Jumat, 01 September 2017

khutbah Idul Adha Semangat Berqurban akan menumbuhkan Persatuan yang Kokoh







Khutbah Hari Raya Idul Adha I 2017M/1438H
 “Semangat Berkurban akan Menumbuhkan Persatuan yang Kokoh
Oleh: Rahmad J. Lubis, S.Pd.I


3x الله أكبر 3x الله أكبر 3x الله أكبر
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ هُوَ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ.
الحمد لله رب الناس. اله الناس. ملك الناس. وخلق الناس. ونزل القران الى الناس. ويرزق الى الناس. والصلاة والسلام على سيدنا وحبيبنا مصطفى محمد خيرالناس. وعلى اله واصحابه وقرباته من الناس. اشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له وهو رب الناس. واشهد ان محمد عبده ورسوله الى جمع الناس. اللهم صلى وسلم وبارك على سيدنا محمد واسواة للناس. وعلى اله واصحبه اجمعين
 
امابعد
ايهاالحضرون ايهاالمسلمون. اتقوا الله اتقوا الله كما قال تعالى
يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat, Jama’ah idul Adha yang berbahagia.

Mari sama-sama kita banyak-banyak memanjatkan puji-pujian kepada Allah Swt, Tuhan Penguasa alam semesta. Dialah yang mengatur kehidupan semua makhluk di jagat raya. Dia pula yang memberikan energi kehidupan untuk seluruh makhluk-Nya, baik di darat, di laut, di gunung, maupun di dalam rimba raya. Dia penentu kehidupan dan kematian, kenikmatan dan kesengsaraan, kekayaan dan kemiskinan, keselamatan dan marabahaya. Dialah tempat bergantung semua manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan dunia.

Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada tokoh pemimpin umat, yang membawa sinar-sinar Islam sampai terasa kepada kita sekarang. Mari sama-sama kita kirimkan do’a yang berlantunkan:
اللهم صل وسلم على سيدنا وشفيعنا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين

Selaku khatib, saya berwasiat terlebih dahulu kepada diri saya peribadi dan umumnya kepada jama’ah idul adha, untuk sama-sama merendahkan diri dihadapan Allah Ta’ala dan meningkatkan keimanan serta ketaqwaan kita terhadap Allah Ta’ala. Dengan cara melaksanakan seluruh hukum-hukum Allah dengan benar, dan meninggalkan segala pekerjaan yang berbau larangan.

Semangat Berkurban akan Menumbuhkan Persatuan yang Kokoh” inilah judul khutbah kami pada kali yang berkesempatan baik ini.

Hadirin, Para tamu Allah yang berbahagia.

Hari ini merupakan wujud nyata kearifan sosial kita, dalam suasana yang penuh sukacita. Semua wajah menunduk penuh tawadhu’ ke hadirat sang Pencipta. Pada hari yang berbahagia ‘Idul Adhha. Baru saja kita melakukan ruku’ dan sujud di Mesjid Nurul Huda ini sebagai salah satu bukti kecintaan kita kepada Allah SWT dan sekaligus menghidupkan syi’ar-Nya. Di antara syi’ar-syi’ar Allah yang kita agungkan pada hari ini adalah shalat ‘Idul Adhha, ibadah qurban, dan zikir (takbir, tahlil, dan tahmid).

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil Hamda.

Pada setiap Hari Raya Idul Adha, kita selalu diingatkan kisah tentang ketataan seorang Nabi Ibrahim as dan Ismail as dalam mengerjakan perintah Tuhannya. Sejarahnya adalah bermula dari ujian paling berat yang menimpa Nabiyullah Ibrahim. Disebabkan kesabaran dan ketabahan Ibrahim dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan, lalu Allah memberinya sebuah anugerah, sebuah kehormatan yang disebut dengan “Khalilullah” (kekasih Allah). Setelah titel Al-khalil disandangnya, Malaikat bertanya kepada Allah: “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau menjadikan Ibrahim sebagai kekasihmu. Padahal ia disibukkan oleh urusan kekayaannya dan keluarganya?” Allah berfirman: “Jangan menilai hambaku Ibrahim ini dengan ukuran lahiriyah, tengoklah isi hatinya dan amal bhaktinya!”

Kemudian Allah SWT mengizinkan para malaikat menguji keimanan serta ketaqwaan Nabi Ibrahim. Ternyata, kekayaan dan keluarganya dan tidak membuatnya lalai dalam taatnya kepada Allah. Dalam kitab “Misykatul Anwar” disebutkan bahwa konon, Nabi Ibrahim memiliki kekayaan 1000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 ekor unta. Riwayat lain mengatakan, kekayaan Nabi Ibrahim mencapai 12.000 ekor ternak. Suatu jumlah yang menurut orang di zamannya adalah tergolong milliuner. Ketika pada suatu hari, Ibrahim ditanya oleh seseorang “milik siapa ternak sebanyak ini?” maka dijawabnya: “Kepunyaan Allah, tapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu bila Allah menghendaki, aku serahkan semuanya. Jangankan cuma ternak, bila Allah meminta anak kesayanganku, niscaya akan aku serahkan juga.”

Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Qur’anul ‘adzim mengemukakan bahwa, pernyataan Nabi Ibrahim itulah yang kemudian dijadikan bahan ujian, yaitu Allah menguji Iman dan Taqwa Nabi Ibrahim melalui mimpinya yang haq, agar ia mengorbankan putranya yang kala itu masih berusia 7 tahun. Anak yang tampan elok rupawan, sehat tanpa cacat ini, supaya dikorbankan dan disembelih dengan menggunakan tangannya sendiri. Sungguh sangat mengerikan! Peristiwa itu dinyatakan dalam Al-Qur’an Surah As-Shoffat : 102 :

Artinya :
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar". (QS As-shaffat: 102).

Ibrahim bersedia menyembelih putranya, sementara Ismail rela disembelih oleh ayahnya. Sikap ini dilakukan untuk membuktikan ketaatan mereka kepada Tuhannya. Inilah ketaatan total yang seharusnya dilakukan setiap hamba kepada Tuhannya.

Apakah sikap kita sudah seperti itu? Apakah kita telah memiliki ketaatan total kepada Allah dan Rasul-Nya? Sudahkah kita mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya dalam setiap perintah dan larangan-Nya? Pertanyaan ini tentunya kembali kepada diri kita masing-masing.

Ketika Allah memerintahkan kita shalat, kita segera melaksanakannya. Ketika memerintahkan kita berpuasa, kita juga segera melaksanakannya. Ketika kita dilarang memakan Babi, kita pun segera meninggalkannya. Lalu, mengapa ketika Allah memerintahkan kita untuk menerapkan hukum-hukum-Nya, kita abaikan? Mengapa ketika Allah memerintahkan kita melaksanakan sistem ekonomi berdasarkan hukum-hukum-Nya, kita tidak menunaikannya? Bahkan jalan riba kita laksanakan dengan hati riang.  Begitu pun, ketika Allah memerintahkan kita untuk bermasyarakat berdasarkan hukum-hukum-Nya, kita tidak melaksanakannya dan tidak peduli? Bukankah kita tahu, bahwa hanya dengan hukum-hukum-Nya kehidupan kita akan menjadi lebih baik, dan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat?

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil Hamda.

Ibadah qurban, adalah satu ritualitas agama yang dimensi sosialnya sangat kental. Dengan berqurban, seorang muslim merasakan dirinya dekat dengan Allah SWT dan dekat dengan sesamanya. Ketika orang yang berqurban menyembelih qurbannya, ia membaca: “Sesungguhnya shalatku ibadahku (qurbanku), hidup dan matiku untuk Allah.” Dan setelah hewan qurbannya disembelih, ia bagikan dagingnya kepada orang yang kurang mampu sebagai bentuk kecintaan dan kepedulian mereka terhadap sesama. Inilah yang perlu kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Amat disayangkan, jiwa pengorbanan dalam menjalankan syariah ini tidak terlihat dalam kehidupan sebagian besar umat ini. Bahkan, tidak sedikit di antara kita yang menjalani kehidupan seperti orang-orang bangsa kafir munafik. Dari Senin hingga Jumat atau Sabtu, waktunya habis digunakan mencari uang. Sabtu atau ahad dihabiskan bersenang-senang. Tak pernah terpikir tentang mengkaji Islam, berdakwah apalagi menegakkan sistem hukum Islam. Dan juga tidak pernah berpikir tentang akidah keluarga khusus anak-anak dan cucu. Siang malam hanya disibukkan untuk mengejar dunia, dipusingkan dengan penyakit yang terus menular yaitu penyakit SMS (senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang).

Padahal, satu-satunya jalan menuju keselamatan dunia akhirat adalah bersegera melaksanakan syariah-Nya. Menjadi pejuang bagi tegaknya syariah sebagaimana Rasulullah dan Para Nabi saw begitu masuk Islam langsung menjadi pejuang Islam hingga mereka wafat. Sementara kebanyakan kita sudah muslim dari bayi tapi hingga mati tak penah menjadi pejuang Islam. Sungguh kenyataan ini wajib segera kita ubah dan perbaiki.

Para Tamu Allah yang berbahagia...

Hakikat ibadah qurban adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan mengorbankan sebagian harta yang dianugerah kepada kita dalam bentuk hewan. Seseorang yang melakukan qurban berarti ia telah sanggup menundukkan keinginan dirinya dan telah mampu meredam perasaan cintanya kepada selain Allah. Namun disamping itu, yang terpenting adalah pengerbonan haruslah dipersembahkan dengan hati yang ikhlas dan penuh dengan ketaqwaan. Sebab, meskipun nantinya hewan yang kita kurbankan gemuk, nampak bergizi, tanpa cacat pisik, tetapi jika tanpa barengan hati yang ikhlas dan penuh ketaqwaan, maka itu tidak mendapatkan ridha dari Allah Swt, hal ini sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’anul karim :

Artinya : Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. (QS. Al-Hajj: 37)

Oleh sebab itu, Hamba yang ikhlas sangat disegani syaitan. Ini berarti syaitan tidak mampu menggoda orang-orang yang ikhlas dalam beramal.

