinnya tidak bisa dibatasi dan juga tidak dipungkiri. Tetapi
perlu dipertanyakan, mereka melakukan kebajikan itu semua berdasarkan apa?
Mereka mengerjakan shalat disebabkan apa? Jangan-jangan mereka shalat karena
ikut-ikutan, mereka berinfak, bersedakah agar dipandang sebagai orang yang
dermawan, puasa sunnah karena ingin dipuja dengan sebutan sebagai orang yang
taat. Pertanyaan saya ini berdasarkan kepada realita dalam keseharian. Kenapa
perlu dipertanyakan keislaman mereka? Karena dikhawatirkan mereka Islam
disebabkan oleh orang tua mereka terlahir Islam, makanya mereka juga Islam,
atau keislaman mereka disebabkan oleh tercantumnya di kartu identitasnya
sebagai penganut Islam. Kalau hal yang seperti ini terjadi, maka tidak salah
dikatakan sebagai Islam turunan atau Islam KTP atau juga Islam merek. Inilah
realita yang banyak beredar dilingkungan Islam itu sendiri.
Bagaimana mungkin kita ber-Islam
secara total seperti yang diperintahkan Allah Swt, “masuklah kamu kepada
Islam secara menyeluruh” sementara kajian-kajian Islam tidak dipengerti,
batasan-batasan agama Islam tidak paham, perundang-undangan yang mengatur Islam
itu sendiri tidak di pedomani.
Kepemahaman kita terhadap
agama Islam belumlah sempurna dengan hanya belajar sampai beberapa kitab-kitab
yang menyajikan tentang Islam. Tentunya dalam pengamalan agama itu sendiri
harus dibarengi dengan kesadaran ikhlas. Memahami agama dalam konteks sejauh
ini teremat merumitkan bagi sebagian kelompok, sehingga menimbulkan paham-paham
baru, dengan penemuan-penemuan yang acap kali diperdapati setiap harinya yang
berakibat kepada keterpurukan agama itu sendiri.
Agama, sejauh ini telah
banyak didefenisikan para ahli, baik ahli keteologian barat maupun ahli dari
Islam itu sendiri. Fenomena ini mengkhawatirkan kita akan timbulnya sebuah
paham yang bersifat orientalis. Paham orientalis ini seperti yang diketahui
adalah ilmuwan barat yang melakukan kajian Islam secara khusus.
Secara metodolgis, adalah
suatu hal yang ironis dan harus ditolak apabila memahami agama Islam kepada
non Islam. Menanggapi hal ini diperlukan akal yang sehat, mustahil
seseorang yang ingin belajar ilmu kedokteran kepada seorang insinyur, belajar
teknik kepada ahli ekonomi, dan sejenisnya. Sudah barang tentu seorang
orientalis bukan orang yang memahami dan menguasai Islam.
Memahami suatu agama, terkadang
kita dipengaruhi oleh ekspresi dalam satu atau lain bentuk kesadaran terhadap
ketergantungan kepada sutu kekuatan di luar diri kita (dibatasi kemampuan) yang
dapat dinamakan dengan kekuatan spritual atau moral. Anggapan ini jelas
berlainan dengan pendapat para ahli sosiologi agama. Menurut sebagian dari
mereka ber-argumen ekspresi yang datang itu harus dipikirkan secara religius
sehingga dapat menemukan jawaban yang mutlak tentang segala hal, seperti
mengembalikan sebab segala peristiwa yang terjadi kepada kehendak Tuhan.
Sebab itu, agama bukanlah
suatu kehendak masyarakat itu sendiri, bukan sekedar ilusi manusia atau
bukanlah suatu alat yang menyebabkan seseorang naik kelas dari kelas borjuis
menuju kelas proletar. Dan bisa juga dikatakan bahwa memahami agama
bukanlah dipandang dari sudut kepercayaan semata kepada wujud spritual, yang
hanya percaya kepada hal-hal ghaib (kekuatan diluar kemampuan manusia). Kalau
pandangan ini digunakan untuk memahami suatu agama, maka yang terjadi adalah
bisa saja kita merendahkan agama atau menyepelekan keagamaan.
Lain hal lagi, agama bukan
dipandang dari penampilan ekonomi atau lainnya. Bukan suatu variabel dependen.
Agama dapat dipahami seperti ungkapan Mircea Eliade (1907-1986), sebagai yang
mempengaruhi aspek-aspek kehidupan antara satu hal dengan hal kehidupan lainnya,
jangan dipahami seperti cara kerja sejarawan, tetapi harus dipahami dari segi
independen (berdiri sendiri). Bukanlah manusia yang mempengaruhi agama, tetapi
agamalah yang memberikan pengaruh terhadap kehidupan manusia, mulai dari yang
terkecil hingga yang terbesar sekali. Seperti dalam agama Islam yang
mengajarkan umatnya bahwa satu-satunya tujuan hidup adalah menyembah kepada
Allah Swt (lihat, QS. al-Dzariyat, 51:57). Untuk menuntun umatnya menyembah
kepada Allah, maka diperlukan agama sebagai jalan mengabdikan diri kepada Allah
Swt. Agama akan mengajarinya untuk melakukan ritual-ritual dalam penyembahannya
terhadap Allah Swt semata, di ajarkan akan segala aspek, mulai dari mensucikan
diri dari berbuat sekutu kepada-Nya, hingga sampai kepada pengenalan diri dan
lain sebagainya.
Beberapa
acuan yang berkaitan dengan kata “Agama” pada umumnya; berdasarkan
Sansekerta yang menunjukkan adanya keyakinan manusia berdasarkan Wahyu Illahi
dari kata A-GAM-A, awalan A berarti “tidak” dan GAM
berarti “pergi atau berjalan, sedangkan akhiran A bersifat
menguatkan yang “kekal”, dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa “agama berarti pedoman hidup yang kekal”,
itu artinya manusia tidak dapat merubah agama, karena agama berdiri tersendiri
dan manusia berdiri atau hidup pada agama.
Melalui
literatur, agama seperti yang terdapat dalam kitab “SUNARIGAMA” yang
memunculkan dua istilah; AGAMA dan UGAMA, agama berasal dari kata
A-GA-MA, huruf A berarti “awang-awang, kosong atau hampa”,
GA berarti “genah atau tempat” dan MA berarti “matahari,
terang atau bersinar”, sehingga agama dimaknai sebagai ajaran untuk menguak
rahasia misteri Tuhan. Sedangkan istilah UGAMA mengandung makna, U
atau UDDAHA yang berarti “tirta atau air suci” dan kata GA
atau Gni berarti “api”, sedangkan MA atau Maruta
berarti “angin atau udara” sehingga dalam hal ini agama berarti sebagai
upacara yang harus dilaksanakan dengan sarana air, api, kidung kemenyan atau
mantra. Sedangkan dalam kitab SADARIGAMA dari bahasa sansekerta IGAMA
yang mengandung arti I atau Iswara, GA berarti Jasmani
atau tubuh dan MA berarti Amartha atau “hidup”,
sehingga agama berarti Ilmu guna memahami tentang hakikat hidup dan keberadaan
Tuhan.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa agama adalah sebagai salah satu ajaran yang
memberi tuntunan hidup demi kemaslahatan manusia dan dengan adanya agama pada
diri seseorang itu akan mengantarkannya kepada memilih antara baik dan buruk.
Karena dalam agama terdapat banyak indikasi baik tentang nilai positifnya yang bisa
dimanfaatkan manusia ketimbang ideologi. Agama memberi tempat bagi semua. Agama
juga fenomena sosial, agama tidak hanya ritual tapi juga fenomena di luar
kategori pengetahuan akademis.
Agama (yang
bersumber dari Tuhan) memiliki inti tentang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa,
dan Alquran menamainya sebagai fitrah :
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ
النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. ar-Rum, 30:30)
Karena agama
adalah fitrah, maka tentu seluruh petunjuk-petunjuknya tidak ada yang
bertentangan dengan jati diri atau naluri manusia. Dan kalaupun ada, cepat atau
lambat akan tertolak oleh penganutnya sendiri, dan ketika itu ia (penganutnya)
akan menyadari bahwa agama yang ia anut belum memiliki kefitrahan seperti ayat
di atas. Ini terbukti dari banyaknya manusia meninggalkan amalan agamanya dan
berpindah ke agama Islam, karena Islam memang adalah agama yang memiliki
kefitrahan yang tidak bisa dirubah oleh siapa pun dan fitrahnya agama Islam
selalu dipelihara oleh pencipta sekalian jagad raya, Allah Ta’ala.
Pada
dasarnya, agama adalah sebuah aturan, orang yang beragama adalah orang yang
hidup memakai aturan, berbeda dengan undang-undang hukum pada umunya. Maka
aturan dalam agama bukan sekedar berisi perintah dan larangan. Namun, disamping
memiliki perintah dan larangan, juga berisi anjuran, pembolehan, pencelaan, dan
larangan. Dalam bahasa yang lebih dikenal, perintah ini yang apabila dikerjakan
akan beroleh pahala, sedangkan bila ditinggalkan akan beroleh dosa.
