Selasa, 10 Januari 2017

imam ghazali

Biografi Imam Al-Ghazali Sang Hujjatul Islam


Rajulkhan20.blogspot.com

Dialah Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali Al-Mujtahid Al-Faqih Al-Ushuli Al-Mutakallim Ath-Thusi Asy-Syafi'i. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H. Al-Ghazali mempunyai seorang ayah yang soleh sufi menjaga hati dan tangannya untuk melakukan yang halal. Sebelum ayahnya meninggal beliau berwasiat kepada temannya yang sholeh juga sufi untuk menjaga putranya yang bernama abu hamid Al-Ghazali sama saudaranya yang bernama Ahmad Al-Ghazali.

Setelah beranjak beberapa tahun berlalu, uang dan bekal yang dititipkan sang ayah untuk Imam Al-Ghazali dan saudaranya Imam Ahmad Al-Ghazali akhirnya habis juga sehingga mereka berdua terpaksa disekolahkan di Madrasah Nidzomiyah di Baghdad, Iraq. Setelah Al-Ghazali mengusai segala bidang ilmu, baik dalam Ilmu Fiqih, ilmu Jidal (debat ilmiah), Ilmu Ushul dan Filsafat. Akkhirnya Al-Ghazali memilih jalan Shufi dan beliau menuju ke negara Syam untuk 'Uzlah (menjauh dari hiruk pikuk).

Adiknya, Ahmad lebih memilih jalan Shufi. Nah, di sini ada sebuah kisah antara Al-Ghazali sama Ahmad Al-Ghazali. Pernah suatu Al-Ghazali menjadi Imam dalam Shalat berjama'ah sedangkan Ahmad menjadi Ma'mumnya, sampai di pertengahan Ahmad berpisah dari jama'ah (Mufaroqoh) Kakaknya Al-Ghazali. Setelah selesai Shalat Al-Ghazali menanyakan kepada Ahmad kenapa dalam Shalat tadi engkau berpisah dari jama'ahku wahai saudaraku kata Al-Imam Al-Ghazali.

Lantas Ahmad menjawabnya mengapa saya harus berjama'ah dengan seseorang yang berlumuran darah di pundaknya. Akhirnya Al-Ghazali terbayang dengan menjawabnya: 
"Wahai saudaraku, engkau memang benar tadi ketika saya jadi Imam, memang saya tidak Khusu' saat Shalat, akan tetapi saya mengingat-ngingat tentang Darah Haid, Darah Nifas dan Istihadoh.


Al-Ghazali waktu itu sudah mempunyai karangan Kitab Al-Basith, Al-Wasith dan Al-Wajiz yang menjelaskan tentang Ilmu Fiqih dalam Madzhab Syafi'i. Ternyata masih kalah hebatnya dengan saudaranya sendiri yang bernama Ahmad Al-Ghazali. Akhirnya Al-Ghazali memilih jalan Shufi dan memilih untuk pergi ke Negara Syam.

-Perjalanan Ilmiah Imam Al-Ghazali


Beliau mulai menuntut ilmu sejak masa kecilnya yaitu Ilmu Fiqih kepada Al-Imam Ahmad Bin Muhammad Ar-Rodhakoni di kota Baghdad, lalu Al-ghazali melanjutkan studinya ke negara Jurjan, beliau belajar kepada Al-Imam Abi Nashr Al-isma'ili, Kemudian Al-Ghazali melanjutkan studinya ke Kota Naysabur untuk menimba ilmu kepada Al-Imam Al-Haromain Mufti Kota Mekkah dan Madinah

Setelah Al-Imam Haromain wafat, Al-Ghazali keluar menuju seorang Mentri. Pada saat itu Nidhomul Mulk mengumpulkan para ahli ilmu dan semua para Ulama' berusaha untuk memusuhi Al-Ghazali. Setelah Al-Ghazali menjelaskan ilmunya yang didapatkan dari Guru-Gurunya, akhirnya semua Ulama' mengerti keutamaan Al-Ghazali. Hingga akhirnya Al-Ghazali diperintahkan pergi ke Madrasah Nidzamiyah di Baghdad pada Tahun 484 Hijriyah. Dan Al-Ghazali mengajar di sana hingga semua orang terheran dengan kepiawaian Al-Ghazali dalam mengajar dan berargumen, serta mempunyai keutamaan yang indah dan fasih lisannya semua orang mencitainya.

-Komentar Ulama' Tentang Al-Ghazali


Al-Imam Tajuddin As-Subuki berkata: "Abu Hamid Al-Ghazali adalah Hujjatul Islam (Hujjah bagi Islam)".

Al-Imam Haromain berkata: "Al-Ghazali ilmunya seperti lautan".

Al-Imam Ibnu Najar berkata: "Abu Hamid adalah Imamnya para Ahli Fiqih sekaligus pendidiknya para ummat".

Al-Imam Muhammad Bin Yahya salah satu muridnya Al-Ghazali juga berkata: "Al-Ghazali adalah Imam Syafi'i kedua".

Al-Hafidz Ibnu Katsir juga berkata: "Al-Ghazali adalah paling cerdasnya Ulama' di segala bidang keilmuan dan Pimpinan Para Pemuda".

Al-Hafidz Ibnul Jauzi dari kalangan Ulama' Hanbali juga berkata: "Semua orang telah menulis karangan dari kalamnya (perkataan) Al-Ghazali".