Syari’at qurban ini juga dilakukan demi semata-mata karena Allah Ta’ala.  Seperti firman Allah dalam al-Qur’an

Artinya:
Sesungguhnya kami telah anugerahkan kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalatmu karena tuhanmu dan berkurbanlah, sesungguhnya orang-orang yang mencintaimu dialah yang terputus....( al-Kautsar ayat 1-3)

Ayat ini mengajarkan sekaligus mengingatkan kita empat hal: pertama, nikmat Allah yang diberikan kepada kita lebih banyak daripada rasa syukur kita kepada-Nya. Kedua, pernyataan rasa syukur, antara lain, dinyatakan melalui shalat dan ber-qurban dengan ikhlas karena Allah.. Ketiga, ibadah qurban sangat erat hubungannya dengan shalat. Dalam shalat kita dilatih supaya ikhlas, sabar, khusyu’, tawakkal, dan hanya tunduk kepada Allah. Karena itu, ibadah qurban tidak berlaku bagi orang yang tidak mau melaksanakan shalat. Dan keempat, orang yang tidak mau mensyukuri nikmat Allah akan dicabut nikmat darinya. Sebab itulah Rasulullah bersabda:
 وَّلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرُبَنَّ مُصَلاَّناً     مَنْ كَانَ لَهُ سَعَة
Artinya:
“Barangsiapa mempunyai kemampuan untuk berqurban tetapi ia tidak mau berqurban, maka jangan dekat ke tempat shalat kami” (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah disahihkan oleh al-Hakim).

Ma’asyira al-Muslimîn Rahimakumullâh,

Demikian isi khutbah yang dapa kami sampaikan, marilah kita memohon kepada Allah, semoga Allah Swt mengabulkan seluruh permohonan kita. Semoga Allah Swt memberi kita kesabaran dan kekompakan, serta memungkinkan kita berperan penting dalam upaya menegakkan dan memperjuangkan hukum-hukum Islam.

جَعَلْنَا اللَّهُ وَإِيَّاكُمْ مِّنَ اْلعَائِدِيْنَ وَالْفَائِزِيْنَ وَأَدْخِلْنَا وَإِيَّاكُمْ فِيْ عِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ وَقُلْ رَّبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ وَاسْتَغْفِرُوْهُ
إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ

  


Khutbah Idul Adha Ke-II


لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ.
.
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ جَعَلَ هَذَا اْليَوْمَ عِيْدِا لِّلْمُسْلِمِيْنَ وَجَعَلَ فِيْ قُلُوْبِ اْلمُسْلِمِيْنَ بَهِجَةً وَّسُرُوْرًا.  أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَنبَيَّ بَعْدَه. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَباَرِكْ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَابِهِ اَجْمَعِيْنَ. اَمَّا بَعْدُ فَيَا عِباَدَ اللهِ اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ

اتقوا الله فقد أفلح من تزكى وذكر اسم ربه فصلى. اعلموا أن الله أمركم بدأ فيه بنفسه وثنى بملائكته المسبحة بقدسه وقال تعالى إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما

اللهم صل وسلم على سيدنا وشفيعنا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين وارض اللهم عن الخلفاء الراشدين سيدنا أبي بكر الصديق وعمر وعثمان وعلي وعن كل الصحابة والتابعين وتابعي التابعين ومن تبعهم إلى يوم الدين وعلينا معهم برحمتك يا أرحم الراحمين

اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والأموات إنك سميع قريب مجيب الدعوات ياضي الحاجات برحمتك يا أرحم الراحمين
Rabbana,Ya Tuhan kami. Kami ini lemah bila tanpa kekuatan dari sisi-Mu. Kami ini bodoh ya Rabbi, bila tanpa ilmu dari sisi-Mu. Kami ini sesat, bila tanpa hidayah dan petunjuk-Mu. Jadikanlah kami, hamba yang  sanggup memahami perasaan serta kepentingan orang lain. Mampu menjauhkan diri dari sifat-sifat serakah yang membuat bangsa dan negara menjadi resah.
Ya Allah. Engkaulah Tuhan yang maha pengasih lagi penyayang. Ampunilah dosa-dosa kami, maafkanlah kesalahan kami. Kami sadar ya Rabb, bahwa dosa-dosa kami telah menggunung, kesalahan kami telah membukit, dosa mata kami, mulut, telinga, tangan, kaki dan seluruh fisik kami, terkhusus dosa batin kami, hati kami yang sering lalai untuk selalu mengingat-Mu. Izinkanlah kami meraih ampunan dari-Mu, mendapatkan kasih sayang-Mu selalu. Ya Dzal Jalali Wal Iqram
Ya Rahman Ya Rahim, jadikanlah momentum Hari Raya Idul Adha ini sebagai perisai buat kami untuk selalu meningkatkan ibadah kepadamu, agar kami mampu mendapatkan naungan darimu. ya Muta’al ya Rabbal ‘alamin.

Ya Rabbana, tiada hari tanpa ampunan mu, tiada nafas tanpa keridhoan mu, tiada naungan kecuali naungan darimu, ridhoilah dan terimalah kurban dan ibadah kami walaupun belum memenuhi syarat yang sempurna.

اللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلاَءَ وَ الْبَلاَءَ وَ الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرْ وَ السُيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَ السَّدَائِدَ وَ الْمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنْ مِنْ بَلاَدِنَا لُوْبُكْ  سَانَيْ 14  كوت  خَاصَّةً وَ مِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَةً إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ.



Minggu, 04 Juni 2017

Berkomunikasi dengan Allah



BAB 3
APAKAH KITA SUDAH BERISLAM?




Pengertian Agama Islam

A
gama samawi yang diturunkan oleh Allah Swt melalui utusan-Nya, Muhammad Saw, yang ajaran-ajarannya termaktub dalam kitab Alqur’an dan Sunnah dalam bentuk perintah-perintah, larangan-larangan dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan umat manusia, baik di dunia maupun akhirat.
               
Makna Agama !

Ibarat orang buta yang sedang berjalan dikeramaian orang, tentunya ia akan menemukan kendala-kendala dalam menyisiri jalanan. Ia tak tahu akan arahnya lagi, kiri kanan banyak manusia lain yang menjadi penghalang jalannya, muka belakang juga terdapat beberapa bebatuan besar maupun kecil yang acap kali ia tersungkur karena ketidaktahuannya. Sebab itu, untuk keselamatannya tentu ia butuh penuntun arah jalannya, butuh seseorang sebagai pemandu langkahnya hingga ia bertemu pada garis finish dan beristirahat padanya.

Mungkin dari judul bab di atas pastinya akan menimbulkan beberepa komentar dari pembaca sendiri, megeluarkan argumen-argumen yang tidak enak kepada saya sebagai penulis. Contoh kecilnya pada saat saya baru menemukan ide tentang menulis bab seperti di atas, terlebih dahulu saya meminta beberapa pendapat para kawan yang komunitasnya kerja di berbagai instansi pemerintahan, swasta, dan karyawan, mereka mengatakan bahwa saya telah bodoh, “masa keislaman seseorang engkau pertanyakan”? “apa  kamu sudah mulai edan alias sinting sehingga ente tidak mempercayai keislaman seseorang?, padahal mereka rajin ke mesjid, tidak pernah tinggal shalat baik yang sunnah apalagi yang wajib? Mereka suka berbagi sesama, sedekah, infak mereka keluarkan?.

Ya, jawabku, memang sebagian dari mereka rajinnya tidak bisa dibatasi dan juga tidak dipungkiri. Tetapi perlu dipertanyakan, mereka melakukan kebajikan itu semua berdasarkan apa? Mereka mengerjakan shalat disebabkan apa? Jangan-jangan mereka shalat karena ikut-ikutan, mereka berinfak, bersedakah agar dipandang sebagai orang yang dermawan, puasa sunnah karena ingin dipuja dengan sebutan sebagai orang yang taat. Pertanyaan saya ini berdasarkan kepada realita dalam keseharian. Kenapa perlu dipertanyakan keislaman mereka? Karena dikhawatirkan mereka Islam disebabkan oleh orang tua mereka terlahir Islam, makanya mereka juga Islam, atau keislaman mereka disebabkan oleh tercantumnya di kartu identitasnya sebagai penganut Islam. Kalau hal yang seperti ini terjadi, maka tidak salah dikatakan sebagai Islam turunan atau Islam KTP atau juga Islam merek. Inilah realita yang banyak beredar dilingkungan Islam itu sendiri.

Bagaimana mungkin kita ber-Islam secara total seperti yang diperintahkan Allah Swt, “masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh” sementara kajian-kajian Islam tidak dipengerti, batasan-batasan agama Islam tidak paham, perundang-undangan yang mengatur Islam itu sendiri tidak di pedomani.

Kepemahaman kita terhadap agama Islam belumlah sempurna dengan hanya belajar sampai beberapa kitab-kitab yang menyajikan tentang Islam. Tentunya dalam pengamalan agama itu sendiri harus dibarengi dengan kesadaran ikhlas. Memahami agama dalam konteks sejauh ini teremat merumitkan bagi sebagian kelompok, sehingga menimbulkan paham-paham baru, dengan penemuan-penemuan yang acap kali diperdapati setiap harinya yang berakibat kepada keterpurukan agama itu sendiri.

Agama, sejauh ini telah banyak didefenisikan para ahli, baik ahli keteologian barat maupun ahli dari Islam itu sendiri. Fenomena ini mengkhawatirkan kita akan timbulnya sebuah paham yang bersifat orientalis. Paham orientalis ini seperti yang diketahui adalah ilmuwan barat yang melakukan kajian Islam secara khusus.

Secara metodolgis, adalah suatu hal yang ironis dan harus ditolak apabila memahami agama Islam kepada non Islam. Menanggapi hal ini diperlukan akal yang sehat, mustahil seseorang yang ingin belajar ilmu kedokteran kepada seorang insinyur, belajar teknik kepada ahli ekonomi, dan sejenisnya. Sudah barang tentu seorang orientalis bukan orang yang memahami dan menguasai Islam.

Memahami suatu agama, terkadang kita dipengaruhi oleh ekspresi dalam satu atau lain bentuk kesadaran terhadap ketergantungan kepada sutu kekuatan di luar diri kita (dibatasi kemampuan) yang dapat dinamakan dengan kekuatan spritual atau moral. Anggapan ini jelas berlainan dengan pendapat para ahli sosiologi agama. Menurut sebagian dari mereka ber-argumen ekspresi yang datang itu harus dipikirkan secara religius sehingga dapat menemukan jawaban yang mutlak tentang segala hal, seperti mengembalikan sebab segala peristiwa yang terjadi kepada kehendak Tuhan.

Sebab itu, agama bukanlah suatu kehendak masyarakat itu sendiri, bukan sekedar ilusi manusia atau bukanlah suatu alat yang menyebabkan seseorang naik kelas dari kelas borjuis menuju kelas proletar. Dan bisa juga dikatakan bahwa memahami agama bukanlah dipandang dari sudut kepercayaan semata kepada wujud spritual, yang hanya percaya kepada hal-hal ghaib (kekuatan diluar kemampuan manusia). Kalau pandangan ini digunakan untuk memahami suatu agama, maka yang terjadi adalah bisa saja kita merendahkan agama atau menyepelekan keagamaan.