Agama dapat membedakan antara kehidupan sakral
dengan kehidupan profan. Dalam pemakaiannya, agama tidak menganjurkan untuk mempertontonkan simbol-simbol, atau
ritual, merek atau mitos-mitos, karena itu adalah kehidupan yang bersifat
profan (yang biasa-biasa saja dan akan mengalami perubahan ketika merasa
puas atau merasa bosan terhadap yang ia lakukan). Hal ini telah banyak disaksikan
berapa banyak manusia yang merasa bosan atas ritual yang menjadi tradisi
kalangan masyarakat itu, hingga ia menjauhkan diri. Jadi, untuk memahami suatu
agama haruslah melibatkan diri secara konprehensif. Karena pemahaman agama yang
ada pada masa Rasulullah Saw, khulafa al-rasyidin, tabi’in,
atau masa dinasti Islam yang pernah jaya tentunya pasti berbeda dengan
manusia modren masa sekarang.
Makna Islam
!
Islam bukan
hanya sekedar agama atau keyakinan, tetapi merupakan asas dari sebuah
peradaban. Sejarah telah membuktikan bahwa dalam kurun waktu 23 tahun, Nabi
Muhammad SAW mampu membangun peradaban Islam di jazirah Arabia yang berdasarkan
pada prinsip-prinsip persamaan dan keadilan. Dalam waktu yang singkat, pengaruh
peradaban Islam tersebut segera menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk ke
wilayah Nusantara.
Defenisi
Islam telah banyak diterangkan beberapa tokoh, kitab-kitab keislaman dengan
mudahnya kita perdapati di toko-toko buku, baik di pasaran, swalayan maupun
dalam media sosial. Akan tetapi tidak ada salahnya saya mengupas sedikit makna
ataupun pengertian Islam itu yang dimulai dari segi bahasa.
Kata Islam
itu sendiri berasal dari kata aslama, yuslimu, islam yang mengandung
beberapa arti. Pengertian pertama “berserah diri”, kedua
“kedamaian, keamanan dan keselamatan” ketiga “keta’atan dan
kepatuhan”. Membicarakan Islam, sangat tidak relevan kalau tidak bicara tentang
kitabnya yaitu Alqur’an, karena kitab ini merupakan asas-asas,
perundang-undangan yang mengatur suluruh aspek Islam. Dalam Alqur’an, kata
Islam itu sendiri diulang dan diperdapati sebanyak 8 kali, yaitu dalam surah Ali
Imran ayat 19 dan ayat 85, surah al-Maidah ayat 3,
surah al-An’am ayat 125, surah az-Zumar
ayat 22, surah as-Saff ayat 7, surah al-Hujurat
ayat 17, dan surah at-Taubah ayat 74.
Terkait
pengertian yang pertama, yaitu berserah diri, apabila dikaitkan dengan
Alqur’an, dapat dijumpai dalam firman Allah Swt,
أَفَغَيْرَ دِينِ اللّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
﴿٨٣﴾
“Maka Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah,
Padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi,
baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”.
(QS. Ali Imran, 3:83)
Allah Swt, mengatakan dalam ayat
tersebut apa saja yang ada di langit dan di bumi selalu menyerahkan diri
kepada-Nya, (bahasa lebih simpelnya adalah pasrah atas kehendak yang
menjadikannya). Langit contohnya terdapat padanya bintang, bulan, matahari, dan
benda langit lainnya, semua itu berserah diri atas ketentuan yang diberlakukan
kepadanya. Bulan dalam sejarahnya belum pernah tabrakan dengan bumi atau
matahari sejak ia di ciptakan, masih membarakan kepanasannya mulai dicetak
Allah Swt. Dan juga hal lainnya. Semua itu sudah menyatakan kepasrahannya
kepada penciptanya semata.
Lalu
bagaimana dengan bumi?. Mungkin perlu kita mengingat kembali masa silam, ketika
kita duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR) atau Sekolah Dasar (SD). Sang guru
menjelaskan bahwa bumi adalah bagian dari tata surya, dan ia dikatakan sebagai
planet bumi. Diantara planet-planet tersebut, baik pluto, mars, venus atau
lainnya, pernahkah menabrak bumi? Atau pernahkah bumi mengalami kecelakaan dan
berbenturan dangan planet lainnya? Tentu belum atau sama sekali tidak pernah,
ahli astronomi pun belum pernah menemukan suatu peristiwa itu. mereka masih
sependapat bahwa planet-planet itu beredar pada poros masing-masing. Itulah
maksud dari berserah diri atau pasrah. Benda-benda itu semua pasrah atas ketentuan
yang diberikan kepadanya. Sehingga pertanyaan perlu dilontarkan kepada manusia,
bagaimana sikap penyerahan dirinya sejak ia diciptakan?, yang memegang misi
sebagai khalifah seperti yang telah saya sebutkan pada Bab I tentang hakikat
manusia. Manusia sebenarnya sudah mengetahui bahwa salah satu tugasnya adalah
pasrah diri secara total atas kehendak Tuhannya. Akan tetapi, dikarenakan oleh
nafsunya sendiri sehingga ia lupa kepada tugasnya tersebut. Contohnya adalah
kisah fir’aun. Sebelumnya, kesadaran fir’aun masih melekat pada pikiran
sehatnya atas siapa dirinya. Namun, nafsu duniawinya melambung tinggi hingga dia
(fir’aun) mengeluarkan fatwa tersendiri bahwa dirinya adalah Tuhan. Dan masih
banyak kisah-kisah lainnya yang telah direkam oleh Alqur’an.
Mari kita
tinggalkan kisah raja pada masa nabi Musa a.s itu. kita masuk kepada ajaran
agama Islam. Penulis mengajak pokus terhadap agama yang telah menyebar luas ke
segala sudut ruangan dunia. Sebagai agama yang telah mendapat persetujuan dan
kesempurnaan dari pencipta langit dan bumi. Bicara Islam berarti kita bicara
tentang manusia paling berpengaruh terhadap dunia, yaitu Muhammad Saw. Allah
Swt, menempatkan nabi Muhammad Saw, sebagai pembawa risalah-Nya. Beliau adalah
manusia agung, manusia yang tanpa cacat baik fisik maupun jiwanya.
Perkataannya, tindakannya, maupun akhlaknya bersumber dari Alqur’an. Bahkan
seseorang belum sempurna keislamannya sebelum bersaksi bahwa Muhammad Saw adalah
Rasulullah (utusan Allah Swt).
Sebagai
agama yang melengkapi proses kesinambungan wahyu. Islam memiliki beberapa
karakteristik untuk menyampaikan ajarannya dengan mudah dan tidak bertolak
belakang tetapi bersifat kontinu dengan akal rasional manusia. Diantara
karakteristik itu adalah pertama, Islam memberi petunjuk
bagi seluruh segi kehidupan manusia, meskipun sebagian petunjuk itu bersifat
umum. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Allah Swt dalam kitab-Nya mulia
yaitu :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang
yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu
turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.(QS.
al-Baqarah, 2:208)
Kedua, keuniversalan
dan kemanusiaan. Islam ditujukan untuk seluruh umat manusia. Tuhan dalam Islam
adalah Tuhan sekalian alam, dan Muhammad Saw, adalah rasul (utusan) Allah Swt,
untuk sekalian alam, misi yang diembannya adalah menjadi rahmat bagi seluruh
alam. Hal ini terungkap dari firman Allah Swt, وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً
لِّلْعَالَمِيْنَ
“dan kami tidak mengutusmu (wahai Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi
sekalian alam” (QS. al-Anbiya’, 21:107).
Keuniversalan ajaran agama ini dapat kita lihat buktinya yang
tertuang dalam buku-buku sejarah Islam yang mengisahkan tentang pengajakan nabi
Muhammad Saw, untuk mengikuti ajaran Islam. Terkait tindakan (ajakan) ini, nabi
Saw mengambil sikap untuk mengirimkan surat kepada petinggi-tinggi kerajaaan,
seperti ajakan beliau kepada raja Heraklius penguasa Rum, kepada an-Najasyi
sebagai Raja Habasyah, kepada Muqauqas sebagai penguasa Qibt di Mesir dan
kepada Kisra sebagai penguasa Persia.