- Karangan kitab Al-Imam Al-Ghazali



1. Ihya' Ulumuddin

2. Al-Munqid Mina Ad-Dholal
3. Al-Iqtisod Fi Al-I'tiqod
4. Mizan Al-Amal
5. Fadhoih Al-Bathiniyah
6. Al-Qistos Al-Mustaqim
7. Faishol At-Tafarruq Bayna Al-islam Wa Az-Zindiqoh
8. Tahafut Al-Falasifah
9. Mi'yar Al-'ilm
10. Al-Maqshod Al-Asna Fi Syarh Asma'ul husna
11. Al-bhasith
12. Al-Wasith
13. Al-Wajiz
14. Al-Mustashfa
15. Al-Mankhul
16. Kimiya As-Sa'adah
17. Jawahir Al-Qur'an
18. Yaqut Atta'wil Fi tafsir Attanzil
19. Minhaj Al-'Abidin
20. Al-Arba'in Fi usuluddin
21. Maskatul Anwar
22. Ad-duror Al-fakhiroh Fi Kasfi 'ulum Al-akhiroh
23. 'Iljam Al-Awam 'an 'ilmi Al-Kalam
24. Bidayah Al-Hidayah

- Wafatnya Al-Ghazali


Setelah Al-Ghazali melanjutkan lagi perjalanannya ke Negeri Syam dan Berziarah ke Baitul Maqdis sudah 10 tahun Al-Ghazali menetap di sana dan berpindah-pindah di beberap Masjid kemudian bertempat di suatu gunung untuk melatih dirinya agar tidak mengikuti hawa nafsunya dan berusaha untuk jihad di jalan Allah, selalu beribadah dengan ketaatan sampai Al-Ghazali menjadi Ulama' terkemuka di masanya dan mendapatkan keberkahan yang melimpah sehingga sampai di jalan keridoan Ilahi.

Setelah Al-Ghazali kembali ke Baghdad untuk membahas tentang ilmu Hakikat, ahkirnya Al-Ghazali mengarang sebuah kitab yang berjudul 'Ihya' Ulumuddin. Dalam kitab 'Ihya' 'Ulumuddin terdapat Hadist Nabi Muhammad SAW yang sangat banyak sekali sehingga Al-Ghazali jika mau meletakKan Hadist Nabi SAW dicium dulu Hadist itu, jika Hadist itu harum maka Al-Ghazali menulisnya dalam kitab 'Ihya' 'Ulumuddin, jika tidak maka Al-Ghazali tidak menulisnya.

Kemudian Al-Ghazali melanjutkan ke Khurasan dan mengajar di Madrasah Nidzamiyah Naysaburi di masa yang sebentar setelah Al-Ghazali mengajar di Madrasah Nidzamiyah akhirnya kembali ke negeri kelahirannya yaitu Ath-Thusi dan belajar dari beberapa Ulama' Fiqih, beliau juga selalu menjaga waktunya untuk menghatamkan Al-Qur'an dan selalu berpuasa dan Istiqomah dalam semua bentuk ibadahnya. Imam Al-Ghazali wafat di negeri kelahirannya Ath-Thusi pada hari senin 14 Jumadil Akhir pada tahun 505 H. dan dimakamkan di Pemakaman Ath-Thobron.

Referensi :


1. Al-Munqid Min Adh-Dholal karya Al-Ghazali (Hal. 59-65).
2. Al-Muntadzim Karya Ibnul Jauzi (Juz 9 hal. 168).
3. Siyar A'lam An-Nubala' Kayra Imam Adz-Dzahabi (Juz 19 hal. 322).
4. Thobaqot Asy-Syafi'iyah Al-Kubro Karya Taqiyuddin As-Subuki (Juz 6 hal. 191).
5. Al-Bidayah Wa An-Nihayah Karya Imam Ibnu Katsir (Juz 12 hal. 173).
6. Wafiyat Al-A'yan karya As-Shofadi (Juz 4 hal. 416).
7. Mir'ah Al-Jinan Karya Al-Yafi'i (Juz 3 hal. 145).
8. Thobaqot Ash-Shufiyah Karya Al-Manawi (Juz 2 hal. 291).
9. Syadzrat Adz-Dzahab karya Ibnu Al-'Imad Al-Hanbali (Juz 4 hal. 13).
10. Al-A'lam karya Az-Zarkali (Juz 7 hal. 22).
11. Muqoddimah Ihya' Ulumiddin

Sabtu, 07 Januari 2017

Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia


MAKALAH
Tentang
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Disusun untuk melengkapi persyaratan tugas Mata Kuliah
Sejarah Pendidikan Islam Jurusan PAI Semester Vb


Dosen Pembimbing :
MELDA DIANA, S.Pd, MA
 
Disusun
Oleh :

Kelompok VIII (Delapan)
Rahmad Junjung Lubis     
Npm: 11-01-112
                                     
 

BADAN LAYANAN UMUM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MANDAILING NATAL
(BLU-STAIM)
T.A 2012-2013



KATA PENGANTAR

Assalamu ‘Alaikum Wr, Wb.
Alhamdulillah puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik kendatipun sangat sederhana.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan limpahkan keharibaan junjungan kita Nabi Muhammad SAW. sebaik-baiknya insan lintang pemimpin bagi umat manusia karena berkat beliaulah kita masih dapat merasakan nikmatnya Islam.
Dalam makalah ini penulis membahas tentang “Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia”,Selanjutnya penulis haturkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu menyelesaikan makalah ini dimana penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu namanya, dan penulis hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang turut membantu dalam penulisan makalah ini.
Penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan karena tidak ada kesempurnaan sedikitpun di dunia ini. Dengan ini penulis mengharap kritik dan saran untuk lebih memotivasi kedepan, terutama untuk dosen pembimbing sebagai pembimbing penulis. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.
            Was-salamu ‘alaikum Wr, Wb.
                                                                                                               
Panyabungan, 26 Desember 2012

Penulis,




DAFTAR ISI
                                                           
                                                           
KATA PENGANTAR..........................................................................................      ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................     iii
BAB I :
              PENDAHULUAN...................................................................................       
A.    Latar BelakangMasalah........................................................................     xi
B.     Rumusan Masalah.................................................................................    xii
C.     Tujuan Penulisan...................................................................................    xii
BAB II:
              PEMBAHASAN......................................................................................
1.      Lembaga Pendidikan Islam Formal......................................................      1
1.      Pesantren........................................................................................      1
2.      Madrasah........................................................................................      6
3.      PTAI...............................................................................................      7
2.      Lembaga Pendidikan Islam Non-Formal.............................................    13
1.      Majlis Ta’lim...................................................................................    13
2.      Pesantren Kilat...............................................................................    15
3.      Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA).............................................    17
BABIII :
              PENUTUP...............................................................................................       
A.    Kesimpulan...........................................................................................    20
B.     Saran ....................................................................................................    20
Daftar Pustaka.......................................................................................................    21