Lain hal lagi, agama bukan dipandang dari penampilan ekonomi atau lainnya. Bukan suatu variabel dependen. Agama dapat dipahami seperti ungkapan Mircea Eliade (1907-1986), sebagai yang mempengaruhi aspek-aspek kehidupan antara satu hal dengan hal kehidupan lainnya, jangan dipahami seperti cara kerja sejarawan, tetapi harus dipahami dari segi independen (berdiri sendiri). Bukanlah manusia yang mempengaruhi agama, tetapi agamalah yang memberikan pengaruh terhadap kehidupan manusia, mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar sekali. Seperti dalam agama Islam yang mengajarkan umatnya bahwa satu-satunya tujuan hidup adalah menyembah kepada Allah Swt (lihat, QS. al-Dzariyat, 51:57). Untuk menuntun umatnya menyembah kepada Allah, maka diperlukan agama sebagai jalan mengabdikan diri kepada Allah Swt. Agama akan mengajarinya untuk melakukan ritual-ritual dalam penyembahannya terhadap Allah Swt semata, di ajarkan akan segala aspek, mulai dari mensucikan diri dari berbuat sekutu kepada-Nya, hingga sampai kepada pengenalan diri dan lain sebagainya.

Beberapa acuan yang berkaitan dengan kata  “Agama” pada umumnya; berdasarkan Sansekerta yang menunjukkan adanya keyakinan manusia berdasarkan Wahyu Illahi dari kata A-GAM-A, awalan A berarti “tidak” dan GAM berarti “pergi atau berjalan, sedangkan akhiran A bersifat menguatkan yang “kekal”, dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa  “agama berarti pedoman hidup yang kekal”, itu artinya manusia tidak dapat merubah agama, karena agama berdiri tersendiri dan manusia berdiri atau hidup pada agama.

Melalui literatur, agama seperti yang terdapat dalam kitab “SUNARIGAMA” yang memunculkan dua istilah; AGAMA dan UGAMA, agama berasal dari kata A-GA-MA, huruf A berarti “awang-awang, kosong atau hampa”, GA berarti “genah atau tempat” dan MA berarti “matahari, terang atau bersinar”, sehingga agama dimaknai sebagai ajaran untuk menguak rahasia misteri Tuhan. Sedangkan istilah UGAMA mengandung makna, U atau UDDAHA yang berarti “tirta atau air suci” dan kata GA atau Gni berarti “api”, sedangkan MA atau Maruta berarti “angin atau udara” sehingga dalam hal ini agama berarti sebagai upacara yang harus dilaksanakan dengan sarana air, api, kidung kemenyan atau mantra. Sedangkan dalam kitab SADARIGAMA dari bahasa sansekerta IGAMA yang mengandung arti I atau Iswara, GA berarti Jasmani atau tubuh dan MA berarti Amartha atau “hidup”, sehingga agama berarti Ilmu guna memahami tentang hakikat hidup dan keberadaan Tuhan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agama adalah sebagai salah satu ajaran yang memberi tuntunan hidup demi kemaslahatan manusia dan dengan adanya agama pada diri seseorang itu akan mengantarkannya kepada memilih antara baik dan buruk. Karena dalam agama terdapat banyak indikasi baik tentang nilai positifnya yang bisa dimanfaatkan manusia ketimbang ideologi. Agama memberi tempat bagi semua. Agama juga fenomena sosial, agama tidak hanya ritual tapi juga fenomena di luar kategori pengetahuan akademis.

Agama (yang bersumber dari Tuhan) memiliki inti tentang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Alquran menamainya sebagai fitrah :
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. ar-Rum, 30:30)

Karena agama adalah fitrah, maka tentu seluruh petunjuk-petunjuknya tidak ada yang bertentangan dengan jati diri atau naluri manusia. Dan kalaupun ada, cepat atau lambat akan tertolak oleh penganutnya sendiri, dan ketika itu ia (penganutnya) akan menyadari bahwa agama yang ia anut belum memiliki kefitrahan seperti ayat di atas. Ini terbukti dari banyaknya manusia meninggalkan amalan agamanya dan berpindah ke agama Islam, karena Islam memang adalah agama yang memiliki kefitrahan yang tidak bisa dirubah oleh siapa pun dan fitrahnya agama Islam selalu dipelihara oleh pencipta sekalian jagad raya, Allah Ta’ala.

Pada dasarnya, agama adalah sebuah aturan, orang yang beragama adalah orang yang hidup memakai aturan, berbeda dengan undang-undang hukum pada umunya. Maka aturan dalam agama bukan sekedar berisi perintah dan larangan. Namun, disamping memiliki perintah dan larangan, juga berisi anjuran, pembolehan, pencelaan, dan larangan. Dalam bahasa yang lebih dikenal, perintah ini yang apabila dikerjakan akan beroleh pahala, sedangkan bila ditinggalkan akan beroleh dosa.

 Agama dapat membedakan antara kehidupan sakral dengan kehidupan profan. Dalam pemakaiannya, agama tidak menganjurkan  untuk mempertontonkan simbol-simbol, atau ritual, merek atau mitos-mitos, karena itu adalah kehidupan yang bersifat profan (yang biasa-biasa saja dan akan mengalami perubahan ketika merasa puas atau merasa bosan terhadap yang ia lakukan). Hal ini telah banyak disaksikan berapa banyak manusia yang merasa bosan atas ritual yang menjadi tradisi kalangan masyarakat itu, hingga ia menjauhkan diri. Jadi, untuk memahami suatu agama haruslah melibatkan diri secara konprehensif. Karena pemahaman agama yang ada pada masa Rasulullah Saw, khulafa al-rasyidin, tabi’in, atau masa dinasti Islam yang pernah jaya tentunya pasti berbeda dengan manusia modren masa sekarang.

Makna Islam !

Islam bukan hanya sekedar agama atau keyakinan, tetapi merupakan asas dari sebuah peradaban. Sejarah telah membuktikan bahwa dalam kurun waktu 23 tahun, Nabi Muhammad SAW mampu membangun peradaban Islam di jazirah Arabia yang berdasarkan pada prinsip-prinsip persamaan dan keadilan. Dalam waktu yang singkat, pengaruh peradaban Islam tersebut segera menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk ke wilayah Nusantara.

Defenisi Islam telah banyak diterangkan beberapa tokoh, kitab-kitab keislaman dengan mudahnya kita perdapati di toko-toko buku, baik di pasaran, swalayan maupun dalam media sosial. Akan tetapi tidak ada salahnya saya mengupas sedikit makna ataupun pengertian Islam itu yang dimulai dari segi bahasa.

Kata Islam itu sendiri berasal dari kata aslama, yuslimu, islam yang mengandung beberapa arti. Pengertian pertama “berserah diri”, kedua “kedamaian, keamanan dan keselamatan” ketiga “keta’atan dan kepatuhan”. Membicarakan Islam, sangat tidak relevan kalau tidak bicara tentang kitabnya yaitu Alqur’an, karena kitab ini merupakan asas-asas, perundang-undangan yang mengatur suluruh aspek Islam. Dalam Alqur’an, kata Islam itu sendiri diulang dan diperdapati sebanyak 8 kali, yaitu dalam surah Ali Imran ayat 19 dan ayat 85, surah al-Maidah ayat 3, surah al-An’am ayat 125, surah az-Zumar ayat 22, surah as-Saff ayat 7, surah al-Hujurat ayat 17, dan surah at-Taubah ayat 74.

Terkait pengertian yang pertama, yaitu berserah diri, apabila dikaitkan dengan Alqur’an, dapat dijumpai dalam firman Allah Swt,
 أَفَغَيْرَ دِينِ اللّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ ﴿٨٣﴾
“Maka Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, Padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”. (QS. Ali Imran, 3:83)

                Allah Swt, mengatakan dalam ayat tersebut apa saja yang ada di langit dan di bumi selalu menyerahkan diri kepada-Nya, (bahasa lebih simpelnya adalah pasrah atas kehendak yang menjadikannya). Langit contohnya terdapat padanya bintang, bulan, matahari, dan benda langit lainnya, semua itu berserah diri atas ketentuan yang diberlakukan kepadanya. Bulan dalam sejarahnya belum pernah tabrakan dengan bumi atau matahari sejak ia di ciptakan, masih membarakan kepanasannya mulai dicetak Allah Swt. Dan juga hal lainnya. Semua itu sudah menyatakan kepasrahannya kepada penciptanya semata.

Lalu bagaimana dengan bumi?. Mungkin perlu kita mengingat kembali masa silam, ketika kita duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR) atau Sekolah Dasar (SD). Sang guru menjelaskan bahwa bumi adalah bagian dari tata surya, dan ia dikatakan sebagai planet bumi. Diantara planet-planet tersebut, baik pluto, mars, venus atau lainnya, pernahkah menabrak bumi? Atau pernahkah bumi mengalami kecelakaan dan berbenturan dangan planet lainnya? Tentu belum atau sama sekali tidak pernah, ahli astronomi pun belum pernah menemukan suatu peristiwa itu. mereka masih sependapat bahwa planet-planet itu beredar pada poros masing-masing. Itulah maksud dari berserah diri atau pasrah. Benda-benda itu semua pasrah atas ketentuan yang diberikan kepadanya. Sehingga pertanyaan perlu dilontarkan kepada manusia, bagaimana sikap penyerahan dirinya sejak ia diciptakan?, yang memegang misi sebagai khalifah seperti yang telah saya sebutkan pada Bab I tentang hakikat manusia. Manusia sebenarnya sudah mengetahui bahwa salah satu tugasnya adalah pasrah diri secara total atas kehendak Tuhannya. Akan tetapi, dikarenakan oleh nafsunya sendiri sehingga ia lupa kepada tugasnya tersebut. Contohnya adalah kisah fir’aun. Sebelumnya, kesadaran fir’aun masih melekat pada pikiran sehatnya atas siapa dirinya. Namun, nafsu duniawinya melambung tinggi hingga dia (fir’aun) mengeluarkan fatwa tersendiri bahwa dirinya adalah Tuhan. Dan masih banyak kisah-kisah lainnya yang telah direkam oleh Alqur’an.