Ketiga, ajaran
Islam adalah ajaran yang sederhana tetapi rasional dan praktis. Islam adalah
agama yang tanpa mitologi. Islam tidak mengizinkan penganutnya berpikir dengan
teori kosong, tetapi diarahkan kepada pemikiran yang aplikatif. Islam
membangkitkan kemampuan berpikir dan mendorong manusia untuk menggunakan
penalarannya sendiri melalui nash-nash yang mengatur Islam itu, dapat berupa
nash dari Alqur’an maupun nash dalam Hadits, juga tidak menyimpang dari hasil
ijma’ dan qiyas para ulamanya, karena ulama adalah para ahli pewaris kenabian. إِنَّ فِيْ
ذَالِكَ لَأَ يَاتِ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ “Sesungguhnya hal
yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah Swt) bagi orang-orang
yang berpikir” (QS. ar-Ra’d, 13:3). Dengan ayat ini, Islam mengajak umatnya
untuk menggunakan akal yang sehat untuk memikirkan kekuasan Allah Swt, dan
tidak semata memerintahkan untuk berteori belaka tanpa membuka hal yang
realita.
Sebelum nabi Muhammad Saw, dilahirkan sebagai
pemeran utama dalam Islam. Umat manusia pada masa itu dalam keadaan kebodohan,
sedang berada pada kegelapan yang gulita, penuh dengan macam kerusakan. Keadaan
pada waktu itu hampir menjerumuskan manusia yang hidup ketika itu ke dalam
kehancuran total. Sebagai contoh, di sekeliling ka’bah terdapat sekitar 360
patung berhala pada masa kejahiliyaan (sebelum nabi Muhammad Saw lahir).
Patung-patung ini tidak lain dan tidak bukan adalah hasil olahan tangan mereka
sendiri, dan olahan itu dijadikan sebagai Tuhan. Adalah tidak masuk akal jika
dipikirkan secara rasional. Kebiasaan orang-orang Arab juga pada saat itu sudah
sangat menyesatkan, seperti membunuh anak perempuan yang baru lahir, karena
dianggap sebagai pembawa sial dalam keluarga. Dengan lahirnya Muhammad Saw,
kebiasaan itu dihapuskan secara tahap bertahap dan diberikan kebebasan memakai
rasional untuk berpikir salah atau benar.
Ke-empat, keseimbangan antara individu dan
masyarakat. Islam mengakui kebebasan manusia sebagai individu dan menganggap
setiap orang memiliki tanggung jawab pribadi kepada Tuhannya. Bahkan Islam
menjamin hak-hak asasi keagamaan lainnya. Hal ini mengedepankan kesejahteraan
yang dibawa Islam itu sendiri seperti arti dari namanya yaitu sejahtera. Islam
juga agama yang mengajarkan untuk menjaga kerukunan umat beragama. Kisah Amiril
Mukminin saidina Umar Ibn al-Khattab r.a, contohnya telah menyerukan kepada
gubernurnya untuk saling hormat-menghormati antar umat agama lainnya. Ketika
Umar ibn al-Khattab r.a mendapat kabar dari komandan perangnya di Suriah yaitu
Khalid ibn Walid tentang keberhasilannya menaklukkan wilayah Byzantium,
khususnya kota Damaskus, maka pesan utamanya yang dikirimkan kepada komandan
perang itu adalah agar jangan mengganggu kegiatan agama para pemeluk agama
Yahudi maupun Nashrani, jangan merusak rumah-rumah ibadat mereka, jangan
mengambil barang-barang yang terdapat dalam rumah ibadah tersebut. Itulah
krakteristik Islam dalam mengajarkan ajarannya. Tidak ada paksaan bagi Islam
untuk menganut agama Islam, tetapi Islam mengajak untuk menggunakan nalar
rasional masing-masing individu.
Islam, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Tholchah Hasan, penulis
buku “Prospek Islam Dalam Menghadapi Tantangan Zaman”, berkata bahwa Islam
adalah sebagai “ad-Dyin”, yang mempunyai kompetensi ajaran sehingga dianggap
mampu menjadi agama dunia sepanjang zaman, yaitu disebabkan karena adanya
vitalitas (kekuatan untuk bertahan hidup), totalitas (mengajarkan hidup secara
menyeluruh), dan universalitas (tidak per-orangan), dan itu semua adalah ajaran
Islam.
Allah Swt, memerintahkan umat manusia agar menganut agama Islam dan
mengarahkan seluruh aspek kehidupannya untuk meyakini dan mamatuhi ajaran-Nya
yaitu dalam Islam. Tujuannya adalah supaya manusia dapat mencapai
kesejahteraan, keselamatan dan kebahagian dalam segala aspek kehidupan dunia
dan akhirat. Islam tidak dapat dimisalkan seperti sebuah amplop surat, hanya
sekedar memiliki blanko. Begitu di cap atau distempel oleh petugas POS, maka surat
akan dikirim dan akan diterima pada tujuan yang tertulis di blanko tersebut.
Begitu sampai surat, segelnya dibuka lalu isinya diambil, blanko tadi hanya
dibuang ke tong sampah. Itu artinya, Islam bukan hanya sekedar isi, tetapi
sampul atau covernya juga harus menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang
penganut Islam.
Makna Islam tidak hanya sebatas pengamalan saja, bukan sekedar
beribadah yang begitu selasai langsung berubah dan ibadahnya tidak membekas
sedikitpun dalam kehidupan sehari-hari. Ibadah memang salah satu ajaran Islam
yang dilakukan dengan berbarengan niat, keikhlasan, kesabaran dan tafakkur.
Islam tidak hanya mengajarkan menutup aurat ketika beribadah, pada saat ibadah
pun selesai langsung menampakkan aurat. Ini adalah pengamalan yang salah.
Tetapi, Islam menuntut umatnya untuk mengamalkan ajarannya, dari yang terkecil
hingga yang terbesar. Tidak ada perbedaan hukum (pengamalan ibadah) antara umat
Islam yang kaya dengan umat Islam yang miskin. Dalam Islam, seluruh manusia
adalah sama, apapun warna kulit, bahasa, ras atau kebangsaannya.
Islam merupakan agama yang memberikan keleluasaan untuk pemikiran
rasional, ia sepanjang masa tidak menyangkut aqidah-aqidah yang fundamental dan
tatanan syari’ah yang prinsipal, tidak membatasi pemikiran tasyri’nya dengan
satu cara. Islam merupakan agama yang dapat sejalan dengan berbagai macam
budaya yang benar dan peradaban yang unggul, sesuai kemampuan nalar manusia
untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemajuan tarap hidupnya.
Muslim sejati adalah seseorang yang mengarahkan segala perilakunya
hanya kepada Allah Swt semata. Pembuktiannya dapat dicermati lewat ibadah
shalat yang dilakukan, hampir 5 kali dalam sehari semalam ia menyebutkan:
إِنَّ صَلاَةِ
وَنُسُكِى وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“sesungguhnya shalatku, ibadah-ibadahku, dan hidupku, serta matiku
hanya aku peruntukkan kepada Allah Swt, Tuhan semesta alam”.
Hemat penulis adalah bahwa Islam merupakan suatu agama yang memiliki
prinsip-prinsip ajaran yang dapat diterapkan di mana saja dan kapan saja,
bahkan mampu menyerap tradisi dan budaya lokal masyarakat penganutnya. Agama
yang satu ini mempunyai sistematis rasional dalam kehidupan sosial umatnya. Idealisasi
ajaran Islam sebagai alternatif yang terlengkap terhadap semua sistem kehidupan
di muka bumi ini. Ajarannya agama ini menyelaraskan realitas-realitas yang di
dunia dengan kehidupan akhirat yang abadi. Islam dapat mempenagruhi kehidupan
dunia, sedangkan dunia tidak dapat mempengaruhi dan merubah Islam itu, sebab
Islam dilahirkan bukan untuk per-individu atau kelompok, tetapi Islam lahir
untuk menjadi penerang isi dunia, menjadi rahmat bagi umat manusia yang hidup
di dunia. Pahamilah,
maka engkau akan beruntung. Wallahu a’lam.[ ]
Syari’at Islam
yariat Islam
yang diturunkan oleh Allah Swt kepada umat manusia bertujuan agar mereka
mencapai kemaslahatan. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai itu disebut dengan
istilah maqasid asy-syari’ah. Menurut Imam al-Ghazali r.a, kemaslahatan
umat manusia akan dapat dicapai apabila mampu memelihara lima hal, yaitu agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima hal inilah yang menjadi pokok tujuan
dari syari’ (pembuat hukum dialah Allah Swt). Perintah, larangan ataupun
pembolehan mengerjakan sesuatu yang datang dari pembuat hukum (Allah Swt)
selalu mengacu kepada usaha agar kelima pokok tujuan di atas dipelihara.
Dalam usaha
memelihara tujuan syari’ itu, Abu Ishaq asy-Syatibi (w. 790 H/1288 M),
seorang ulama fiqih, usul fiqih, tafsir, bahasa dan hadits ini berpendapat
bahwa ada tiga kategori yang perlu dipenuhi agar ia (manusia) tetap berjalan
sesuai eksistensinya, yaitu daruriyyah (keperluan), hajjiyah
(kebutuhan), dan tahsiniyyah (perbaikan). Kebutuhan daruriyyah
adalah kebutuhan untuk memelihara eksistensi kelima pokok maslahat di atas.