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Persoalan pendidikan muncul seiring dengan adanya manusia itu sendiri di atas dunia, oleh karena manusia itu merupakan homo educandum yang artinya bahwa manusia itu pada hakekatnya merupakan makhluk yang di samping dapat dan harus didik, juga dapat dan harus mendidik. Dengan demikian, pernyataan ini memperluas arti pendidikan sebenarnya yang selama in orientasi manusia terhadap dunia pendidikan adalah dunia sekolah.
Kondisi tersebut diatas, saat ini telah banyak ditinggalkan orang-orang dan kerena beranggapan bahwa belajar di dunia sekolah bukan satu-satunya faktor yang menentukan corak kehidupan seseorang. Dengan lingkungan fisik, sosial, maupun budaya yang selalu berubah, mengharuskan orang untuk terus menerus belajar agar tidak ketinggalan zaman.
Dalam konteks keindonesiaan, dikenal juga pendidikan seperti yang dimakud di atas yakni sebutan pendidikan luar sekolah. Bahkan secara yuridis formal, pendidikan luar sekolah ini diatur dalam Undang-Undang RI tentang sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan luar sekolah secara umum dapat dibagi menjadi pendidikan Informal dan non formal, sedangkan pendidikan sekolah lebih dikenal dengan pendidikan formal.
Makalah ini akan membahas khusus tentang Pendidikan Islam formal dan  non formal yang berupa Pesantren, Madrasah, PTAI, Majlis Ta’lim, Pesantren Kilat,dan Madrasah Diniyah Awaliyah. Baik dilihat dari segi perkembangannya di Indonesia maupun ditinjau dari segi pengaruhnya bagi pendidikan Islam di Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
3.      Lembaga Pendidikan Islam Formal
4.      Lembaga Pendidikan Islam Non-Formal
C.    Tujuan Penulisan
1.      Sebagai bahan pelengkap untuk mengajukan persyaratan mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam semester V di BLU-STAIM.
2.      Untuk menambah wawasan penulis tentang judul yang terkait agar dpat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
3.      Memberi sedikit pemahaman dan penjelasan secara detail kepada audentsi dalam melakukan presentase pemakalah kelompok VIII.




BAB II
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

            Sejak zaman sebelum kemerdekaan Indonesia sampai sekarang banyak terdapat lembaga pendidikan Islam yang memegang peranan sangat penting dalam rangka penyebaran ajaran Islam di Indonesia. Di samping peranannya yang cukup menentukan dalam membangkitkan sikap patriotism dan nasionalisme sebagai modal mencapai kemerdekaan Indonesia serta menunjuang tercapainya tujuan pendidikan nasional.[1]
Dilihat dari bentuk dan sifat pendidikannya, lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut ada yang bersifat formal da nada pula yang bersifat nonformal. Bentuk lembaga pendidikan Islam apa pun dalam Islam harus berpijak pada prinsif-prinsif  tertentu yang telah disepakati sebelumnya, sehingga antara lembaga satu dengan lembaga lainnya tidak terjadi semacam tumpang-tindih.[2]

A.  Lembaga Pendidikan Islam Formal
1.      Pesantren
a.      Pengertian
Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal santri. Dalam buku sejarah pertumbuhan dan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia, penulis mendapati banyak sekali yang mengeluarkan pendapat tentang pengertian dari pesantren ini. Salah satunya, Manfred Ziemek mengatakan bahwa asal etimologi  pesantren adalah pesantrian yang berarti “Tempat santri”. Santri atau murid mendapat pelajaran dari pimpinan pesantern (kiai) dan oleh para guru (ulama atau ustadz) serta pelajarannya mencakup berbagai bidang tentang pengetahan Islam.[3]
Ditinjau dari segi sejarah, belum ditemukan data sejarah, kapan pertama sekali berdirinya pesantren, ada yang pendapat mengatakan bahwa pesantren telah tumbuh sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, sementra yang lain berpendapat pesantren baru muncul pada masa Walisongo dan Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai orang yang pertama mendirikan pesantren.[4]
Dalam perkembangan berikutnya pesantren mengalami dinamika, kemampuan dan kesediaan pesantren untuk mengadopsi nilai-nilai baru akibat modernisasi, menjadikan pesantren berkembang dari yang tradisional ke modern. Karena itu hingga saat sekarang pesantren tersebut dibagi dua secara garis besar.Pertama pesantren Salafi, dan yang kedua pesantren Khalafi.Pesantren Salafi adalah pesantren yang masih terkait dengan system dan pola lama, sedangkan pesantren Khalafi adalah pesantren yang telah menerima unsur-unsur pembaruan.[5]
b.      Prinsip Dan Unsur Pendidikan Pesantren
Walaupun setiap pesantren mempunyai ciri khas masing-masing namun ada lima prinsip dasar pendidikannya yang tetap sama, yaitu:
1.      Adanya hubungan yang akrab antara santri dan Kiyai
2.      Santri taat dan patuh kepada Kiyainya, karena kebijaksanaan yang dimiliki oleh Kiai
3.      Santri hidup secara mandiri dan sederhana
4.      Adanya semangat gotong royong dalam suasana penuh persaudaraan.
5.      Para santri terlatih hidup berdisiplin dan tirakat
Pada umunya pesantren terdiri dari beberapa element atau unsure, yaitu:[6]
1.      Pondok
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang lebih menekankan aspek moralitas kepada santri dalam kehidupan ini karenanya untuk nilai-nilai tersebut diperlukan bimbingan yang matang kepada santri, untuk memudahkan itu diperlukan sebuah asrama sebagai tempat tinggal dan belajar di bawah bimbingan seorang kiayi.
2.      Masjid
Masjid merupakan elemen yang paling penting, sebab masjid merupakan tempat pusat kegiatan yang ada bagi umat Islam.Masjid di jadikan sebagai pusat pendidikan. Seorang kiyai yang ingin mengembangkan pasantren, bisanya yang pertama didirikan adalah masjid di dekat rumahnya, karena dengan demikian berarti Ia telah memulai sesuatu dengan simbol keagaman, yaitu Masjid yang merupakan rumah Allah, dimana di dalamnya dipenuhi dengan rahmat dan ridho Allah SWT .
3.      Santri
Santri adalah siswa yang tinggal di pesantrenseorang santri harus memperoleh kerelaan sang kyai, dengan mengikuti segenap kehendaknya dan melayani segenap kepentingannya. Pelayanan harus dianggap sebagai tugas kehormatan yang mrupakan ukuran penyerahan diri itu. Kerelaan kyai ini, yang dikenal dipesantren dengan nama “barokah”, adalah alasan tempat berpijaknya santri di dalam menuntut ilmu.
 4.      Kitab kuning
Kitab Kuning, pada umumnya dipahami sebagai kitab- kitab keagamaan berbahasa Arab, mengunakan aksara Arab, yang dihasilkan oleh para ulama dan pemikir muslim lainnya di masa lampau, hususnya yang berasal dari Timur Tengah. Kitab Kuning mempunyai format sendiri yang khas dan warna kertas “kekuning-kuningan”.pada umunya isinya menyinggung masalah syaria’at atau fiqih dan masalah-masalah keimanan.
5.      Kiayi
Kyai merupakan unsur kunci dalam pesantren, karena itu sikap hormat (takzim) dan kepatuhan mutlak terhadap kyai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan kepada santri.Kyai dengan karomahnya, adalah orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Allah dan rahasia alam.Dengan demikian, kyai dianggap memiliki kedudukan yang tidak terjangkau, utamanya oleh orang biasa.Karena karomahnya, santri dan masyarakat menyerahkan kekuasaan yang luas pada kyai, dan biasanya mereka percaya hanya orang-orang tertentu yang bisa mewarisi karomahnya tersebut seperi keturunannya dan santri kepercayaannya.