Mari kita tinggalkan kisah raja pada masa nabi Musa a.s itu. kita masuk kepada ajaran agama Islam. Penulis mengajak pokus terhadap agama yang telah menyebar luas ke segala sudut ruangan dunia. Sebagai agama yang telah mendapat persetujuan dan kesempurnaan dari pencipta langit dan bumi. Bicara Islam berarti kita bicara tentang manusia paling berpengaruh terhadap dunia, yaitu Muhammad Saw. Allah Swt, menempatkan nabi Muhammad Saw, sebagai pembawa risalah-Nya. Beliau adalah manusia agung, manusia yang tanpa cacat baik fisik maupun jiwanya. Perkataannya, tindakannya, maupun akhlaknya bersumber dari Alqur’an. Bahkan seseorang belum sempurna keislamannya sebelum bersaksi bahwa Muhammad Saw adalah Rasulullah (utusan Allah Swt).

Sebagai agama yang melengkapi proses kesinambungan wahyu. Islam memiliki beberapa karakteristik untuk menyampaikan ajarannya dengan mudah dan tidak bertolak belakang tetapi bersifat kontinu dengan akal rasional manusia. Diantara karakteristik itu adalah pertama, Islam memberi petunjuk bagi seluruh segi kehidupan manusia, meskipun sebagian petunjuk itu bersifat umum. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Allah Swt dalam kitab-Nya mulia yaitu :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ 
 “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.(QS. al-Baqarah, 2:208)

Kedua, keuniversalan dan kemanusiaan. Islam ditujukan untuk seluruh umat manusia. Tuhan dalam Islam adalah Tuhan sekalian alam, dan Muhammad Saw, adalah rasul (utusan) Allah Swt, untuk sekalian alam, misi yang diembannya adalah menjadi rahmat bagi seluruh alam. Hal ini terungkap dari firman Allah Swt, وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِّلْعَالَمِيْنَdan kami tidak mengutusmu (wahai Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi sekalian alam” (QS. al-Anbiya’, 21:107).

Keuniversalan ajaran agama ini dapat kita lihat buktinya yang tertuang dalam buku-buku sejarah Islam yang mengisahkan tentang pengajakan nabi Muhammad Saw, untuk mengikuti ajaran Islam. Terkait tindakan (ajakan) ini, nabi Saw mengambil sikap untuk mengirimkan surat kepada petinggi-tinggi kerajaaan, seperti ajakan beliau kepada raja Heraklius penguasa Rum, kepada an-Najasyi sebagai Raja Habasyah, kepada Muqauqas sebagai penguasa Qibt di Mesir dan kepada Kisra sebagai penguasa Persia.

 Ketiga, ajaran Islam adalah ajaran yang sederhana tetapi rasional dan praktis. Islam adalah agama yang tanpa mitologi. Islam tidak mengizinkan penganutnya berpikir dengan teori kosong, tetapi diarahkan kepada pemikiran yang aplikatif. Islam membangkitkan kemampuan berpikir dan mendorong manusia untuk menggunakan penalarannya sendiri melalui nash-nash yang mengatur Islam itu, dapat berupa nash dari Alqur’an maupun nash dalam Hadits, juga tidak menyimpang dari hasil ijma’ dan qiyas para ulamanya, karena ulama adalah para ahli pewaris kenabian.  إِنَّ فِيْ ذَالِكَ لَأَ يَاتِ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَSesungguhnya hal yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah Swt) bagi orang-orang yang berpikir” (QS. ar-Ra’d, 13:3). Dengan ayat ini, Islam mengajak umatnya untuk menggunakan akal yang sehat untuk memikirkan kekuasan Allah Swt, dan tidak semata memerintahkan untuk berteori belaka tanpa membuka hal yang realita.

Sebelum nabi Muhammad Saw, dilahirkan sebagai pemeran utama dalam Islam. Umat manusia pada masa itu dalam keadaan kebodohan, sedang berada pada kegelapan yang gulita, penuh dengan macam kerusakan. Keadaan pada waktu itu hampir menjerumuskan manusia yang hidup ketika itu ke dalam kehancuran total. Sebagai contoh, di sekeliling ka’bah terdapat sekitar 360 patung berhala pada masa kejahiliyaan (sebelum nabi Muhammad Saw lahir). Patung-patung ini tidak lain dan tidak bukan adalah hasil olahan tangan mereka sendiri, dan olahan itu dijadikan sebagai Tuhan. Adalah tidak masuk akal jika dipikirkan secara rasional. Kebiasaan orang-orang Arab juga pada saat itu sudah sangat menyesatkan, seperti membunuh anak perempuan yang baru lahir, karena dianggap sebagai pembawa sial dalam keluarga. Dengan lahirnya Muhammad Saw, kebiasaan itu dihapuskan secara tahap bertahap dan diberikan kebebasan memakai rasional untuk berpikir salah atau benar.

Ke-empat, keseimbangan antara individu dan masyarakat. Islam mengakui kebebasan manusia sebagai individu dan menganggap setiap orang memiliki tanggung jawab pribadi kepada Tuhannya. Bahkan Islam menjamin hak-hak asasi keagamaan lainnya. Hal ini mengedepankan kesejahteraan yang dibawa Islam itu sendiri seperti arti dari namanya yaitu sejahtera. Islam juga agama yang mengajarkan untuk menjaga kerukunan umat beragama. Kisah Amiril Mukminin saidina Umar Ibn al-Khattab r.a, contohnya telah menyerukan kepada gubernurnya untuk saling hormat-menghormati antar umat agama lainnya. Ketika Umar ibn al-Khattab r.a mendapat kabar dari komandan perangnya di Suriah yaitu Khalid ibn Walid tentang keberhasilannya menaklukkan wilayah Byzantium, khususnya kota Damaskus, maka pesan utamanya yang dikirimkan kepada komandan perang itu adalah agar jangan mengganggu kegiatan agama para pemeluk agama Yahudi maupun Nashrani, jangan merusak rumah-rumah ibadat mereka, jangan mengambil barang-barang yang terdapat dalam rumah ibadah tersebut. Itulah krakteristik Islam dalam mengajarkan ajarannya. Tidak ada paksaan bagi Islam untuk menganut agama Islam, tetapi Islam mengajak untuk menggunakan nalar rasional masing-masing individu.

Islam, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Tholchah Hasan, penulis buku “Prospek Islam Dalam Menghadapi Tantangan Zaman”, berkata bahwa Islam adalah sebagai “ad-Dyin”, yang mempunyai kompetensi ajaran sehingga dianggap mampu menjadi agama dunia sepanjang zaman, yaitu disebabkan karena adanya vitalitas (kekuatan untuk bertahan hidup), totalitas (mengajarkan hidup secara menyeluruh), dan universalitas (tidak per-orangan), dan itu semua adalah ajaran Islam.

Allah Swt, memerintahkan umat manusia agar menganut agama Islam dan mengarahkan seluruh aspek kehidupannya untuk meyakini dan mamatuhi ajaran-Nya yaitu dalam Islam. Tujuannya adalah supaya manusia dapat mencapai kesejahteraan, keselamatan dan kebahagian dalam segala aspek kehidupan dunia dan akhirat. Islam tidak dapat dimisalkan seperti sebuah amplop surat, hanya sekedar memiliki blanko. Begitu di cap atau distempel oleh petugas POS, maka surat akan dikirim dan akan diterima pada tujuan yang tertulis di blanko tersebut. Begitu sampai surat, segelnya dibuka lalu isinya diambil, blanko tadi hanya dibuang ke tong sampah. Itu artinya, Islam bukan hanya sekedar isi, tetapi sampul atau covernya juga harus menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang penganut Islam.

Makna Islam tidak hanya sebatas pengamalan saja, bukan sekedar beribadah yang begitu selasai langsung berubah dan ibadahnya tidak membekas sedikitpun dalam kehidupan sehari-hari. Ibadah memang salah satu ajaran Islam yang dilakukan dengan berbarengan niat, keikhlasan, kesabaran dan tafakkur. Islam tidak hanya mengajarkan menutup aurat ketika beribadah, pada saat ibadah pun selesai langsung menampakkan aurat. Ini adalah pengamalan yang salah. Tetapi, Islam menuntut umatnya untuk mengamalkan ajarannya, dari yang terkecil hingga yang terbesar. Tidak ada perbedaan hukum (pengamalan ibadah) antara umat Islam yang kaya dengan umat Islam yang miskin. Dalam Islam, seluruh manusia adalah sama, apapun warna kulit, bahasa, ras atau kebangsaannya.

Islam merupakan agama yang memberikan keleluasaan untuk pemikiran rasional, ia sepanjang masa tidak menyangkut aqidah-aqidah yang fundamental dan tatanan syari’ah yang prinsipal, tidak membatasi pemikiran tasyri’nya dengan satu cara. Islam merupakan agama yang dapat sejalan dengan berbagai macam budaya yang benar dan peradaban yang unggul, sesuai kemampuan nalar manusia untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemajuan tarap hidupnya.

Muslim sejati adalah seseorang yang mengarahkan segala perilakunya hanya kepada Allah Swt semata. Pembuktiannya dapat dicermati lewat ibadah shalat yang dilakukan, hampir 5 kali dalam sehari semalam ia menyebutkan:
 إِنَّ صَلاَةِ وَنُسُكِى وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ  
“sesungguhnya shalatku, ibadah-ibadahku, dan hidupku, serta matiku hanya aku peruntukkan kepada Allah Swt, Tuhan semesta alam”.

Hemat penulis adalah bahwa Islam merupakan suatu agama yang memiliki prinsip-prinsip ajaran yang dapat diterapkan di mana saja dan kapan saja, bahkan mampu menyerap tradisi dan budaya lokal masyarakat penganutnya. Agama yang satu ini mempunyai sistematis rasional dalam kehidupan sosial umatnya. Idealisasi ajaran Islam sebagai alternatif yang terlengkap terhadap semua sistem kehidupan di muka bumi ini. Ajarannya agama ini menyelaraskan realitas-realitas yang di dunia dengan kehidupan akhirat yang abadi. Islam dapat mempenagruhi kehidupan dunia, sedangkan dunia tidak dapat mempengaruhi dan merubah Islam itu, sebab Islam dilahirkan bukan untuk per-individu atau kelompok, tetapi Islam lahir untuk menjadi penerang isi dunia, menjadi rahmat bagi umat manusia yang hidup di dunia. Pahamilah, maka engkau akan beruntung. Wallahu a’lam.[ ]



 Syari’at Islam

S
yariat Islam yang diturunkan oleh Allah Swt kepada umat manusia bertujuan agar mereka mencapai kemaslahatan. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai itu disebut dengan istilah maqasid asy-syari’ah. Menurut Imam al-Ghazali r.a, kemaslahatan umat manusia akan dapat dicapai apabila mampu memelihara lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima hal inilah yang menjadi pokok tujuan dari syari’ (pembuat hukum dialah Allah Swt). Perintah, larangan ataupun pembolehan mengerjakan sesuatu yang datang dari pembuat hukum (Allah Swt) selalu mengacu kepada usaha agar kelima pokok tujuan di atas dipelihara.