Kebutuhan ini sangat esensial, tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan
mengakibatkan rusaknya kemaslahatan manusia di dunia mapun di akhirat. Perintah
yang berhubungan dengan ibadah contohnya shalat, zakat, puasa itu bertujuan
untuk menjaga eksistensi agamanya tetap terpelihara. Jika ibadah ini
dilalaikan, umpanya adalah zakat, maka harta yang dimiliki tidak mendapatkan
kesejahteraan dunia dan akhirat.
Kebutuhan (hajjiyah),
diperlukan untuk memelihara berbagai hal yang berhubungan dengan kelestarian
dan kesimbungan kelima pokok maslahat. Kebutuhan ini berada pada tingkatan
kedua. Jika aspek ini tidak terpenuhi, eksistensi kelima pokok maslahat di atas
tidak terancam walaupun membawa kesulitan bagi manusia. Misalnya, puasa yang daruriyyah
itu akan menimbulkan kesulitan jika dilaksanakan oleh orang-orang sakit atau
musafir. Dalam keadan seperti itu, orang-orang tertentu dapat dan boleh
meninggalkan kewajiban itu, tetapi harus diganti pada hari lain.
Selain kedua
kebutuhan di atas, terdapat kebutuhan tahsiniyyah, yang berkaitan
dengan usaha menunjang peningkatan kelima pokok maslahat yang berhubungan
dengan akhlak mulia, baik dalam bidang ibadah maupun muamalah (masalah sosial).
Tidak terpenuhinya kebutuhan ini juga tidak akan merusak eksistensi kelima
pokok maslahat di atas dan tidak akan membawa kesulitan bagi pelakunya walapun
dapat menurunkan martabat manusia.
Syariat
Islam yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang dewasa yang wajib
melaksanakan syariat agama) dapat dibagi kepada lima bagian, yaitu (1) wajib.
Adalah sesuatu tuntutan atau perintah syari’ terhadap mukallaf untuk
melaksanakan sesuatu perintah dengan tuntutan yang sudah pasti dan tegas serta
mempunyai dalil baik dalam Alqur’an maupun hadits. Jika pelakunya menunaikannya
maka akan memperoleh pahala, dan jika meninggalkannya ia mendapat dosa, seperti
perintah shalat. (2) Mandub (sunnah), adalah suatu tuntutan/perintah syari’
pada orang mukallaf untuk mengerjakan sesuatu dengan tuntutan tidak tegas.
Mukallaf boleh memilih untuk mengerjakannya atau tidak. Jika ia menunaikan
tuntutan itu maka akan memperoleh pahala, dan jika tidak ditunaikan maka tidak
dapat dosa. (3) Haram, adalah tuntutan atau perintah terhadap mukallaf
untuk meninggalkan sesuatu perkara yang telah jelas dan tegas pelarangan dalam
mengerjakannya. Jika mukallaf mengerjakan ini, maka akan diberi dosa, jika
meninggalkannya akan memperoleh pahala, misalnya berbuat zina, makan babi,
mabuk-mabukan dan lainnya. (4) Makruh, adalah suatu tuntutan atau
perintah syari’ pada mukallaf
untuk meninggalkan suatu perkara dengan tuntutan tidak jelas. Mukallaf boleh
memilih antara mengerjakannya atau tidak. Jika ia menunaikannya maka tidak
diberi siksa, dan bila meninggalkannya akan dapat pahala contohnya seperti
merokok. (5) Mubah, adalah tuntutan syari’ yang membolehkan
mukallaf untuk memilih mengerjakannya atau tidak mengerjakannya. Dalam hal ini,
syari’ tidak menuntut mukallaf untuk mengerjakannya atau
meninggalkannya. Mengerjakan atau meninggalkan tuntutnan ini tidak dapat pahala
dan juga tidak diberi dosa. Contohnya adalah memakai kacamata dan sebagainya.
Syari’at
Islam adalah syari’at yang universal dan memiliki keistimewaan sebagai syari’at
yang diturunkan oleh Allah Swt, kepada Rasul-Nya, Muhammad Saw, untuk
disampaikan kepada seluruh manusia, baik dari kalangan bangsa Arab, orang
asing, orang-orang yang berdomisili di wilayah timur maupun barat meskipun
berbeda airnya, beraneka macam kebiasaannya, tradisi dan sejarahnya. Syari’at
Islam adalah pedoman setiap keluarga, pedoman bagi setiap golongan, pedoman
bagi tiap jama’ah, pedoman bagi negara, bahkan pedoman universal yang bisa
menjadi rujukan para ahli hukum.
Seperti yang
telah disebutkan, bahwa syariat Islam merupakan syari’at yang di dalamnya
mengandung beberapa pedoman yang manjadi rujukan setiap orang. Syari’at inilah
yang menjadi acuan benar atau salahnya suatu tindakan juga dengan syari’at
inilah kita bisa mengambil keputusan. Bila mendengar kata “Syari’at Islam”,
pasti kita terbayang dan teringat kepada hukum qishas, cambuk, rajam serta
penggal kepala, potong tangan bila melakukan satu tindakan yang melanggar norma
agama, contohnya mencuri. Allah Swt mengatakan secara jelas dengan dalil yang
tertuang di dalam Alqur’an, bahwa setiap umat Islam (laki-laki dan perempuan)
yang melakukan tindakan mencuri ini maka hukuman yang dijatuhkan adalah potong tangan, firman Allah Swt ;
وَالسَّرَقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا أَيْدِيَهُمَا
جَزَآ ءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللَّهِ. وَاللَّهُ
عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ.
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS.
al-Maidah, 5:38)
Hukuman yang dijatuhkan pada
setiap pelanggarnya sebagai bukti konsekuensi atas pengamalan agama secara kaaffah
(menyeluruh). Teladan yang paling ideal dalam kehidupan ini yaitu nabi
Muhammmad Saw, telah menerapkan aturan-aturan kehidupan yang lebih baik agar
selamat hingga hari pembalasan (akhirat). Sebagai buktinya dapat kita bayangkan
dan kita masuki ruangan kehidupan masa Rasulullah dan para sahabat, disana
terdapat jejak para nabi dan sahabat, sehingga kita mendapati pengaturan akan
setiap syari’at Islam tadi, baik yang wajib, mandub, haram, makruh maupun
mubah. Kita bisa belajar langsung kepada Rasulullah Saw tentang cara makan dan
minum yang baik. Kita dapat ilmu tentang penyucian diri yang benar ketika
hendak mendirikan ibadah shalat. Juga bisa dijumpai pemerintahan yang jauh dari
korup, serta akan mendapat hukuman bila terbukti bersalah dan di adili dengan
tegas tanpa memandang warna kulit, sehingga Amiril Mukminin Umar Ibn al-Khattab
pernah mengatakan, jika engkau perdapati seorang anak dari Umar ibn al-Khattab
mencuri, maka potonglah tangannya, itulah yang lebih baik. Itulah sebagian
potret kehidupan pada masa silam, saat Islam dalam kejayaannya. Tanya saya,
mungkinkah itu terulang kembali?
Berbeda
halnya jika undang-undang pada masa Rasulullah Saw dan para Khulafa al-Rasyidin
diamalkan pada negara muslim terbanyak di dunia ini. Kehidupan pada masa nabi
Saw, sangat konvensional, baik dala segi ekonomi, dagang, pemerintahan, maupun
lainnya. Teknologi canggih yang ada pada masa kini telah jauh melampaui
kehidupan masa lalu. Semuanya semakin modern, canggih.
Diantara
sebagian umat Islam, ada beberapa golongan yang berkeinginan untuk melaksanakan
ajaran Islam itu sesuai syari’tnya, sehingga dengan mudah muncul ahli yang
mengatakan sesuatu itu adalah Bid’ah (amalan yang tidak pernah
dikerjakan oleh Rasul dan sahabat lainnya), kemudian sebagian kaum lainnya akan
terkontaminasi oleh pemikiran mereka dan akhirnya lahirlah beberapa aliran
Islam yang membentuk syari’at baru (paham baru) yang tersebar dimana-mana.
Memang bila
dilihat dengan mata selebar-lebarnya pada masa sekarang, banyak diperdapati
ragaman dari amalan-amalan yang tidak pernah dilakukan atau diperbuat oleh
Rasul atau sahabat lainnya. Juga memang benar bahwa amalan yang
tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Saw, dan para sahabat jelas amalan itu
ditolak. Akan
tetapi, menurut saya, sebagai umat Islam yang memiliki ajaran sederhana tetapi rasional dan praktis ini, jangan langsung
menyudutkan seseorang itu sudah melaksanakan perkara Bid’ah.