c.       Pola Pendidikan Pesantren
Pendidikan dan ajaran islam diberikan melalui pemberian contoh, perbuatan dan sauri teladan. Para guru yang juga kiayi berlaku sopan santun, ramah-tamah, tulus ikhlas, amanah percaya, welas asih, jujur adil, tepat janji serta menghormati adat istiadat dan orang lain. Pada awalnya pendidikan islam dilakukan di surau-surau, langgar masjid atau bahkan di serambi rumah sang guru. Disana murid-murid belajar mengaji.Waktu belajarnya biasanya pada waktu petang atau malam hari. Mereka duduk dilantai, melingkar menghadap sang guru dan belajar membaca Al-Qur’an. Tempat-tempat pendidikan islam seperti ini yang menjdi cikal-bakal pendidikan pesantren.
System pendidikan pesantren masih sama seperti system pendidikan di surau atau langgar masjid, hanya saja lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama.Pada awalnya tujuan pokok dari pesantren adalah agar anak-anak dapat membaca Al-Qur’an dan mengetahui pokok-pokok ajaran islam yang perlu dilaksanakan sehari-hari, seperti shalat, puasa, dan zakat, maka sekarang disamping memberi pokok ajaran itu juga diberikan ilmu dan alat untuk mempelajari agama Islam dari sumber yang asli yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Alat yang digunakan untuk mendalami itu adalah bahasa arab. Dengan menguasai bahasa arab orang akan dapat menggali ajaran-ajaran islam dari sumbernya, sehingga dapat mengembangkan agama islam dengan lebih baik.
Ada dua metode yang sering digunakan dalam pendidikan pesantren, yaitu:[7]
1)      Metode Wetonan
Yaitu metode dimana Kiai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, dan santri dengan membawa kitab yang sama mendengarkan dan menyimak bacaan kiai tersebut. Dalam sistem pengajaran yang semacam ini tidak mengenal absen. Santri boleh datang dan tidak boleh datang,  juga tidak ada ujian.  Apakah santri itu memahami apa yang dibaca Kiai atau tidak, hal itu tidak bisa diketahui. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa sistem pengajaran di Pondok Pesantren itu adalah bebas, yaitu bebas mengikuti kegiatan belajar dan bebas untuk tidak mengikuti kegiatan belajar.
2)      Metode Sorongan
Yaitu metode dimana santri (biasanya yang pandai) menyedorkan sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca di hadapan kiai itu.Dan kalau ada kesalahan langsung dibetulkan oleh kiai itu. Di Pondok Pesantren yang besar, mungkin untuk dapat tampil di depan kiainya dalam membawakan/ menyajikan materi yang ingin disampaikan, dengan demikian santri akan dapat memahami dengan cepat terhadap suatu topik yang telah ada papa kitab yang dipegangnya.