Dalam usaha memelihara tujuan syari’ itu, Abu Ishaq asy-Syatibi (w. 790 H/1288 M), seorang ulama fiqih, usul fiqih, tafsir, bahasa dan hadits ini berpendapat bahwa ada tiga kategori yang perlu dipenuhi agar ia (manusia) tetap berjalan sesuai eksistensinya, yaitu daruriyyah (keperluan), hajjiyah (kebutuhan), dan tahsiniyyah (perbaikan). Kebutuhan daruriyyah adalah kebutuhan untuk memelihara eksistensi kelima pokok maslahat di atas. Kebutuhan ini sangat esensial, tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mengakibatkan rusaknya kemaslahatan manusia di dunia mapun di akhirat. Perintah yang berhubungan dengan ibadah contohnya shalat, zakat, puasa itu bertujuan untuk menjaga eksistensi agamanya tetap terpelihara. Jika ibadah ini dilalaikan, umpanya adalah zakat, maka harta yang dimiliki tidak mendapatkan kesejahteraan dunia dan akhirat.

Kebutuhan (hajjiyah), diperlukan untuk memelihara berbagai hal yang berhubungan dengan kelestarian dan kesimbungan kelima pokok maslahat. Kebutuhan ini berada pada tingkatan kedua. Jika aspek ini tidak terpenuhi, eksistensi kelima pokok maslahat di atas tidak terancam walaupun membawa kesulitan bagi manusia. Misalnya, puasa yang daruriyyah itu akan menimbulkan kesulitan jika dilaksanakan oleh orang-orang sakit atau musafir. Dalam keadan seperti itu, orang-orang tertentu dapat dan boleh meninggalkan kewajiban itu, tetapi harus diganti pada hari lain.

Selain kedua kebutuhan di atas, terdapat kebutuhan tahsiniyyah, yang berkaitan dengan usaha menunjang peningkatan kelima pokok maslahat yang berhubungan dengan akhlak mulia, baik dalam bidang ibadah maupun muamalah (masalah sosial). Tidak terpenuhinya kebutuhan ini juga tidak akan merusak eksistensi kelima pokok maslahat di atas dan tidak akan membawa kesulitan bagi pelakunya walapun dapat menurunkan martabat manusia.

Syariat Islam yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang dewasa yang wajib melaksanakan syariat agama) dapat dibagi kepada lima bagian, yaitu (1) wajib. Adalah sesuatu tuntutan atau perintah syari’ terhadap mukallaf untuk melaksanakan sesuatu perintah dengan tuntutan yang sudah pasti dan tegas serta mempunyai dalil baik dalam Alqur’an maupun hadits. Jika pelakunya menunaikannya maka akan memperoleh pahala, dan jika meninggalkannya ia mendapat dosa, seperti perintah shalat. (2) Mandub (sunnah), adalah suatu tuntutan/perintah syari’ pada orang mukallaf untuk mengerjakan sesuatu dengan tuntutan tidak tegas. Mukallaf boleh memilih untuk mengerjakannya atau tidak. Jika ia menunaikan tuntutan itu maka akan memperoleh pahala, dan jika tidak ditunaikan maka tidak dapat dosa. (3) Haram, adalah tuntutan atau perintah terhadap mukallaf untuk meninggalkan sesuatu perkara yang telah jelas dan tegas pelarangan dalam mengerjakannya. Jika mukallaf mengerjakan ini, maka akan diberi dosa, jika meninggalkannya akan memperoleh pahala, misalnya berbuat zina, makan babi, mabuk-mabukan dan lainnya. (4) Makruh, adalah suatu tuntutan atau perintah syari’  pada mukallaf untuk meninggalkan suatu perkara dengan tuntutan tidak jelas. Mukallaf boleh memilih antara mengerjakannya atau tidak. Jika ia menunaikannya maka tidak diberi siksa, dan bila meninggalkannya akan dapat pahala contohnya seperti merokok. (5) Mubah, adalah tuntutan syari’ yang membolehkan mukallaf untuk memilih mengerjakannya atau tidak mengerjakannya. Dalam hal ini, syari’ tidak menuntut mukallaf untuk mengerjakannya atau meninggalkannya. Mengerjakan atau meninggalkan tuntutnan ini tidak dapat pahala dan juga tidak diberi dosa. Contohnya adalah memakai kacamata dan sebagainya.

Syari’at Islam adalah syari’at yang universal dan memiliki keistimewaan sebagai syari’at yang diturunkan oleh Allah Swt, kepada Rasul-Nya, Muhammad Saw, untuk disampaikan kepada seluruh manusia, baik dari kalangan bangsa Arab, orang asing, orang-orang yang berdomisili di wilayah timur maupun barat meskipun berbeda airnya, beraneka macam kebiasaannya, tradisi dan sejarahnya. Syari’at Islam adalah pedoman setiap keluarga, pedoman bagi setiap golongan, pedoman bagi tiap jama’ah, pedoman bagi negara, bahkan pedoman universal yang bisa menjadi rujukan para ahli hukum.

Seperti yang telah disebutkan, bahwa syariat Islam merupakan syari’at yang di dalamnya mengandung beberapa pedoman yang manjadi rujukan setiap orang. Syari’at inilah yang menjadi acuan benar atau salahnya suatu tindakan juga dengan syari’at inilah kita bisa mengambil keputusan. Bila mendengar kata “Syari’at Islam”, pasti kita terbayang dan teringat kepada hukum qishas, cambuk, rajam serta penggal kepala, potong tangan bila melakukan satu tindakan yang melanggar norma agama, contohnya mencuri. Allah Swt mengatakan secara jelas dengan dalil yang tertuang di dalam Alqur’an, bahwa setiap umat Islam (laki-laki dan perempuan) yang melakukan tindakan mencuri ini maka hukuman yang dijatuhkan adalah  potong tangan, firman Allah Swt ;
وَالسَّرَقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا  أَيْدِيَهُمَا جَزَآ ءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللَّهِ. وَاللَّهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ.
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Maidah, 5:38)

              Hukuman yang dijatuhkan pada setiap pelanggarnya sebagai bukti konsekuensi atas pengamalan agama secara kaaffah (menyeluruh). Teladan yang paling ideal dalam kehidupan ini yaitu nabi Muhammmad Saw, telah menerapkan aturan-aturan kehidupan yang lebih baik agar selamat hingga hari pembalasan (akhirat). Sebagai buktinya dapat kita bayangkan dan kita masuki ruangan kehidupan masa Rasulullah dan para sahabat, disana terdapat jejak para nabi dan sahabat, sehingga kita mendapati pengaturan akan setiap syari’at Islam tadi, baik yang wajib, mandub, haram, makruh maupun mubah. Kita bisa belajar langsung kepada Rasulullah Saw tentang cara makan dan minum yang baik. Kita dapat ilmu tentang penyucian diri yang benar ketika hendak mendirikan ibadah shalat. Juga bisa dijumpai pemerintahan yang jauh dari korup, serta akan mendapat hukuman bila terbukti bersalah dan di adili dengan tegas tanpa memandang warna kulit, sehingga Amiril Mukminin Umar Ibn al-Khattab pernah mengatakan, jika engkau perdapati seorang anak dari Umar ibn al-Khattab mencuri, maka potonglah tangannya, itulah yang lebih baik. Itulah sebagian potret kehidupan pada masa silam, saat Islam dalam kejayaannya. Tanya saya, mungkinkah itu terulang kembali?

Berbeda halnya jika undang-undang pada masa Rasulullah Saw dan para Khulafa al-Rasyidin diamalkan pada negara muslim terbanyak di dunia ini. Kehidupan pada masa nabi Saw, sangat konvensional, baik dala segi ekonomi, dagang, pemerintahan, maupun lainnya. Teknologi canggih yang ada pada masa kini telah jauh melampaui kehidupan masa lalu. Semuanya semakin modern, canggih.

Diantara sebagian umat Islam, ada beberapa golongan yang berkeinginan untuk melaksanakan ajaran Islam itu sesuai syari’tnya, sehingga dengan mudah muncul ahli yang mengatakan sesuatu itu adalah Bid’ah (amalan yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasul dan sahabat lainnya), kemudian sebagian kaum lainnya akan terkontaminasi oleh pemikiran mereka dan akhirnya lahirlah beberapa aliran Islam yang membentuk syari’at baru (paham baru) yang tersebar dimana-mana.

Memang bila dilihat dengan mata selebar-lebarnya pada masa sekarang, banyak diperdapati ragaman dari amalan-amalan yang tidak pernah dilakukan atau diperbuat oleh Rasul atau sahabat lainnya. Juga memang benar bahwa amalan yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Saw, dan para sahabat jelas amalan itu ditolak. Akan tetapi, menurut saya, sebagai umat Islam yang memiliki ajaran sederhana tetapi rasional dan praktis ini, jangan langsung menyudutkan seseorang itu sudah melaksanakan perkara Bid’ah. Adalah hal yang keliru kalau kita memfatwakan seseorang sebagai pelaku Bid’ah. Padahal jika merujuk kepada ilmu Ushul Fiqih, Islam itu dikatakan memiliki sumber-sumber hukum, yaitu Alqur’an, Sunnah atau Hadits, Ijma’ para Ulama dan Qiyas.

Sebagai contoh adalah Rasulullah menganjurkan untuk selalu  membersihkan gigi dengan memakai akar siwak (akar yang berbentuk serat), lantas sebagian kalangan menginterpretasi tentang kalimat “membersihkan” itu adalah suatu Bid’ah bila dilakukan dengan menggunakan sikat gigi masa kini. Pendapat ini menurut saya sudah “ortodoks” yang terjebak pada kesalahan penafsiran teks verbal dari hadits Rasulullah Saw. Membersihkan gigi merupakan sunnatullah dan alamiah, akan tetapi jangan terpokus terhadap redaksi hadits yang menganjurkan memakai akar serat tersebut, harus kita sesuaikan dengan perkembangan manusia saat ini.

Sikap yang menginterpretasikan tersebut akan memunculkan keterbelakangan dan ketinggalan atas perkembangan budaya yang fitrah dengan kaum yang tidak mengamalkan hadits. Karena kalau di telusuri mereka sebenarnya melaksanakan dan menjalankan sunnatullah itu. membersihkan gigi dengan memakai sikat gigi modern yang dialiri listrik dan dibumbui dengan pasta akan memudahkan membunuh kuman sisa-sisa makanan yang tinggal di gigi. Oleh sebab itu, pantaskah kita memanggilnya dengan sebutan pelaku Bid’ah? Rasulullah menganjurkan untuk membersihkan gigi pada waktu di masanya bertujuan untuk membunuh kuman yang menempal pada gigi, dan itu merupakan pengetahuan yang klasik dan sederhana, karena itulah yang berkembang pada masanya. Sehingga hukum-hukum alamiah yang saat itu sederhana, dapat berkembang sampai memunculkan alat yang canggih untuk membunuh kuman pada gigi. Dan itulah yang kita pakai saat ini. Kalau memang itu adalah hal Bid’ah, lalu sudah berapa banyak umat Islam sedunia  melakukannya?