Adalah hal yang keliru kalau kita memfatwakan seseorang sebagai pelaku Bid’ah.
Padahal jika merujuk kepada ilmu Ushul Fiqih, Islam itu dikatakan memiliki
sumber-sumber hukum, yaitu Alqur’an, Sunnah atau Hadits, Ijma’ para Ulama dan
Qiyas.
Sebagai
contoh adalah Rasulullah menganjurkan untuk selalu membersihkan gigi dengan memakai akar siwak
(akar yang berbentuk serat), lantas sebagian kalangan menginterpretasi tentang
kalimat “membersihkan” itu adalah suatu Bid’ah bila dilakukan
dengan menggunakan sikat gigi masa kini. Pendapat ini menurut saya sudah
“ortodoks” yang terjebak pada kesalahan penafsiran teks verbal dari hadits
Rasulullah Saw. Membersihkan gigi merupakan sunnatullah dan alamiah,
akan tetapi jangan terpokus terhadap redaksi hadits yang menganjurkan memakai
akar serat tersebut, harus kita sesuaikan dengan perkembangan manusia saat ini.
Sikap yang
menginterpretasikan tersebut akan memunculkan keterbelakangan dan ketinggalan
atas perkembangan budaya yang fitrah dengan kaum yang tidak mengamalkan hadits.
Karena kalau di telusuri mereka sebenarnya melaksanakan dan menjalankan sunnatullah
itu. membersihkan gigi dengan memakai sikat gigi modern yang dialiri listrik
dan dibumbui dengan pasta akan memudahkan membunuh kuman sisa-sisa makanan yang
tinggal di gigi. Oleh sebab itu, pantaskah kita memanggilnya dengan sebutan
pelaku Bid’ah? Rasulullah menganjurkan untuk membersihkan gigi
pada waktu di masanya bertujuan untuk membunuh kuman yang menempal pada gigi,
dan itu merupakan pengetahuan yang klasik dan sederhana, karena itulah yang
berkembang pada masanya. Sehingga hukum-hukum alamiah yang saat itu sederhana,
dapat berkembang sampai memunculkan alat yang canggih untuk membunuh kuman pada
gigi. Dan itulah yang kita pakai saat ini. Kalau memang itu adalah hal Bid’ah,
lalu sudah berapa banyak umat Islam sedunia melakukannya?
Berbeda hal
lainnya, mengenai syari’at yang telah ditetapkan makna dan prakteknya oleh
Rasulullah Saw, seperti shalat misalnya. Beliau mengatakan hadits tentang “shalatlah
kamu, sebagai kamu melihat aku shalat” (HR. Bukhari, Ahmad). Kita tidak
boleh menginterpretasikan makna hadits itu dengan harus shalat sebagai cara
rasul shalat. Apakah kita (umat saat ini) pernah melihat beliau mendirikan
shalat? Tentu tidak. Lalu praktek shalat yang kita laksanakan 5 kali sehari
semalam yang wajib itu darimana? Apakah praktek shalat kita selama ini sudah
sesuai dengan cara Rasulullah mengamalkannya? Hadits yang dikatakan Rasulullah
Saw di atas adalah ditujukan kepada para sahabat yang hidup pada masa itu,
kemudian setelah Rasulullah Saw wafat, yang mengajari umat Islam melaksanakan
praktek shalat adalah para sahabat. Dan para ulama-ulama Islam lainnya berguru
kepada para sahabat (Khulafa al-Rasyidin), seperti para imam Mazhab,
(imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Hanafi). Mereka para imam mazhab
ini memiliki masing-masing murid, sehingga sampailah praktek shalat itu pada
kita. Jadi, jangan menafsirkan hadits itu dengan penafsiran salah. Begitu juga
dengan syari’at Islam lainnya, zakat, puasa, haji dan ibadah-ibadah yang telah
ditetapkan secara verbal oleh Rasulullah Saw.
Menganai
amalan sunnah juga banyak yang sudah di hujjah oleh kelompok pelontar bid’ah.
Mereka mengatakan tidak pernah dilakukan Nabi Saw semasa hidupnya. Salah satu
contohnya, pada saat saya mengimami shalat maghrib di Mesjid salah satu desa
pada kecamatan Kota Mukomuko Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu. Begitu
selesai shalat, masjid ini memiliki dzikiran atau amalan-amalan yang telah
membudaya sejak nenek moyang mereka, mulai dengan dzikiran “Subahanallah
33 kali, Alhamdulillah 33 kali, Allahu akbar 33” kali serta
ditambah dengan Tahlilan (lailaha illa allah), dan saya
pun melaksanakannya bersama jama’ah lainnya. Begitu sedang dipertengahan
dzikiran, ada sebagian jama’ah yang keberatan hingga ia mengeluarkan kata-kata
keras dan mengatakan itu adalah Bid’ah dan suasana pun
menimbulkan keributan antar jama’ah. Mereka jama’ah yang keberatan mengatakan
bahwa dzikiran Subahanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, Allahu akbar 33
kali itu bukanlah amalan yang pernah dilakukan rasul. Mereka berargumen
dengan memakai dalil Alqur’an yang memerintahkan umatnya begitu selesai shalat
langsung bertaburan untuk mengais rezeki (lihat QS. al-Jumu’ah, 62:10). Hingga
saya pun diselamatkan dan dijaga oleh jama’ah yang ikut dalam dzikiran itu.
kemudian hingga waktu shalat Isya masuk, barulah situasi padam dan kembali
normal.
Lebih
tragisnya lagi, setiap amalan yang tidak termaktub dalam Alqur’an dan hadits
kata kelompok ini adalah suatu perkara yang Bid’ah. Kalau memang
iya, lalu bagaimana dengan dengan orang-orang yang belajar ilmu filsafat?
Belajar ilmu filsafat juga tidak ada dalilnya secara verbal mengatakan
pembolehan itu. Lantas bagaimana dengan para ulama-ulama Islam yang telah
banyak mengeluarkan ilmu-ilmu kefilsafatan? Seperti sang hujjatul Islam imam
al-Ghazali misalnya, apakah kita mengklaim beliau seorang pengamal perkara yang
Bid’ah? Apakah selamanya kita harus terdiam dan terus terpokus
terhadap satu redaksi dalil tanpa harus memikirkannya secara kontemporer?
Berpikir secara kontemporer bukan berarti menafsirkan Alqur’an atau Hadits
dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru. Kita dapat menggunakan
pendapat-pendapat para ulama, ustad juga para cendekiawan lainnya.
Menggunakan
pendapat para ulama atau cendikiawan dengan memakai hasil percobaan dan
pengalaman para ilmuwan, tentu dapat membantu kita menuju ta’ammul dan
tadabbur dalam memahami arti dan makna yang tersirat dalam satu
redaksi ayat Alqur’an maupun Hadits. Setiap ayat dapat dipahami oleh beberapa
individu yang berbeda penafsirannya. Pemahaman setiap ayat tentu akan berbeda
disetiap kurun waktu (zaman) tertentu. Pemahaman ini dapat berubah dan
berbeda-beda karena dilatar belakangi oleh ilmu dan budaya yang fitrah tadi.
Ketahuilah,
bahwa tantangan terbesar bagi umat Islam khususnya mereka para cendikiawan
Muslim, adalah bagaimana memfungsikan Kitab Suci Alqur’an secara benar. Yaitu
bagaimana menangkap pesan-pesan yang terungkap dalam Alqur’an hingga mampu
me-masyarakatkannya. Bagaimana langkah yang dilakukan untuk memahami dan
melaksanakan petunjuk-petunjuk Alqur’an tanpa mengabaikan budaya dan
mengorbankan perkembangan positif masyarakat.
Sebagian
umat memfungsikan Alqur’an sebagai mukjizat, padahal fungsinya sebagai mukjizat
tadi hanya ditujukan kepada orang yang meragukan sebagai firman Allah Swt.
Sikap semacam ini akan mengantar kita pada usaha mencari-cari ayat Alqur’an
untuk dijadikan sebagai bukti bahwa Kitab Suci ini telah mendahului
penemuan-penemuan ilmiah abad modern. Disisi lain, kemukjizatan kitab yang satu
ini oleh sebagain orang memahaminya sebagai keampuhan ayat-ayat Alqur’an untuk
melahirkan hal-hal yang tidak rasional. Ini bukan berarti saya meragukan adanya
ayat-ayat yang bersifat suprasional atau supranatural. Hanya saja umat harus
disadarkan bahwa benang pemisah antara suprasional dengan irasional sangatlah
tipis, sehingga harus waspada penuh dengan kehati-hatian agar tidak terjerumus
kepada khurafat (takhayul).