2.      Madrasah
a.      Pengertian
Kata madrasah dalam bahasa Arab berarti tempat atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran.[8]Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran.[9]
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya yang berkembang pada zamannya.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.
b.      Latar Belakang Timbulnya Madrasah
Madrasah mulai didirikan dan berkembang pada abad ke 5 H atau abad ke-10 atau ke-11 M. pada masa itu ajaran agama Islam telah berkembang secara luas dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan, dengan berbagai macam mazhab atau pemikirannya. Pembagian bidang ilmu pengetahuan tersebut bukan saja meliputi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dan hadis, seperti ilmu-ilmu al-Qur’an, hadits, fiqh, ilmu kalam, maupun ilmu tasawwuf tetapi juga bidang-bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika dan berbagai bidang ilmu-ilmu alam dan kemasyarakatan.[10]
Aliran-aliran yang timbul akibat dari perkembangan tersebut saling berebutan pengaruh di kalangan umat Islam, dan berusaha mengembangkan aliran dan mazhabnya masing-masing.Maka terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok pikiran, mazhab atau aliran.Itulah sebabnya sebahagian besar madrasah didirikan pada masa itu dihubungkan dengan nama-nama mazhab yang masyhur pada masanya, misalnya madrasah Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah atau Hanbaliyah.[11]
c.       PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam)
Ada beberapa lembaga dari perguruan tinggi islam, yaitu:
1.      Pendidikan Tinggi Islam
Mahmud Yunus mengemukakan bahwa di Padang Sumatera Barat pada tanggal 9 Desember 1940 telah berdiri perguruan tinggi Islam yang dipelopori oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI). Menurut Mahmud Yunus perguruan tinggi yang pertama di Sumatera Barat bahkan di Indonesia.Tetapi, ketika Jepang masuk ke Sumatera Barat pada tahun 1941, pendidikan tinggi ditutup sebab Jepang hanya mengizinkan di buka tingkat dasar dan menengah. Pendidikan ini di buka dari dua fakultas, yaitu:
a.       Fakultas Syari’ah (Agama)
b.      Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab
Untuk lebih meningkatkan efektivitas keluasan jangkauan maka muncullah untuk mengubah menjadi univesitas.Dan kemudian menjadian menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan membuka 4 fakultas, yaitu Agama, Hukum, Pendidikan, Ekonomi.Dalam perkembangan berikutnya fakultas agama UII ini di negerikan, sehingga ia terpisah dari UII menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri)
2.      Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)
PTAIN yang berdiri diresmikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1950, baru beroperasi secara praktis pada tahun 1951.Dimulailah perkuliahan perdana pada tahun tersebut dengan jumlah siswa 67 orang dan 28 orang siswa persiapan dengan pimpinan fakultasnya adalah KH.Adnan.
PTAIN ini mempunyai jurusan Tarbiyah, Qadha, dan Dakwah dengan lama belajar 4 tahun pada tinggkat bakalaureat dan doktoral. Mata pelajaran agama di dampingi mata pelajaran umum terutama yang berkenaan dengan jurusan. Mahasiswa Jurusan Tarbiyah diperlukan pengetahuan umum mengenai ilmu pendidikan, dan begitu juga jurusan lainnya diberikan pula pengetahuan umum yang sesuai dengan jurusannya.
3.      Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA)
Dengan di tetapkannya peraturan bersama Menteri Agama, Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan pada tahun 1951 No.K/651 tanggal 20 Januari 1951(Agama) dan No. 143/K tanggal 20 Januari 1951 (pendidikan), maka pendidikan agama dengan resmi di masukkan kesekolah-sekolah negeri dan swasta.Berkenaan dengan itu, dan berkaitan dengan peraturan-peraturan sebelumnya, maka departemen agama untuk kesuksesan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Sehubungan dengan itu untuk merealisasikan salah satu tugas tersebut pemerintah mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) dengan maksud dan tujuan guna mendidik dan mempesiapkan pegawai negeri akan mencapai ijazah pendidikan semi akademi dan akademi untuk dijadikan ahli didik agama pada sekolah-sekolah lanjutan, baik umum maupun kejuruan dan agama.
Lama belajar di ADIA 5 tahun yang dibagi kepada 2 tingkatan, tingkatan semi akedemik belajar 3 tahun, sedangkan tingkatan akademik lama bnelajarnya 2 tahun. Masing-masing tingkat terdiri dari 2 jurusan, yakni jurusan pendidikan agama dan jurusan sastra Arab.[12]Syarat untuk diterima menjadi mahasiswa ADIA adalah lulusan atau berijazah SGAA, PGAA, atau PHIN, mempunyai masa kerja sekurang-kurangnya 2 tahun dan berumur tidak lebih dari 30 tahun.
4.      Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Setelah PTAIN berusaha kuranag lebih 9 tahun, maka lembaga pendidikan tinggi di maksud telah mengalami perkembangan. Dengan perkembangan tersebut dirasakan bahwa tidak mampu menampung keluasan cakupan ilmu-ilmu keislaman tersebut kalau hanya berada di bawah satuan payung fakultas saja.Berkenaan dengan itu timbullah ide-ide, gagasan-gagasan untuk mengembangkan cakupan PTAIN kepada yang lebih luas.
Untuk menciptakan IAIN memerlukan proses yang cukup serius, ringkasnya penggabungan dua lembaga yang pada mulanya berdiri masing-masing PTAIN dan ADIA , berdasarkan pasal 2 peraturan Perisiden No. 11 Tahun 1960 tersebut Mentari Agama mengeluarkan sebuah ketetapan Menteri Agama No. 43 Tahun 1960 tentang penyelenggaraan Institut Agama Islam Negeri dan sebagai pelaksanaannya di keluarkanlah Peraturan Menteri Agama No. 8 tahun 1961 tentang pelaksanaan penyelenggaraan IAIN.
5.      Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
IAIN-IAIN pada awalnya cabang dari Yogyakarta atau Jakarta menjadi IAIN yang berdiri sendiri.Demikianlah hingga tahu 1973 IAIN tercatat 14 di seluruh Indonesia.
IAIN yang berdidri sendiri itu, berdasarkan kebutuhan berbagai daerah membuka cabang pula di luar IAIN induknya sehingga IAIN menjadi berkembang di berbagai daerah, dalam perkembangan itu muncullah duplikasi fakultas.
Untuk menyahuti jiwa dan peraturan, yakni untuk menghindari terjadinya duplikasi tersebut serta untuk menjadikan fakultas-fakultas tersebut mandiri dan lebih dapat mengembangkan diri tidak terikat kepada peraturan yang mengengkang oleh IAIN induknya maka, maka fakultas-fakultas tersebut dilepasskan dari IAIN induknya masing-masing yang secara administrasi tidak lagi memiliki ikatan dengan IAIN induknya masing-masing. Setelah dipisahkan itu bernamalah lembaga ini menjadi STAIN.Yang dulunya bernama Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara Padangsidimpuan, berubah menjadi STAIN Padangsidimpuan, demikian seterusnya.
Beda IAIN dengan STAIN adalah jika Institut menyelenggarakan program akademik dan/atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian yang sejenis.Sedangkan sekolah tinggi menyelenggarakan program pendidikan akademik dan/profesional dalam lingkup satu disiplin ilmu tertentu.[13]
6.      Universitas Islam Negeri
Beberapa tahun belakangan ini ada pikiran yang ingin mengembangkan  IAIN menjadi Universitas. Rintisan kearah itu telah mulai di laksanakan.Perubahan tersebut tidak begitu sulit selama pihak berwenang setuju.Ada beberapa modal dasar yang dimiliki IAIN yang menjadikan landasannya bagi pengembangannya.
a.       Landasan filosofis dan konstitusional
b.      Sosiologis
c.       Edukatif
Dasar pemikiran yang paling penting tentang pembukaan IAIN ke UIN itu adalah:
a)      Integrasi antara bidang ilmu agama dengan bidang ilmu umum sehingga kedua ilmu itu menjadi menyatu sehingga tidak menjadi dikhonomi
b)      Berobahnya Madrasah sebagai sekolah yang berci khas agama Islam, sehingga tamatan Madrasah Aliyah lebih dipersiapkan untuk memasuki universitas madrasah di ajarkan ilmu-ilmu yang sama dengan apa yang di ajarkan di sekolah.
c)      Alumni UIN lebih terbuka kesempatan untuk mobilitas vertikal ketimbang alumni IAIN dan lebih beragam lapangan kerja yang bisa dimasuki mereka.
7.      Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS)
UII setelah dinegerikan menjadi PTAIN tahun 1950, kemudian PTAIN digabungkan dengan ADIA menjadi IAIN, dan dari IAIN dari fakultas-fakultas daerahnya menjadi STAIN, fakultas yang non agama UII (ekonomi, hukum, dan pendidikan) tetap menjadi fakultas swasta. Fakultas swasta menjadi berkembang dan sekarang ditambah dengan fakultas-fakultas lain.
Universitas Islam yang semacam ini sudah tersebar luas  di Indonesia, ada yang di asuh oleh organisasi-organisasi Islam dan ada pula yang brbentuk yayasan yang tidak bernaung dalam satu organisasi Islam, seperti UISU (Universitas Islam Sumatera Utara).
Universitas-Universitas Islam yang di bawah langsung organisasi Islam, tercatat misalnya Universitas Muhammadiyah, Universitas Nahdatul Ulama dll, universitas yang diasuh oleh organisasi maupun independen, fakultas keagamaan ini dibawah pengawasan Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais) pada wilayah setempat.
Untuk menetapkan ciri keislaman pada universitas-universitas Islam Swasta tersebut pendidikan agama Islam pada fakultas non keagamaan tidak hanya terbatas di beri 2 SKS saja seperti yang dilaksanakan di universitas-universitas negeri. Di universitas agama Islam swasta diberikan pendidikan agama Islam yang bervariasi di atas 2 SKS, sebagai contohnya Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Medan diberikan Pendidikan Agama Islam di setiap semesternya.
Permasalahan pokok yang belum bisa di tuntaskan oleh universitas-universitas Islam Swasta adalah inti dari permasalahannya bagaimana memasukkan nilai-nilai Islam kedalam disiplin ilmu sekuler. Praktik yang dilakukan sekarang diberbagai Universitas  Islam tersebut masih tampak pilahnya antara ilmu keagamaan dengan ilmu non keagamaan. Sebetulnya idealitasnya adalah menyatukan kedua rumpun ilmu itu dalam satu kesatuan.[14]
B.     Lembaga Pendidikan Islam Non-Formal
1.      Majlis Ta’lim
a.      Pengertian Majlis Ta’lim
Majlis ta’lim berasal dari bahasa arab yaitu majlis, yang artinya tempat duduk, dengan kata lain majlis adalah wadah atau tempat berlangsungnya kegiatan belajar yaitu: jamaah, guru, atau ustadz atau pengurus materi yang diajarkan. Definisi majlis adalah tempat untuk melaksanakan pengajaran atau pengajian Islam. Dapat diartikan lembaga pendidikan non formal Islam yang memiliki kurikulum tersendiri di selengagarakan secara berkala dan teratur, dan diikuti oleh jamaah yang relatif banyak yang bertujuan untuk membina dan menyumbangkan hubungan yang santun dan serasi antara manusia dengan allah SWT. Antara manusia dengan sesamanya, dan antara manusia dengan lingkungannya dalam rangka membina masyarakat yang bertakwa kepada Allah. [15] Majlis juga dapat dikatakan lembaga dakwah yang dapat memberikan bimbingan, penyuluhan dan pengajaran kepada masyarakat sehingga kemaslahatan umat dapat tercipta. Karean majlis merupakan lembaga yang didasarkan kepada tolong menolong dan kasih sayang.
Dari definisi-definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa: Majlis ta’lim adalah lembaga pendidikan non formal. Para pengikutnya disebut jamaah bukan pelajar atau murid, hal ini di dasarkan kepada kehadiran di majlis ta’lim tidak menempatkan kewajiban sebagaimana dengan kewajiban di sekolah.
Berdasarkan definisi-defini tersebut yang menjelaskan pengertian majlis ta’lim, maka sangat jelas sebagai lembaga agama Islam mempunyai peranan dalam membina msyarakat ke arah yang sesuai dengan norma-norma agama maupun masyarakat.
b.      Unsur-Unsur Dalam Majlis Talim
1.      Dai. Adalah seorang musslim yang memiliki syarat-sayarat dan kemampuan tertenntu yang dapat melaksanakan pengajian agama dengan baik.
2.      Jamaah atau objek dakwah. Objek dakwah merupakan tujuan utama diselenggarakanya suatu pengajian dalam majlis ta’lim sebab, materi-materi keagamaan yang diajarkan semata-mata agar mampu meresap dan dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari para jamaah
3.      Materi pengajian adalah ajaran islam yaitu semua ajaran yang datang dari allah yang dibaca oleh rasulullah untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia yang berada di muka bumi ini.
4.      Media pengajian. Agama sebagai alat objektif yang menjadi saluran untuk mengabungkan ide, dengan umat, suatu elemen yang vital dan merupakan urat nadi dalam totalitas dakwah atau pengajian.
5.      Metode pengajian. Cara yang telah diatur dan berfikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud,
6.      Fungsi majlis sebagai lembaga pendidikan, menumbuhkan kepekaan sosial dan solidaritas sosial dan ukhuwah dan persaudaraan, terjadi ikatan emosional, merasa satu rasa, dan satu nasib.[16]