Berbeda hal lainnya, mengenai syari’at yang telah ditetapkan makna dan prakteknya oleh Rasulullah Saw, seperti shalat misalnya. Beliau mengatakan hadits tentang “shalatlah kamu, sebagai kamu melihat aku shalat” (HR. Bukhari, Ahmad). Kita tidak boleh menginterpretasikan makna hadits itu dengan harus shalat sebagai cara rasul shalat. Apakah kita (umat saat ini) pernah melihat beliau mendirikan shalat? Tentu tidak. Lalu praktek shalat yang kita laksanakan 5 kali sehari semalam yang wajib itu darimana? Apakah praktek shalat kita selama ini sudah sesuai dengan cara Rasulullah mengamalkannya? Hadits yang dikatakan Rasulullah Saw di atas adalah ditujukan kepada para sahabat yang hidup pada masa itu, kemudian setelah Rasulullah Saw wafat, yang mengajari umat Islam melaksanakan praktek shalat adalah para sahabat. Dan para ulama-ulama Islam lainnya berguru kepada para sahabat (Khulafa al-Rasyidin), seperti para imam Mazhab, (imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Hanafi). Mereka para imam mazhab ini memiliki masing-masing murid, sehingga sampailah praktek shalat itu pada kita. Jadi, jangan menafsirkan hadits itu dengan penafsiran salah. Begitu juga dengan syari’at Islam lainnya, zakat, puasa, haji dan ibadah-ibadah yang telah ditetapkan secara verbal oleh Rasulullah Saw.

Menganai amalan sunnah juga banyak yang sudah di hujjah oleh kelompok pelontar bid’ah. Mereka mengatakan tidak pernah dilakukan Nabi Saw semasa hidupnya. Salah satu contohnya, pada saat saya mengimami shalat maghrib di Mesjid salah satu desa pada kecamatan Kota Mukomuko Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu. Begitu selesai shalat, masjid ini memiliki dzikiran atau amalan-amalan yang telah membudaya sejak nenek moyang mereka, mulai dengan dzikiran Subahanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, Allahu akbar 33” kali serta ditambah dengan Tahlilan (lailaha illa allah), dan saya pun melaksanakannya bersama jama’ah lainnya. Begitu sedang dipertengahan dzikiran, ada sebagian jama’ah yang keberatan hingga ia mengeluarkan kata-kata keras dan mengatakan itu adalah Bid’ah dan suasana pun menimbulkan keributan antar jama’ah. Mereka jama’ah yang keberatan mengatakan bahwa dzikiran Subahanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, Allahu akbar 33 kali itu bukanlah amalan yang pernah dilakukan rasul. Mereka berargumen dengan memakai dalil Alqur’an yang memerintahkan umatnya begitu selesai shalat langsung bertaburan untuk mengais rezeki (lihat QS. al-Jumu’ah, 62:10). Hingga saya pun diselamatkan dan dijaga oleh jama’ah yang ikut dalam dzikiran itu. kemudian hingga waktu shalat Isya masuk, barulah situasi padam dan kembali normal.

Lebih tragisnya lagi, setiap amalan yang tidak termaktub dalam Alqur’an dan hadits kata kelompok ini adalah suatu perkara yang Bid’ah. Kalau memang iya, lalu bagaimana dengan dengan orang-orang yang belajar ilmu filsafat? Belajar ilmu filsafat juga tidak ada dalilnya secara verbal mengatakan pembolehan itu. Lantas bagaimana dengan para ulama-ulama Islam yang telah banyak mengeluarkan ilmu-ilmu kefilsafatan? Seperti sang hujjatul Islam imam al-Ghazali misalnya, apakah kita mengklaim beliau seorang pengamal perkara yang Bid’ah? Apakah selamanya kita harus terdiam dan terus terpokus terhadap satu redaksi dalil tanpa harus memikirkannya secara kontemporer? Berpikir secara kontemporer bukan berarti menafsirkan Alqur’an atau Hadits dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru. Kita dapat menggunakan pendapat-pendapat para ulama, ustad juga para cendekiawan lainnya.

Menggunakan pendapat para ulama atau cendikiawan dengan memakai hasil percobaan dan pengalaman para ilmuwan, tentu dapat membantu kita menuju ta’ammul dan tadabbur dalam memahami arti dan makna yang tersirat dalam satu redaksi ayat Alqur’an maupun Hadits. Setiap ayat dapat dipahami oleh beberapa individu yang berbeda penafsirannya. Pemahaman setiap ayat tentu akan berbeda disetiap kurun waktu (zaman) tertentu. Pemahaman ini dapat berubah dan berbeda-beda karena dilatar belakangi oleh ilmu dan budaya yang fitrah tadi.  

Ketahuilah, bahwa tantangan terbesar bagi umat Islam khususnya mereka para cendikiawan Muslim, adalah bagaimana memfungsikan Kitab Suci Alqur’an secara benar. Yaitu bagaimana menangkap pesan-pesan yang terungkap dalam Alqur’an hingga mampu me-masyarakatkannya. Bagaimana langkah yang dilakukan untuk memahami dan melaksanakan petunjuk-petunjuk Alqur’an tanpa mengabaikan budaya dan mengorbankan perkembangan positif masyarakat.

Sebagian umat memfungsikan Alqur’an sebagai mukjizat, padahal fungsinya sebagai mukjizat tadi hanya ditujukan kepada orang yang meragukan sebagai firman Allah Swt. Sikap semacam ini akan mengantar kita pada usaha mencari-cari ayat Alqur’an untuk dijadikan sebagai bukti bahwa Kitab Suci ini telah mendahului penemuan-penemuan ilmiah abad modern. Disisi lain, kemukjizatan kitab yang satu ini oleh sebagain orang memahaminya sebagai keampuhan ayat-ayat Alqur’an untuk melahirkan hal-hal yang tidak rasional. Ini bukan berarti saya meragukan adanya ayat-ayat yang bersifat suprasional atau supranatural. Hanya saja umat harus disadarkan bahwa benang pemisah antara suprasional dengan irasional sangatlah tipis, sehingga harus waspada penuh dengan kehati-hatian agar tidak terjerumus kepada khurafat (takhayul).

Pemahaman manusia terhadap sesuatu tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengelaman-pengalaman, disamping kecenderungan dan latar belakang pendidikannya. Seperti kata ‘turab’ dalam firman Allah berikut :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ ۚ وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ۖ ....
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari debu, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan...” (QS. al-Hajj, 22:5)

           Istilah “debu” pada umat masa itu (masa Rasulullah Saw), adalah debu seperti yang kita lihat sekarang di jalanan. Akan tetapi, sesuai tuntutan zaman, makna itu berubah menjadi lain, manakala manusia mengenal ilmu pengetahuan yang lebih canggih dari sebelumnya. Dimana pada saat itu debu ini hanyalah bersifat bubuk, semantara pemahaman bubuk ini berubah bagi pikiran sekarang yaitu bersifat zat renik, dari zat inilah menjadi nuthfah, lalu menjadi segumpal darah, hingga berubah menjadi segumpal daging yang sempurna kejadiannya barulah ritiupkan ruh padanya.

           Diayat lain, Alqur’an memberikan informasi kepada umat manusia tentang asal usul kejadiannya dari air yang memancar. Kalau seandainya kita berada hidup pada masa Rasulullah, kita juga akan ikut menafsirkan ayat ini adalah air yang mengalir. Tetapi dibandingkan dengan pengetahuan sekarang, tafsiran ayat ini dipahami bahwa air itu sifatnya cair, dan cairan itu memancar, hingga pikiran kita mengarah langsung kepada cairan itu adalah air mani, dan air mani ini lengkap dengan zat spermatozoanya. Pengertian tafsiran ayat ini harus diyakini, karena kalau tidak, akan menimbulkan kesesatan sampai akhirnya kita tidak meyakini firman Allah Swt yang mengatakan bahwa Alqur’an itu adalah sebagai هُدًى لِّلنَّاسِ (petunjuk bagi seluruh manusia), dan ini merupakan fungsi utama dari Kitab Suci Alqur’an.

                Inilah ayat yang suci, bahwa Alqur’an itu berbicara kepada siapa saja, kapan saja, dari masa ke masa dan memiliki sifat yang universal sesuai dengan ayat-ayat kauniah yang terhampar dipermukaan alam semesta. Bagaimana jadinya kalau kita mengikuti klaim-klaiman orang yang pengetahuannya tidak sampai kesitu seperti yang saya sebutkan di atas? Bisa jadi kita akan menganggap Alqu’an itu suatu kitab yang usang dan mati, na ‘udzu billahi min dzalik. Namun yang harus dicamkan adalah, meskipun kurun demi kurun pemahaman terhadap sesuatu kata atau kalimat berubah, hal itu tidak akan membuat lafadz-lafadz Alqur’an (firman Allah Swt) itu berubah, kalimat per kalimat ayat suci itu akan tetap sedia kala sejak diturunkan-Nya melalui perantaraan malaikat Jibril a.s kepada baginda Muhammad Saw. 

                Pemahaman dan penghayatan terhadap ayat Alqur’an adalah suatu yang dinamis, akan sejalan dengan perkembangan pikiran dan ilmu pengetahuan manusia. Dinamika itu harus terjadi pada setiap sendi kehidupan bermasyarakat termasuk ketika berada di dalam mesjid. Pada umunya, ketika kita mengikuti pengajian-pengajian di mesjid sekarang, yang diperoleh adalah ajakan untuk melihat yang terjadi pada masa lampau, baik itu tentang kepemerintahan, ekonomi, perdagangan, masyarakat yang berjiwa sosial dan lain sebagainya. Sehingga yang terjadi adalah timbulnya semacam paksaan untuk mengikuti kehidupan masa lampau seperti yang dipikirkan oleh kaum terdahulu. Hal ini tidaklah mungkin untuk kita lakukan dan itu mustahil. Kalau kita mengikuti hal itu, kita tidak ubahnya semacam cerita ash habul kahfi yang diceritakan oleh Alqur’an, akan terheran-heran dengan kehidupan dunia yang berbeda dari 350 tahun sebelumnya.