Pemahaman
manusia terhadap sesuatu tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial masyarakat,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengelaman-pengalaman, disamping
kecenderungan dan latar belakang pendidikannya. Seperti kata ‘turab’
dalam firman Allah berikut :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ
مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ ۚ
وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ
نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ۖ ....
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari
kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari debu,
kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari
segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami
jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki
sampai waktu yang sudah ditentukan...” (QS. al-Hajj, 22:5)
Istilah “debu” pada umat masa itu
(masa Rasulullah Saw), adalah debu seperti yang kita lihat sekarang di jalanan.
Akan tetapi, sesuai tuntutan zaman, makna itu berubah menjadi lain, manakala
manusia mengenal ilmu pengetahuan yang lebih canggih dari sebelumnya. Dimana
pada saat itu debu ini hanyalah bersifat bubuk, semantara pemahaman bubuk ini
berubah bagi pikiran sekarang yaitu bersifat zat renik, dari zat inilah menjadi
nuthfah, lalu menjadi segumpal darah, hingga berubah menjadi
segumpal daging yang sempurna kejadiannya barulah ritiupkan ruh padanya.
Diayat lain, Alqur’an memberikan
informasi kepada umat manusia tentang asal usul kejadiannya dari air yang
memancar. Kalau seandainya kita berada hidup pada masa Rasulullah, kita
juga akan ikut menafsirkan ayat ini adalah air yang mengalir. Tetapi dibandingkan
dengan pengetahuan sekarang, tafsiran ayat ini dipahami bahwa air itu sifatnya
cair, dan cairan itu memancar, hingga pikiran kita mengarah langsung kepada
cairan itu adalah air mani, dan air mani ini lengkap dengan zat spermatozoanya.
Pengertian tafsiran ayat ini harus diyakini, karena kalau tidak, akan
menimbulkan kesesatan sampai akhirnya kita tidak meyakini firman Allah Swt yang
mengatakan bahwa Alqur’an itu adalah sebagai هُدًى لِّلنَّاسِ (petunjuk
bagi seluruh manusia), dan ini merupakan fungsi utama dari Kitab Suci
Alqur’an.
Inilah ayat
yang suci, bahwa Alqur’an itu berbicara kepada siapa saja, kapan saja, dari
masa ke masa dan memiliki sifat yang universal sesuai dengan ayat-ayat kauniah
yang terhampar dipermukaan alam semesta. Bagaimana jadinya kalau kita mengikuti
klaim-klaiman orang yang pengetahuannya tidak sampai kesitu seperti yang saya
sebutkan di atas? Bisa jadi kita akan menganggap Alqu’an itu suatu kitab yang
usang dan mati, na ‘udzu billahi min dzalik. Namun yang harus
dicamkan adalah, meskipun kurun demi kurun pemahaman terhadap sesuatu kata atau
kalimat berubah, hal itu tidak akan membuat lafadz-lafadz Alqur’an (firman
Allah Swt) itu berubah, kalimat per kalimat ayat suci itu akan tetap sedia kala
sejak diturunkan-Nya melalui perantaraan malaikat Jibril a.s kepada baginda
Muhammad Saw.
Pemahaman dan penghayatan terhadap ayat
Alqur’an adalah suatu yang dinamis, akan sejalan dengan perkembangan pikiran
dan ilmu pengetahuan manusia. Dinamika itu harus terjadi pada setiap sendi
kehidupan bermasyarakat termasuk ketika berada di dalam mesjid. Pada umunya,
ketika kita mengikuti pengajian-pengajian di mesjid sekarang, yang diperoleh
adalah ajakan untuk melihat yang terjadi pada masa lampau, baik itu tentang
kepemerintahan, ekonomi, perdagangan, masyarakat yang berjiwa sosial dan lain
sebagainya. Sehingga yang terjadi adalah timbulnya semacam paksaan untuk
mengikuti kehidupan masa lampau seperti yang dipikirkan oleh kaum terdahulu.
Hal ini tidaklah mungkin untuk kita lakukan dan itu mustahil. Kalau kita
mengikuti hal itu, kita tidak ubahnya semacam cerita ash habul kahfi
yang diceritakan oleh Alqur’an, akan terheran-heran dengan kehidupan dunia yang
berbeda dari 350 tahun sebelumnya.
Penafsiran yang disudutkan oleh pelontar bid’ah
akan menimbulkan kemunduran kita, dan ini sudah nyata bahwa negara-negara yang
maju menjalankan setiap hukum menurut asasi fitrah manusia. Mereka menerapkan
kedisiplinan suatu ilmu, memiliki etos kerja dan memanfaatkan waktu dengan
sebaik-baiknya, dan meraka tidak pernah merasa dipaksa untuk melakukan sesuatu,
tetapi mereka menyadarinya bahwa itu adalah sebuah kesepakatan fitrah dirinya.
Saat ini masih banyak hal-hal,
perkara-perkara yang telah diklaim sebagian kelompok merupakan suatu Bid’ah.
Hal ini akan berlawanan antara ilmu pengetahuan yang berkembang dengan agama
ortodoks. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya bahwa suatu perkara yang tidak
pernah dilakukan oleh Nabi Saw dan sahabat maka amalan itu di tolak. Misalnya,
belajar ilmu Tajwid, Ilmu Nahwu, Ilmu Matematika, Ilmu Kimia dan ilmu lainnya
tidak pernah dilakukan oleh Nabi maupun sahabat lainnya, akankah kita
mengatakan dan memvonis mereka yang melaksanakannya merupakan pelaku-pelaku
amalan yang ditolak seperti perkataan Nabi Saw? Bahkan yang terjadi adalah
sadar atau tidak sadar telah mempersempit makna hadits disebabkan
tuduhan-tuduhan yang keliru. Padahal mereka yang bergelut di dunia ke-ilmuan
adalah orang yang memiliki sikap pragmatisme. Lalu bagaimana sebenarnya maksud
dari amalan yang ditolak atau Bid’ah itu? tanya seorang kapada
saya.
Menjawab pertanyaan di atas, kita harus
merujuk kepada hadits Nabi Saw serta mengambil tafsiran makna yang tersembunyi
di dalamnya. Harus menggunakan anugerah akal yang telah Allah Swt berikan untuk
mengahayatinya. Seperti teks hadits ini secara verbal Rasululah katakan :
مَنْ عَمِلَ
عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ . رواه المسلم
“bagi siapa yang beramal dengan sesuatu
amal yang tidak pernah kami perintahkan, maka amalannya itu akan tertolak
(tidak diterima)”, (HR. Muslim).
Dalam teks hadits di atas terdapat kata-kata
‘amal’, beberapa ulama memberikan
pengertian terkait ‘amal’ itu adalah yang mengandung pengertian amal yang wajib
bukan amal yang sunnah. Sementara amal yang wajib telah jelas Rasulullah
ajarkan dan termuat di berbagai hadits-hadits beliau. Amal wajib ini
dicontohkan seperti ibadah shalat. Ibadah yang satu ini merupakan ibadah yang
paling banyak diajarkan Rasulullah Saw melalu haditsnya, mulai dari berdiri,
cara mengangkat tangan, rukuk, sujud dan lain sebagainya. Kalau rangkaian
ibadah ini tidak sesuai dengan yang dianjurkan Rasulullah Saw, maka amalan itu
akan ditolak (tidak akan diterima). Jadi, penolakan yang dimaksud dalam makna
hadits itu adalah amalan yang wajib yang dikerjakan tetapi melenceng dari
tuntunan Rasulullah Saw, bukan amalan yang mandub atau sunah. Sedangkan sunah
merupakan metode nabi Muhammad Saw dalam menghadapi dunia Arab pada abad
ketujuh yang sudah berlangsung dengan sukses.
Selain itu, sunah akan mengajarkan kepada
suatu proses bekerja setiap saat di dalam batasan-batasan (hudud).
Karena Nabi Saw sendiri pun tidak pernah melampaui batasan Allah Swt yakni common
sense atau akal sehat. Inilah yang dimaksud dengan sunah. Semakin kita
amati dengan teliti semakin kita menemukan rahasia yanng terkandung di dalam
Alqur’an maupun Hadits. Dan untuk itu kita dituntut untuk mencari ilmu
pengetahuan yang hukumnya adalah wajib bagi tipa muslim laki-laki dan muslim
perempuan dengan bertujuan agar tidak terjebak di dalam pengaruh-pengaruh yang
keliru.
Ilmu adalah sesuatu yang universal yang tidak
bisa disangkal dengan kata-kata bid’ah atau khurafat.
Sehingga amat tepat sekali perkataan nabi yang memerintahkan menuntut ilmu
sampai ke Negeri Cina, meskipun Negeri ini tidak menganut agama Islam pada saat
itu. tujuan untuk diperintahkannya menuntut ilmu ini hingga ke Negeri Cina
adalah agar tidak melahirkan etika yang berlawanan dengan Islam ketika melihat
tradisi kaum bangsa non Muslim, karena pada masa itu kemajuan negara Cina
sangat berkembang pesat ketimbang negara-negara Arab, baik perkembangan
ekonomi, budaya, kultur, dan sebagainya.