c.       Perilaku Keberagamaan
1.      Demensi keyakinan : kehadiran majlis yang memberikan materidan edukasinya mengenai penjelasan tentang tuhan, alam, manusia, dan hubungan diantara mereka. Menumbuhkan sebuah pandangan yang sama sehingga muncullah keyakinan yang telah ditata dengan pengajaran yang relatif rutin.
2.      Demensi pengetahuan : pengajaran majlis mengenai pengetahuan dalam bidang keberagamaan senantiasa meningkatkan pengetahuan atau intelegensi dari anggota atau jamaahnya dengan mengacu keoada pengetahuan agama yang berasal dari teks-teks yang telah umum dikaji dikalangan masyarakat indonesia. Jamaah menyadari dan menganggap penting agama, bahkan kesakralan dalam agama dirasakan kuat oleh mereka namun masisng-masing jemaah mempunyai sudut pandang yang berbeda pada agama yang mereka anut, hal itu dipengaruhi oleh sejauh mana pengetahuan mereka mengenai agama yang mereka anut.
3.      Demensi pengalaman : lebih kepada kontinuitas pengalaman suatu ajaran agama,dengan harapan jemaah mampu mengalami keterlibatan emusional dan sentimen kepada pelaksanaan ajaran agama. Pada beberapa kegiatan mereka juga melakukan munasabah atau ibadah lain yang mampu menyentuh perasaan dan hati mereka.
4.      Demensi ritual dan konsekuensi: dalam demensi ini mungking merupakan dimensi keberagamaan yang paling sering diupayakan dalam majlis taklim mengingat tingkat pikir kaum ibu-ibu yang relatif lebih memahami agama sebagai sebuah ritual.[17]