Penafsiran yang disudutkan oleh pelontar bid’ah akan menimbulkan kemunduran kita, dan ini sudah nyata bahwa negara-negara yang maju menjalankan setiap hukum menurut asasi fitrah manusia. Mereka menerapkan kedisiplinan suatu ilmu, memiliki etos kerja dan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, dan meraka tidak pernah merasa dipaksa untuk melakukan sesuatu, tetapi mereka menyadarinya bahwa itu adalah sebuah kesepakatan fitrah dirinya.

         Saat ini masih banyak hal-hal, perkara-perkara yang telah diklaim sebagian kelompok merupakan suatu Bid’ah. Hal ini akan berlawanan antara ilmu pengetahuan yang berkembang dengan agama ortodoks. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya bahwa suatu perkara yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw dan sahabat maka amalan itu di tolak. Misalnya, belajar ilmu Tajwid, Ilmu Nahwu, Ilmu Matematika, Ilmu Kimia dan ilmu lainnya tidak pernah dilakukan oleh Nabi maupun sahabat lainnya, akankah kita mengatakan dan memvonis mereka yang melaksanakannya merupakan pelaku-pelaku amalan yang ditolak seperti perkataan Nabi Saw? Bahkan yang terjadi adalah sadar atau tidak sadar telah mempersempit makna hadits disebabkan tuduhan-tuduhan yang keliru. Padahal mereka yang bergelut di dunia ke-ilmuan adalah orang yang memiliki sikap pragmatisme. Lalu bagaimana sebenarnya maksud dari amalan yang ditolak atau Bid’ah itu? tanya seorang kapada saya.


          Menjawab pertanyaan di atas, kita harus merujuk kepada hadits Nabi Saw serta mengambil tafsiran makna yang tersembunyi di dalamnya. Harus menggunakan anugerah akal yang telah Allah Swt berikan untuk mengahayatinya. Seperti teks hadits ini secara verbal Rasululah katakan :
  مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ . رواه المسلم
bagi siapa yang beramal dengan sesuatu amal yang tidak pernah kami perintahkan, maka amalannya itu akan tertolak (tidak diterima)”, (HR. Muslim).
                       
Dalam teks hadits di atas terdapat kata-kata ‘amal’,  beberapa ulama memberikan pengertian terkait ‘amal’ itu adalah yang mengandung pengertian amal yang wajib bukan amal yang sunnah. Sementara amal yang wajib telah jelas Rasulullah ajarkan dan termuat di berbagai hadits-hadits beliau. Amal wajib ini dicontohkan seperti ibadah shalat. Ibadah yang satu ini merupakan ibadah yang paling banyak diajarkan Rasulullah Saw melalu haditsnya, mulai dari berdiri, cara mengangkat tangan, rukuk, sujud dan lain sebagainya. Kalau rangkaian ibadah ini tidak sesuai dengan yang dianjurkan Rasulullah Saw, maka amalan itu akan ditolak (tidak akan diterima). Jadi, penolakan yang dimaksud dalam makna hadits itu adalah amalan yang wajib yang dikerjakan tetapi melenceng dari tuntunan Rasulullah Saw, bukan amalan yang mandub atau sunah. Sedangkan sunah merupakan metode nabi Muhammad Saw dalam menghadapi dunia Arab pada abad ketujuh yang sudah berlangsung dengan sukses.

Selain itu, sunah akan mengajarkan kepada suatu proses bekerja setiap saat di dalam batasan-batasan (hudud). Karena Nabi Saw sendiri pun tidak pernah melampaui batasan Allah Swt yakni common sense atau akal sehat. Inilah yang dimaksud dengan sunah. Semakin kita amati dengan teliti semakin kita menemukan rahasia yanng terkandung di dalam Alqur’an maupun Hadits. Dan untuk itu kita dituntut untuk mencari ilmu pengetahuan yang hukumnya adalah wajib bagi tipa muslim laki-laki dan muslim perempuan dengan bertujuan agar tidak terjebak di dalam pengaruh-pengaruh yang keliru.

       Ilmu adalah sesuatu yang universal yang tidak bisa disangkal dengan kata-kata bid’ah atau khurafat. Sehingga amat tepat sekali perkataan nabi yang memerintahkan menuntut ilmu sampai ke Negeri Cina, meskipun Negeri ini tidak menganut agama Islam pada saat itu. tujuan untuk diperintahkannya menuntut ilmu ini hingga ke Negeri Cina adalah agar tidak melahirkan etika yang berlawanan dengan Islam ketika melihat tradisi kaum bangsa non Muslim, karena pada masa itu kemajuan negara Cina sangat berkembang pesat ketimbang negara-negara Arab, baik perkembangan ekonomi, budaya, kultur, dan sebagainya.

           Dengan demikian, pendapat imam al-Ghazali r.a tidak salah lagi yang mengatakan bahwa apabila terlintas dipikiranmu keraguan dalam masalah kehidupan (agama, akidah, mu’amalah), maka belajarlah, kajilah untuk menghilangkan keraguan itu, karena mempelajari ilmu yang dapat menyalamatkan dari kebinasaan dan memperoleh drajat yang tinggi adalah fardhu ‘ain, sementara mempelajari ilmu-ilmu selain itu adalah fardhu kifayah.

          Bukankah nabi Muhammad, Saw pernah bersabda “amal yang sedikit tetapi dibarengi dengan ilmu itu lebih baik dari pada amal yang banyak tapi tanpa ilmu”. Karena dengan ilmu kita akan mengetahui perkara-perkara syari’at Islam (wajib, mandub, makruh, haram, dan makruh).

Diceritakan dari al-Faqih, ia berkata bahwa Abul Qasim Abdur Rahman bin Muhammad menceritakan kepada kami dengan sanadnya dari Al-Hasan al-Bashri, dimana ia berkata bahwa “janganlah kamu seperti sekelompok orang yang meninggalkan ilmu dan hanya beribadah terus menerus, sehingga setelah badannya kurus, mereka keluar dengan menghunus pedang untuk memerangi orang-ornag yang berada di sekelilingnya. Seandainya mereka mencari ilmu, niscaya ilmu dapat mencegah mereka untuk berbuat seperti itu. orang yang beramal tanpa didasari ilmu itu adalah seperti orang yang tersesat di jalan, semakin tekun ibadahnya, maka semakin jauh tersesatnya, dan kerusakannya jauh lebih banyak dari pada kebaikan”.

Sehingga nyatalah maksud dari pernyataan seseorang kepada Abdullah ibn al-Mubarak yang bertanya “sampai kapan sebaiknya seseorang menuntut ilmu?” Abdullah menjawab, “selama kebodohan masih ada pada dirinya, maka lebih baik baginya untuk tetap belajar”. Artinya adalah selama kebodohan menyelimuti hidupnya maka tiada batasan untuk berhenti menuntut ilmu. Karena ilmu adalah kehidupan hati dari kebutaan, cahaya mata dari kezaliman, dan kekuatan tubuh dari kelemahan. Dengan ilmu, seorang hamba akan sampai pada kedudukan orang-orang baik dan tingkatan yang paling tinggi. Memiliki ilmu berarti akan terhindar dari kesesatan, tidak akan mudah memvonis seseorang sebagai pelaku-pelaku amalan yang ditolak atau perkara Bid’ah. Hindarilah sesat lagi menyesatkan.

Banyak orang orang yang melaksanakan shalat, akan tetapi Allah Swt tidak menerima ibadah shalatnya karena tidak dilakukan dengan kesadaran dan keikhlasan. Terdapat orang yang melaksanakan bagian-bagian rukun Islam itu, seperti Haji contohnya, tetapi berhajinya tidak berterima disisi Allah disebabkan hilangnya nilai keikhlasan. Berzakat disebabkan keterpaksaan dan takut dikatakan tetangga sebagai manusia kikir. Agama ini berdiri dengan memiliki rukun, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Ketiganya adalah hal yang penting dalam menjalankan agama. Ihsan misalnya, apabila hilang dari seseorang maka ia akan semena-mena berbuat sekehendak hatinya, sebab ihsan adalah sikap yang selalu sadar apabila memperbuat sesuatu selalu diawasi Allah Swt meskipun manusia itu tidak bisa melihat Allah Swt.

Itulah syari’at Islam yang setiap orang wajib mngetahuinya agar tidak menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt, sendiri juga yang telah diajarkan oleh baginda Muhammad Saw. Pahamilah, maka engkau akan beruntung. Wallahu a’lam.[ ]




Orientasi Ibadah Dalam Agama Islam

M
anusia hidup di dunia ini dalam pandangan konsepsi Islam dengan disertai oleh dua macam kewajiban yang secara lugas Allah Swt, nayatakan di dalam kalam mulia-Nya. Kewajiban ini telah mengikat tujuan hidup manusia sebagai mission atau risalah. Kewajiban yang dimaksud adalah risalah khalifah dan risalah ibadah.

                Kajian kali ini pokus terhadap risalah ibadah. Karena sebelumnya risalah khalifah telah saya bahas pada bab 1 tentang hakikat manusia. Yang dijelaskan bahwa manusia sebelum penciptaannya sudah dibebani misi sebagai khalifah (wakil Allah Swt) untuk mengurusi dan mengatur alam semesta dan juga merupakan wakil Allah untuk menjadi saksi atas kemaha besaran-Nya serta mengungkapkan rahasia dibalik firman-firman-Nya.

                Manusia yang paling ideal menurut ukuran Islam adalah yang mampu melaksanakan kedua kewajiban tersebut, yakni mampu melaksanakan risalah ibadahnya dengan baik, dan sanggup melaksanakan risalah khalifah dengan sukses. Model manusia yang digambarkan oleh Islam itu hanya terdapat pada seorang saja, sejak kehidupan manusia dimulai dipermukaan bumi ini, yaitu nabi Muhammad Saw. Oleh karenanya, dialah yang ditunjuk Allah Swt sebagai ‘manusia teladan’ ataupun uswatun hanasah. Hal ini tercantum pada firman Allah Swt :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS. al-Ahzab, 33:21)

                Ibadah menurut teori bahasa memiliki pengertian taat, tunduk, menurut, mengikut, dan do’a. Sementara dalam pengertian secara luasnya dalam ajaran Islam adalah kepatuhan yang total kepada Allah Swt, suatu penyerahan diri yang bulat dan jujur kepada-Nya, dengan mengikuti cara dan aturan yang telah ditetapkan-Nya. dan dengan ibadah inilah yang melahirkan dan menyebabkan Aqidah Islamiyah menjadi hidup dalam jiwa manusia yang melakukannya, dan menyalurkan Aqidah Islamiyah dari tingkat penalaran menuju tingkat pengahayatan, sehingga nurani manusia dapat merasakan sesuatu yang potensial pada dirinya, yang dapat memberikan dorongan, kesemangatan dan menjadi penerang dalam menghadapi berbagai macam masalah kehidupan.