Dengan demikian, pendapat imam al-Ghazali r.a
tidak salah lagi yang mengatakan bahwa “apabila terlintas dipikiranmu
keraguan dalam masalah kehidupan (agama, akidah, mu’amalah), maka belajarlah,
kajilah untuk menghilangkan keraguan itu, karena mempelajari ilmu yang dapat
menyalamatkan dari kebinasaan dan memperoleh drajat yang tinggi adalah fardhu
‘ain, sementara mempelajari ilmu-ilmu selain itu adalah fardhu kifayah”.
Bukankah nabi Muhammad, Saw pernah bersabda “amal
yang sedikit tetapi dibarengi dengan ilmu itu lebih baik dari pada amal yang
banyak tapi tanpa ilmu”. Karena dengan ilmu kita akan mengetahui
perkara-perkara syari’at Islam (wajib, mandub, makruh, haram, dan makruh).
Diceritakan dari al-Faqih, ia berkata bahwa
Abul Qasim Abdur Rahman bin Muhammad menceritakan kepada kami dengan sanadnya
dari Al-Hasan al-Bashri, dimana ia berkata bahwa “janganlah kamu seperti
sekelompok orang yang meninggalkan ilmu dan hanya beribadah terus menerus,
sehingga setelah badannya kurus, mereka keluar dengan menghunus pedang untuk
memerangi orang-ornag yang berada di sekelilingnya. Seandainya mereka mencari
ilmu, niscaya ilmu dapat mencegah mereka untuk berbuat seperti itu. orang yang
beramal tanpa didasari ilmu itu adalah seperti orang yang tersesat di jalan,
semakin tekun ibadahnya, maka semakin jauh tersesatnya, dan kerusakannya jauh
lebih banyak dari pada kebaikan”.
Sehingga nyatalah maksud dari pernyataan
seseorang kepada Abdullah ibn al-Mubarak yang bertanya “sampai kapan sebaiknya
seseorang menuntut ilmu?” Abdullah menjawab, “selama kebodohan masih ada pada
dirinya, maka lebih baik baginya untuk tetap belajar”. Artinya adalah selama
kebodohan menyelimuti hidupnya maka tiada batasan untuk berhenti menuntut ilmu.
Karena ilmu adalah kehidupan hati dari kebutaan, cahaya mata dari kezaliman,
dan kekuatan tubuh dari kelemahan. Dengan ilmu, seorang hamba akan sampai pada
kedudukan orang-orang baik dan tingkatan yang paling tinggi. Memiliki ilmu
berarti akan terhindar dari kesesatan, tidak akan mudah memvonis seseorang
sebagai pelaku-pelaku amalan yang ditolak atau perkara Bid’ah.
Hindarilah sesat lagi menyesatkan.
Banyak orang orang yang melaksanakan shalat,
akan tetapi Allah Swt tidak menerima ibadah shalatnya karena tidak dilakukan
dengan kesadaran dan keikhlasan. Terdapat orang yang melaksanakan bagian-bagian
rukun Islam itu, seperti Haji contohnya, tetapi berhajinya tidak berterima
disisi Allah disebabkan hilangnya nilai keikhlasan. Berzakat disebabkan
keterpaksaan dan takut dikatakan tetangga sebagai manusia kikir. Agama ini
berdiri dengan memiliki rukun, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Ketiganya adalah
hal yang penting dalam menjalankan agama. Ihsan misalnya, apabila hilang dari
seseorang maka ia akan semena-mena berbuat sekehendak hatinya, sebab ihsan
adalah sikap yang selalu sadar apabila memperbuat sesuatu selalu diawasi Allah
Swt meskipun manusia itu tidak bisa melihat Allah Swt.
Itulah syari’at Islam yang setiap orang wajib
mngetahuinya agar tidak menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan oleh Allah
Swt, sendiri juga yang telah diajarkan oleh baginda Muhammad Saw. Pahamilah,
maka engkau akan beruntung. Wallahu a’lam.[ ]
Orientasi Ibadah Dalam Agama Islam
anusia hidup di dunia ini dalam pandangan
konsepsi Islam dengan disertai oleh dua macam kewajiban yang secara lugas Allah
Swt, nayatakan di dalam kalam mulia-Nya. Kewajiban ini telah mengikat tujuan
hidup manusia sebagai mission atau risalah. Kewajiban
yang dimaksud adalah risalah khalifah dan risalah ibadah.
Kajian kali ini pokus terhadap risalah
ibadah. Karena sebelumnya risalah khalifah telah saya bahas pada bab 1 tentang
hakikat manusia. Yang dijelaskan bahwa manusia sebelum penciptaannya sudah
dibebani misi sebagai khalifah (wakil Allah Swt) untuk mengurusi dan mengatur
alam semesta dan juga
merupakan wakil Allah untuk menjadi saksi atas kemaha besaran-Nya serta
mengungkapkan rahasia dibalik firman-firman-Nya.
Manusia
yang paling ideal menurut ukuran Islam adalah yang mampu melaksanakan kedua
kewajiban tersebut, yakni mampu melaksanakan risalah ibadahnya dengan baik, dan
sanggup melaksanakan risalah khalifah dengan sukses. Model manusia yang
digambarkan oleh Islam itu hanya terdapat pada seorang saja, sejak kehidupan
manusia dimulai dipermukaan bumi ini, yaitu nabi Muhammad Saw. Oleh karenanya,
dialah yang ditunjuk Allah Swt sebagai ‘manusia teladan’ ataupun uswatun
hanasah. Hal ini tercantum pada firman Allah Swt :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ
يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS. al-Ahzab, 33:21)
Ibadah menurut teori bahasa
memiliki pengertian taat, tunduk, menurut, mengikut, dan do’a. Sementara dalam
pengertian secara luasnya dalam ajaran Islam adalah kepatuhan yang total kepada
Allah Swt, suatu penyerahan diri yang bulat dan jujur kepada-Nya, dengan
mengikuti cara dan aturan yang telah ditetapkan-Nya. dan dengan ibadah inilah
yang melahirkan dan menyebabkan Aqidah Islamiyah menjadi hidup
dalam jiwa manusia yang melakukannya, dan menyalurkan Aqidah Islamiyah
dari tingkat penalaran menuju tingkat pengahayatan, sehingga nurani manusia
dapat merasakan sesuatu yang potensial pada dirinya, yang dapat memberikan
dorongan, kesemangatan dan menjadi penerang dalam menghadapi berbagai macam
masalah kehidupan.
Secara
implementasinya, ibadah dalam Islam terbagi kepada tiga struktur, pertama,
“ibadah jasmaniah rohiah (rohaniah)”; ibadah ini adalah perpaduan
antara ibadah jasmani dan rohani, misalkan ibadah shalat, puasa. Kedua,
“ibadah rohiah dan maliah”; ibadah ini merupakan perpaduan ibadah jasmani
(fisik) dengan ibadah harta, ibadah ini misalnya ibadah zakat. Ketiga,
“ibadah jasmaniah, rohiah dan maliah sekaligus”; ibadah ini diketahui dengan
idabah yang menyatukan jasmani, rohani (hati) dan maliah (harta), contoh dari
ibadah ini adalah ibadah haji. Ibadah yang satu ini adalah penyatuan ketiga-tiga
jenis ibadah, makanya rasulullah Saw menyatakan kepada seseorang yang
menjumpainya dikala nabi Saw, sedang berkumpul dengan para sahabat lainnya,
hingga seseorang itu mengambil posisi duduk dihadapan nabi Saw, dengan
menyandarkan lututnya kepada lutut nabi. Seseorang itu bertanya kepada Nabi
Saw, “Wahai Muhammad! Jelaskan kepadaku tentang Islam !
Nabi Saw pun
menjawab pertanyaan itu dengan suara lembut, “Islam adalah bahwa engkau
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Swt dan bersaksi Muhammad itu
utusan Allah Swt, dan egkau mendirikan zakat, menunaikan zakat, berpuasa pada
bulan Ramadhan, dan pergi haji ke Baitullah apabila engkau telah mampu
melakukannya. Jadi, ibadah Haji ini merupakan perpaduan antara fisik, hati
dan harta. Jika perpaduan ketiga ini belum mencukupi bagi seseorang, maka belum
diwajibkan baginya untuk menunaikan ibadah ini.
Sementara
itu, bila ditinjau dari segi kepentingannya, ibadah itu memliki dua macam,
yakni ibadah fardi (perorangan), seperti ibadah shalat dan puasa. Dan ibadah
ijtima’i (masyarakat), ibadah ini contohnya adalah ibadah zakat dan
haji. Suatu prestasi yang berharga apabila dapat menjalankan ini secara
sempurna dengan presensi (kehadiran) hati dan akan mampu menuju titian insan
kamil.