2.      Pesantren Kilat.
a.      Pengertian
Pesantren kilat (sanlat) yang dimaksudkan di sini adalah kegiatan yang biasa dilakukan pada waktu hari libur sekolah yang seringnya diadakan pada bulan puasa dan, diisi dengan berbagai bentuk kegiatan keagamaan seperti, buka bersama, pengajian dan diskusi agama atau kitab-kitab tertentu, shalat tarawih berjama’ah, tadarus al-qur’an dan pendalamannya, dan lain sebagainya. Jelasnya, kegiatan ini merupakan bentuk kegiatan intensif yang dilakukan dalam jangka tertentu yang diikuti secara penuh oleh peserta didik selama 24 jam atau  sebagian waktu saja dengan maksud melatih mereka untuk menghidupkan hari-hari dan malam-malam bulan Ramadhan dengan kegiatan-kegiatan ibadah. Yang pasti bahwa kegiatan yang dijalankan di sini adalah mencontoh apa yang dilakukan di pesantren-pesantren pada uumnya baik yang bersifat salaf maupun yang modern.[18]

b.      Tujuan dan Target
Kegiatan pesantren kilat ini mempunyai tujuan:
1.       Memberi pemahaman yang menyeluruh tentang pentingnya menghidupkan hari-hari dan malam-malam Ramadhan dengan kegiatan-kegiatan positif (ibadah).
2.       Meningkatkan amal ibadah peserta didik dan guru atau yang lainnya pada bulam Ramadhan yang arahnya mendorong pembentukan kepribadian peserta didik baik secara rohani maupun jasmani dengan melakukan penghayatan terhadap ibadah puasa dan amal-amal ibadah yang ia kerjakan.
3.       Memberikan pemahaman yang mendalam kepada para peserta didik tentang ajaran agama dan bagaimana mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
4.       Meningkatkan syi’ar Islam baik untuk tujuan persuasif rekruitmen peserta didik dalam partisipasi kegiatan keagamaan maupun untuk tujuan pembangunan opini dan citra positif nan semarak dalam bulan puasa.
5.       Mengisi waktu luang dengan lebih memakai dan memperdalam iman dan takwa.

3.      Madrasah Diniyah
a.      Pengertian dan Lahirnya Madrasah Diniyah
Madrasah Diniyah adalah salah satu lembaga pendidikan keagamaan pada jalur luar sekolah yang diharapkan mampu secara menerus memberikan pendidikan agama Islam kepada anak didik yang tidak terpenuhi pada jalur sekolah yang diberikan melalui sistem klasikal serta menerapkan jenjang pendidikan yaitu: Madrasah Diniyah Awaliyah, dalam menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat dasar selama selama 4 (empat) tahun dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu, Madrasah Diniyah Wustho, dalam menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat menengah pertama sebagai pengembangan pengetahuan yang diperoleh pada Madrasah Diniyah Awaliyah, masa belajar selama selama 2 (dua) tahun dengan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu dan Madrasah Diniyah Ulya, dalam menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat menengah atas dengan melanjutkan dan mengembangkan pendidikan Madrasah Diniyah Wustho, masa belajar 2 (dua) tahun dengan jumlah jam belajar 18 jam per minggu.[19]
Madrasah diniyah dilihat dari stuktur bahasa arab berasal dari dua kata madrasah dan al-din. Kata madrasah dijadikan nama tempat dari asal kata darosa yang berarti belajar. Jadi madrasah mempunyai makna arti belajar, sedangkan al-din dimaknai dengan makna keagamaan. Dari dua stuktur kata yang dijadikan satu tersebut, madrasah diniyah berarti tempat belajar masalah keagamaan, dalam hal ini agama Islam.[20]
Dalam perkembangannya, Madrasah yang didalamnya terdapat sejumlah mata pelajaran umum disebut Madrasah lbtidaiyah. sedangkan Madrasah Diniyah khusus untuk pelajaran agama. Seiring dengan munculnya ide-ide pembaruan pendidikan agama, Madrasah Diniyah pun ikut serta melakukan pembaharuan dari dalam. Beberapa organisasi penyelenggaraan Madrasah Diniyah melakukan modifikasi kurikulum yang dikeluarkan Departemen Agama, namun disesuaikan dengan kondisi lingkungannya, sedangkan sebagian Madrasah Diniyah yang lainnya menggunakan kurikulum sendiri menurut kemampuan dan persepsinya masing-masing.[21]

b.      Ciri-ciri Madrasah Diniyah
Dengan meninjau secara pertumbuhan dan banyaknya aktifitas yang diselenggarakan sub-sistem Madrasah Diniyah, maka dapat dikatakan ciri-ciri ekstrakurikuler Madrasah Diniyah adalah sebagai berikut:[22]
1.      Madrasah Diniyah merupakan pelengkap dari pendidikan formal.
2.      Madrasah Diniyah merupakan spesifikasi sesuai dengan kebutuhan dan tidak memerlukan syarat yang ketat serta dapat diselenggarakan dimana saja.
3.      Madrasah Diniyah tidak dibagi atas jenjang atau kelas-kelas secara ketat.
4.      Madrasah Diniyah dalam materinya bersifat praktis dan khusus.
5.      Madrasah Diniyah waktunya relatif singkat.