Secara implementasinya, ibadah dalam Islam terbagi kepada tiga struktur, pertama, “ibadah jasmaniah rohiah (rohaniah)”; ibadah ini adalah perpaduan antara ibadah jasmani dan rohani, misalkan ibadah shalat, puasa. Kedua, “ibadah rohiah dan maliah”; ibadah ini merupakan perpaduan ibadah jasmani (fisik) dengan ibadah harta, ibadah ini misalnya ibadah zakat. Ketiga, “ibadah jasmaniah, rohiah dan maliah sekaligus”; ibadah ini diketahui dengan idabah yang menyatukan jasmani, rohani (hati) dan maliah (harta), contoh dari ibadah ini adalah ibadah haji. Ibadah yang satu ini adalah penyatuan ketiga-tiga jenis ibadah, makanya rasulullah Saw menyatakan kepada seseorang yang menjumpainya dikala nabi Saw, sedang berkumpul dengan para sahabat lainnya, hingga seseorang itu mengambil posisi duduk dihadapan nabi Saw, dengan menyandarkan lututnya kepada lutut nabi. Seseorang itu bertanya kepada Nabi Saw, “Wahai Muhammad! Jelaskan kepadaku tentang Islam !

Nabi Saw pun menjawab pertanyaan itu dengan suara lembut, “Islam adalah bahwa engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Swt dan bersaksi Muhammad itu utusan Allah Swt, dan egkau mendirikan zakat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan pergi haji ke Baitullah apabila engkau telah mampu melakukannya. Jadi, ibadah Haji ini merupakan perpaduan antara fisik, hati dan harta. Jika perpaduan ketiga ini belum mencukupi bagi seseorang, maka belum diwajibkan baginya untuk menunaikan ibadah ini.

Sementara itu, bila ditinjau dari segi kepentingannya, ibadah itu memliki dua macam, yakni ibadah fardi (perorangan), seperti ibadah shalat dan puasa. Dan ibadah ijtima’i (masyarakat), ibadah ini contohnya adalah ibadah zakat dan haji. Suatu prestasi yang berharga apabila dapat menjalankan ini secara sempurna dengan presensi (kehadiran) hati dan akan mampu menuju titian insan kamil.

Dalam ilmu tasawuf, insan kami ini disebut juga dengan istilah rijal kamil, yaitu orang-orang yang memliki kecerdasan intelektual dan spiritual yang tinggi. Selain itu juga, ia akan mengejawantahkan kapasitas kecerdasannya tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Yakni dengan konsisten menjalankan amal-amal shaleh kepada lingkungan sosialnya. Dengan prestasi insan kamil inilah seseorang memiliki kemungkinan untuk mengenal Tuhannya secara pasti dan benar. Puncak insan kamil bagi seorang muslim tentunya sosok Nabi Muhammad Saw. Seorang yang mempunyai nurani suci sehingga sangat dekat kepada Allah Swt, sekaligus seorng yang memiliki akhlak mulia sehingga dikagumi oleh setiap pengikutnya.

Oleh karena itu, agama Islam yang sekedar dimengerti secara aqliyah, dikuasai secara teoritis dan difahami secara normatif saja, akan sedikit sekali pengaruhnya terhadap jiwa manusia, jika dibandingkan dengan agama Islam yang diterapkan secara amaliyah, dilakukan dengan kegiatan praktis dan dihayati secara operatif.

Melakukan ibadah akan dapat menumbuhkan kesadaran diri manusia bahwa ia adalah makhluk Allah Swt, yang diciptakan sebagai insan yang mengabdi kepadan-Nya. hal ini seperti firman Alllah Swt :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS. al-Dzariyaat, 51:56)

Dengan demikian, manusia diciptakan bukan sekedar untuk hidup mendiami dunia ini, dan kemudian mengalami kematian tanpa ada pertanggung jawaban kepada pencipt-Nya, melainkan manusia itu diciptakan  oleh Allah Swt, untuk mengabdi kedapa-Nya. Dan juga Allah Swt, memerintahkan kepada Bani Adam agar tidak menyembah atau mengabdi kepada selain-Nya. ini dibuktikan dengan beberapa firman Allah Swt untuk menyembahnya;
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ - See more at: http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-yasin-ayat-60-70.html#sthash.UxkpVihb.dpuf

أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ - See more at: http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-yasin-ayat-60-70.html#sthash.UxkpVihb.dpuf
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ - See more at: http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-yasin-ayat-60-70.html#sthash.UxkpVihb.dpuf
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ - See more at: http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-yasin-ayat-60-70.html#sthash.UxkpVihb.dpuf
“Bukankah aku telah memerintahkan kepadamu Hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu". (QS. yaasiin, 36:60)

dan juga firman-Nya :

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”. (QS. al-Bayyinah, 98:5)

Orientasi dari sebuah ibadah hakikatnya adalah merupakan sari ajaran agama Islam yang memiliki arti penyerahan diri secara total dan sempurna pada kehendak Allah Swt. Sebab itu, tidak ada alasan bagi seorang manusia untuk mengabaikan kewajiban-kewajiban beribadah kepada-Nya. Dengan memurnikan ketaatan dan menjalankan agama yang lurus maka akan tertutup segala kemungkinan yang menyebabkan penyimpangan-penyimpangan aqidah dan mengunci segala celah-celah yang mengakibatkan perusakan terhadap pengabdian kepada Allah Swt.

Mencapai kemurnian ketaatan dan menjalankan agama yang lurus diatas harus dilaksanakan dari segala aspek kehidupan. Islam memberikan tawaran preskripsi (resep) kepada penganutnya dalam pencapaian kemurnian di atas, setidaknya ada 5 preskripsi, antar lain :

1.       Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan (ucapan lidah), seperti berdzikir, berdo’a dan membaca Alqur’an;
2.       Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti membantu atau menolong orang lain, jihad, tajhiz al-janazah (mengurus jenazah), dan lain sebagainya;
3.       Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujud perbuatannya, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji;
4.       Ibadah yang tata cara dan pelaksanaannya berbentuk menahan diri seperti, puasa, ‘itikaf, ihram bagi orang yang berhaji; dan
5.       Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan seseorang yang berutang kepadanya.

Dalam rangka pelaksanaannya tentunya diharapkan dengan kepatuhan dan ketundukan semata karena Allah Swt. Manusia yang telah menyatakan dirinya sebagai muslim dituntut untuk senantiasa melaksanakan ibadah sebagai pertanda keikhlasan mengabdikan dirinya kepada Allah Swt. Tanpa ada ketaatan beribadah, barangkali pengakuaannya sebagai muslim masih perlu dicurigai dan dipertanyakan. Jika ada kesenjangan antara pengakuan dan amal ibadah, berarti seornag muslim itu belum memaham sepenuhnya konsepsi syari’at Islam tentang kewajiban pengabdian kepada Allah Swt.

Syari’at Islam telag mengungkapkan bahwa tujuan akhir dari semua bentuk aktivitas hidup manusia adalah pengabdian kepada Allah Swt. Sebab ia adalah wujud yang kreatif, yang telah menciptakan manusia sebaik-baik bentuk dan ciptaan, (lihat, QS. at-Tiin, 95:4). Sebagai Rabb bagi seluruh alam termasuk di dalamnya manusia, Allah Swt tidak membebankan kewajiban beribadah diluar kemampuan manasia itu snediri. Melaksanakan perintah-Nya itu saja telah bernilai ibadah, sebab tidak satu pun ajaran dan perintah-Nya yang tidak bernilai ibadah. Demikian juga halnya dengan larangan-larangan-Nya, jika manusia mematuhinya, maka semuanya akan bernilai ibadah. Bahkan menurut Islam, setiap aktivitas manusia yang sesuai ketentuan Allah Swt adalah  bernilai ibadah.

Tujuan ibadah dalam Islam bukanlah sejenis perbuatan magis, yang bermaksud mengundang campur tangan adikodrati di dunia yang terikat dengan hukum kausalitas (sebab akibat). Islam juga mengatakan bahwa Ibadah bukan sekedar pemujaan yang mengandung maksud berlebihan dengan mengharapkan pertolongan Yang Maha Kuasa. Tetapi ibadah merupakan pengabdian dan dedikasi terhadap semangat hidup yang bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah Swt, karena Dia-lah yang telah menciptakan dan memberi kehidupan kepada manusia dan makhluk lainnya.

Maka  tugas kita sebagai muslim dalam menghadapi ibadah adalah mengetahui hukum ibadah yang dilakukan, mengerti tata cara melaksanakannya atau mengerjakannya dengan tepat, dan menyadari serta menghayati nilai-nilai yang menjadi hikmah dan tujuan dari ibadah tersebut. Tanpa itu, ibadah kita akan berwujud sekedar sebagai yang mempunyai nilai-nilai simbolis saja, tapi tidak mencapai nilai-nilai fungsionalnya. Seperti puasa misalnya, ibadah ini telah mendapatkan  sindiran dari Rasulullah Saw, terhadap orang yang mengerjakannya, dengan perkataan beliau “banyak orang yang melaksanakan puasa, namun hasil puasanya tidak lebih hanyalah menahan rasa lapar dan dahaga (haus) saja” (HR. Ahmad).

Suatu hal yang perlu digarisbawahi bahwa orientasi ibadah dan kadar implikasinya sangat berkaitan dengan kadar kesadaran hamba dengan kebutuhannya kepada Allah Swt, dan bahwa ia tidak mungkin hidup berlepas diri dari Allah Swt, walaupun sekejap mata. Oleh sebab itu, ketika ibadah berlangsung, sewajarnyalah dilandaskan penuh kecintaan yang murni kepada Alah Swt, dan diiringi dengan kerendahan diri yang sempurna. Kecintaan ini akan semakin menebal dengan proses tafakkur terhadap sifat-sifat-Nya dan memahami ke-Maha Besarannya. Dengan demikian, hati seorang hamba akan penuh dengan makna ubudiyah, akan memeliharanya dari penyembahan kepada selain Allah Swt. Maka jadilah ia seorang hamba yang memurnikan ketaatannya kepada Allah Swt, dan memiliki kedudukan yang paling tinggi dicapai oleh manusia. Pahamilah, maka engkau akan beruntung. Wallahu a’lam.[ ]

Kewajiban Menutup Aurat Dan Batasannya

Kewajiban Menutup Aurat Dan Batasannya السلام عليكم ورحمة الله وبركاته بِسْمِ اللهِ الرَحْمَنِ الرَّحِيْمِ، الحَمْدُ لِ...