Dalam ilmu
tasawuf, insan kami ini disebut juga dengan istilah rijal kamil,
yaitu orang-orang yang memliki kecerdasan intelektual dan spiritual yang
tinggi. Selain itu juga, ia akan mengejawantahkan kapasitas kecerdasannya
tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Yakni dengan konsisten menjalankan
amal-amal shaleh kepada lingkungan sosialnya. Dengan prestasi insan kamil inilah
seseorang memiliki kemungkinan untuk mengenal Tuhannya secara pasti dan benar.
Puncak insan kamil bagi seorang muslim tentunya sosok Nabi Muhammad Saw.
Seorang yang mempunyai nurani suci sehingga sangat dekat kepada Allah Swt,
sekaligus seorng yang memiliki akhlak mulia sehingga dikagumi oleh setiap
pengikutnya.
Oleh karena
itu, agama Islam yang sekedar dimengerti secara aqliyah, dikuasai secara
teoritis dan difahami secara normatif saja, akan sedikit sekali pengaruhnya
terhadap jiwa manusia, jika dibandingkan dengan agama Islam yang diterapkan
secara amaliyah, dilakukan dengan kegiatan praktis dan dihayati secara
operatif.
Melakukan
ibadah akan dapat menumbuhkan kesadaran diri manusia bahwa ia adalah makhluk
Allah Swt, yang diciptakan sebagai insan yang mengabdi kepadan-Nya. hal ini
seperti firman Alllah Swt :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS. al-Dzariyaat, 51:56)
Dengan
demikian, manusia diciptakan bukan sekedar untuk hidup mendiami dunia ini, dan
kemudian mengalami kematian tanpa ada pertanggung jawaban kepada pencipt-Nya,
melainkan manusia itu diciptakan oleh
Allah Swt, untuk mengabdi kedapa-Nya. Dan juga Allah Swt, memerintahkan kepada
Bani Adam agar tidak menyembah atau mengabdi kepada selain-Nya. ini dibuktikan
dengan beberapa firman Allah Swt untuk menyembahnya;
أَلَمْ
أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ
إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ - See more at:
http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-yasin-ayat-60-70.html#sthash.UxkpVihb.dpuf
أَلَمْ
أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ
إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ - See more at:
http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-yasin-ayat-60-70.html#sthash.UxkpVihb.dpuf
أَلَمْ
أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ
إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ - See more at:
http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-yasin-ayat-60-70.html#sthash.UxkpVihb.dpuf
أَلَمْ
أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ
إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ - See more at:
http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-yasin-ayat-60-70.html#sthash.UxkpVihb.dpuf
“Bukankah aku telah memerintahkan kepadamu Hai Bani Adam supaya
kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagi kamu". (QS. yaasiin, 36:60)
dan juga
firman-Nya :
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah
agama yang lurus”. (QS. al-Bayyinah, 98:5)
Orientasi
dari sebuah ibadah hakikatnya adalah merupakan sari ajaran agama Islam yang
memiliki arti penyerahan diri secara total dan sempurna pada kehendak Allah
Swt. Sebab itu, tidak ada alasan bagi seorang manusia untuk mengabaikan
kewajiban-kewajiban beribadah kepada-Nya. Dengan memurnikan ketaatan dan
menjalankan agama yang lurus maka akan tertutup segala kemungkinan yang
menyebabkan penyimpangan-penyimpangan aqidah dan mengunci segala celah-celah
yang mengakibatkan perusakan terhadap pengabdian kepada Allah Swt.
Mencapai
kemurnian ketaatan dan menjalankan agama yang lurus diatas harus dilaksanakan
dari segala aspek kehidupan. Islam memberikan tawaran preskripsi (resep) kepada
penganutnya dalam pencapaian kemurnian di atas, setidaknya ada 5 preskripsi, antar
lain :
1. Ibadah dalam
bentuk perkataan atau lisan (ucapan lidah), seperti berdzikir, berdo’a dan
membaca Alqur’an;
2. Ibadah dalam
bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti membantu atau
menolong orang lain, jihad, tajhiz al-janazah (mengurus jenazah), dan
lain sebagainya;
3. Ibadah dalam
bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujud perbuatannya, seperti shalat,
puasa, zakat, dan haji;
4. Ibadah yang
tata cara dan pelaksanaannya berbentuk menahan diri seperti, puasa, ‘itikaf,
ihram bagi orang yang berhaji; dan
5. Ibadah yang
berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang telah melakukan
kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan seseorang yang berutang kepadanya.
Dalam rangka
pelaksanaannya tentunya diharapkan dengan kepatuhan dan ketundukan semata
karena Allah Swt. Manusia yang telah menyatakan dirinya sebagai muslim dituntut
untuk senantiasa melaksanakan ibadah sebagai pertanda keikhlasan mengabdikan
dirinya kepada Allah Swt. Tanpa ada ketaatan beribadah, barangkali
pengakuaannya sebagai muslim masih perlu dicurigai dan dipertanyakan. Jika ada
kesenjangan antara pengakuan dan amal ibadah, berarti seornag muslim itu belum
memaham sepenuhnya konsepsi syari’at Islam tentang kewajiban pengabdian kepada
Allah Swt.
Syari’at
Islam telag mengungkapkan bahwa tujuan akhir dari semua bentuk aktivitas hidup
manusia adalah pengabdian kepada Allah Swt. Sebab ia adalah wujud yang kreatif,
yang telah menciptakan manusia sebaik-baik bentuk dan ciptaan, (lihat, QS.
at-Tiin, 95:4). Sebagai Rabb bagi seluruh alam termasuk di dalamnya
manusia, Allah Swt tidak membebankan kewajiban beribadah diluar kemampuan
manasia itu snediri. Melaksanakan perintah-Nya itu saja telah bernilai ibadah,
sebab tidak satu pun ajaran dan perintah-Nya yang tidak bernilai ibadah.
Demikian juga halnya dengan larangan-larangan-Nya, jika manusia mematuhinya,
maka semuanya akan bernilai ibadah. Bahkan menurut Islam, setiap aktivitas
manusia yang sesuai ketentuan Allah Swt adalah
bernilai ibadah.
Tujuan
ibadah dalam Islam bukanlah sejenis perbuatan magis, yang bermaksud mengundang
campur tangan adikodrati di dunia yang terikat dengan hukum kausalitas (sebab
akibat). Islam juga mengatakan bahwa Ibadah bukan sekedar pemujaan yang
mengandung maksud berlebihan dengan mengharapkan pertolongan Yang Maha Kuasa.
Tetapi ibadah merupakan pengabdian dan dedikasi terhadap semangat hidup yang
bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah Swt, karena Dia-lah yang telah
menciptakan dan memberi kehidupan kepada manusia dan makhluk lainnya.
Maka tugas kita sebagai muslim dalam menghadapi
ibadah adalah mengetahui hukum ibadah yang dilakukan, mengerti tata cara
melaksanakannya atau mengerjakannya dengan tepat, dan menyadari serta
menghayati nilai-nilai yang menjadi hikmah dan tujuan dari ibadah tersebut.
Tanpa itu, ibadah kita akan berwujud sekedar sebagai yang mempunyai nilai-nilai
simbolis saja, tapi tidak mencapai nilai-nilai fungsionalnya. Seperti puasa
misalnya, ibadah ini telah mendapatkan
sindiran dari Rasulullah Saw, terhadap orang yang mengerjakannya, dengan
perkataan beliau “banyak orang yang melaksanakan puasa, namun hasil puasanya
tidak lebih hanyalah menahan rasa lapar dan dahaga (haus) saja” (HR. Ahmad).
Suatu hal
yang perlu digarisbawahi bahwa orientasi ibadah dan kadar implikasinya sangat
berkaitan dengan kadar kesadaran hamba dengan kebutuhannya kepada Allah Swt,
dan bahwa ia tidak mungkin hidup berlepas diri dari Allah Swt, walaupun sekejap
mata. Oleh sebab itu, ketika ibadah berlangsung, sewajarnyalah dilandaskan
penuh kecintaan yang murni kepada Alah Swt, dan diiringi dengan kerendahan diri
yang sempurna. Kecintaan ini akan semakin menebal dengan proses tafakkur terhadap
sifat-sifat-Nya dan memahami ke-Maha Besarannya. Dengan demikian, hati seorang
hamba akan penuh dengan makna ubudiyah, akan memeliharanya dari
penyembahan kepada selain Allah Swt. Maka jadilah ia seorang hamba yang
memurnikan ketaatannya kepada Allah Swt, dan memiliki kedudukan yang paling
tinggi dicapai oleh manusia. Pahamilah, maka engkau akan beruntung. Wallahu
a’lam.[ ]