c.       Madrasah Diniyah sebagai Pendidikan Non Formal
Pendidikan Nonformal adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan diniyah nonformal, dijelaskan secara detail pada pasal 21, 22, 23, 24 dan 25 dalam Undang-Undang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan Nomor 55 Tahun 2007 .
Keterangan Lebih lanjut mengenai Madrasah Diniyah sebagai Pendidikan Non Formal telah dijelaskan secara rinci dalam PP no. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan pasal 22 yaitu bahwa “Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, Majelis Taklim, Pendidikan Al Qur’an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis. Pendidikan diniyah nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk satuan pendidikan. Pendidikan diniyah nonformal yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan.”
pendidikan non formal Islam yang memiliki kurikulum tersendiri di selengagarakan secara berkala dan teratur, dan diikuti oleh jamaah yang relatif banyak yang bertujuan untuk membina dan menyumbangkan hubungan yang santun dan serasi antara manusia dengan allah SWT. Antara manusia dengan sesamanya, dan antara manusia dengan lingkungannya dalam rangka membina masyarakat yang bertakwa kepada Allah.


          
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dilihat dari bentuk dan sifat pendidikannya, lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut ada yang bersifat formal da nada pula yang bersifat nonformal. Bentuk lembaga pendidikan Islam apa pun dalam Islam harus berpijak pada prinsif-prinsif  tertentu yang telah disepakati sebelumnya, sehingga antara lembaga satu dengan lembaga lainnya tidak terjadi semacam tumpang-tindih.
Dalam perkembangan berikutnya pesantren mengalami dinamika, kemampuan dan kesediaan pesantren untuk mengadopsi nilai-nilai baru akibat modernisasi, menjadikan pesantren berkembang dari yang tradisional ke modern.
Madrasah mulai didirikan dan berkembang pada abad ke 5 H atau abad ke-10 atau ke-11 M. pada masa itu ajaran agama Islam telah berkembang secara luas dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan, dengan berbagai macam mazhab atau pemikirannya.
Madrasah diniyah dilihat dari stuktur bahasa arab berasal dari dua kata madrasah dan al-din. Kata madrasah dijadikan nama tempat dari asal kata darosa yang berarti belajar. Jadi madrasah mempunyai makna arti belajar, sedangkan al-din dimaknai dengan makna keagamaan.

B.     Saran
Di lihat dari segi kewajiban, maka kita semua dituntut untuk bersama-sama melestarikan Pendidikan yang ada di lingkungan pribadi kita sendiri maupun yang jauh dari kehidupan kita baik itu yang bersifat Formal maupu Non-Formal.




DAFTAR PUSTAKA

Daulay, Haidar Putra. 2005. Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Kencana
                                 . 2009. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
Harjanto. 2005. Perencanaan pengajaran: Komponen MKDK Materi Disesuaikan dengan Silabi Kurikulum Nasional, Jakarta: Rineka Cipta
Hasbullah. 2001. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta: Raja Grafindo Persada
Mujib, Abdul dan Muzakkir, Jusuf. 2006. Ilmu Pendidikan Islam, Cet Ke-I, Jakarta: Kencana
Nata, Abuddin. 2004. Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan Jakarta: Raja Grafindo Persada
Poerwadarminta,  W.J.S.. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia,Cet Ke-VII, Jakarta: Balai Pustaka
Yunus, Mahmud. 1996. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung
Yusuf, Tayar dan Syaiful Anwar. 1995. Metodologi Mengajar Agama dan Bahasa Arab, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Zuhairini. 2010. Sejarah Pendidikan Islam, Cet Ke- X, Jakarta: Bumi Aksara






[1] Zuhairini. 2010. Sejarah Pendidikan Islam, Cet Ke- X, (Jakarta: Bumi Aksara), hal. 192.
[2] Abdul Mujib dan Jusuf Muzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam, Cet Ke-I, (Jakarta: Kencana), hal. 223.
[3] Haidar Putra Daulay. 2009. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana), hal. 61.
[4] Ibid. hal, 21.
[5] Ibid. hal, 22.
[6] Haidar Putra Daulay, Op.Cit, hal.62-65.
[7] Ibid. hal.69.
[8] Abuddin Nata. 2004. Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 50
[9] W.J.S. Poerwadarminta. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia,Cet Ke-VII, (Jakarta: Balai Pustaka), hal. 889.
[10] Hasbullah. 2001. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 161.
[11]Ibid, hal. 68.
[12] Haidar Putra Daulay, Loc-Cit. hal. 125-124.
[13] Ibid, hal. 134-135.
[14] Ibid, hal. 140-142.
[15] Haidar Putra Daulay. 2005. Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta:Kencana), hal. 38.
[16] Ibid, hal. 39-40.
[17] Ibid, hal. 41.
[18] Harjanto. 2005. Perencanaan pengajaran: Komponen MKDK Materi Disesuaikan dengan Silabi Kurikulum Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta), hal.17.
[19] Tayar Yusuf dan Syaiful Anwat. 1995. Metodologi Mengajar Agama dan Bahasa Arab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 41.
[20] Ibid, hal. 43.
[21] Mahmud Yunus. 1996. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung), hlm. 394.
[22] Haidar Putra Daulay, Loc.Cit, hal. 45.

Kewajiban Menutup Aurat Dan Batasannya

Kewajiban Menutup Aurat Dan Batasannya السلام عليكم ورحمة الله وبركاته بِسْمِ اللهِ الرَحْمَنِ الرَّحِيْمِ، الحَمْدُ لِ...