MAKALAH
Tentang
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
DI INDONESIA
Disusun untuk melengkapi persyaratan
tugas Mata Kuliah
Sejarah Pendidikan Islam Jurusan PAI
Semester Vb
Dosen Pembimbing :
MELDA DIANA, S.Pd, MA
Disusun
Oleh :
Kelompok VIII (Delapan)
Rahmad
Junjung Lubis
Npm: 11-01-112
BADAN
LAYANAN UMUM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM MANDAILING NATAL
(BLU-STAIM)
T.A
2012-2013
KATA
PENGANTAR
Assalamu ‘Alaikum
Wr, Wb.
Alhamdulillah
puja dan puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang melimpahkan taufik dan
hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
kendatipun sangat sederhana.
Sholawat
serta salam semoga tetap tercurahkan limpahkan keharibaan junjungan kita Nabi
Muhammad SAW. sebaik-baiknya insan lintang pemimpin bagi umat manusia karena
berkat beliaulah kita masih dapat merasakan nikmatnya Islam.
Dalam makalah ini penulis membahas tentang “Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia”,Selanjutnya penulis haturkan
terima kasih kepada semua pihak yang membantu menyelesaikan makalah ini dimana
penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu namanya, dan penulis hanya bisa
mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang turut membantu dalam penulisan
makalah ini.
Penyusunan makalah
ini masih terdapat banyak kekurangan karena tidak ada kesempurnaan sedikitpun
di dunia ini. Dengan ini penulis mengharap kritik dan saran untuk lebih
memotivasi kedepan, terutama untuk dosen pembimbing sebagai pembimbing penulis.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Was-salamu ‘alaikum Wr, Wb.
Panyabungan,
26 Desember 2012
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
BAB I :
PENDAHULUAN...................................................................................
A.
Latar BelakangMasalah........................................................................ xi
B.
Rumusan Masalah................................................................................. xii
C.
Tujuan Penulisan................................................................................... xii
BAB II:
PEMBAHASAN......................................................................................
1.
Lembaga
Pendidikan Islam Formal...................................................... 1
1. Pesantren........................................................................................ 1
2. Madrasah........................................................................................ 6
3. PTAI............................................................................................... 7
2.
Lembaga
Pendidikan Islam Non-Formal............................................. 13
1. Majlis Ta’lim................................................................................... 13
2. Pesantren Kilat............................................................................... 15
3. Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA)............................................. 17
BABIII :
PENUTUP...............................................................................................
A.
Kesimpulan........................................................................................... 20
B.
Saran .................................................................................................... 20
Daftar Pustaka....................................................................................................... 21
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Persoalan pendidikan muncul seiring dengan
adanya manusia itu sendiri di atas dunia, oleh karena manusia itu merupakan
homo educandum yang artinya bahwa manusia itu pada hakekatnya merupakan makhluk
yang di samping dapat dan harus didik, juga dapat dan harus mendidik. Dengan
demikian, pernyataan ini memperluas arti pendidikan sebenarnya yang selama in
orientasi manusia terhadap dunia pendidikan adalah dunia sekolah.
Kondisi tersebut diatas, saat ini telah
banyak ditinggalkan orang-orang dan kerena beranggapan bahwa belajar di dunia
sekolah bukan satu-satunya faktor yang menentukan corak kehidupan seseorang.
Dengan lingkungan fisik, sosial, maupun budaya yang selalu berubah,
mengharuskan orang untuk terus menerus belajar agar tidak ketinggalan zaman.
Dalam konteks keindonesiaan, dikenal juga
pendidikan seperti yang dimakud di atas yakni sebutan pendidikan luar sekolah.
Bahkan secara yuridis formal, pendidikan luar sekolah ini diatur dalam
Undang-Undang RI tentang sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan luar sekolah
secara umum dapat dibagi menjadi pendidikan Informal dan non formal, sedangkan
pendidikan sekolah lebih dikenal dengan pendidikan formal.
Makalah ini akan membahas khusus tentang
Pendidikan Islam formal dan non formal
yang berupa Pesantren, Madrasah, PTAI, Majlis Ta’lim, Pesantren Kilat,dan
Madrasah Diniyah Awaliyah. Baik dilihat dari segi perkembangannya di Indonesia
maupun ditinjau dari segi pengaruhnya bagi pendidikan Islam di Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
3. Lembaga Pendidikan Islam Formal
4. Lembaga Pendidikan Islam Non-Formal
C.
Tujuan Penulisan
1. Sebagai bahan pelengkap untuk mengajukan
persyaratan mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam semester V di BLU-STAIM.
2. Untuk menambah wawasan penulis tentang
judul yang terkait agar dpat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
3. Memberi sedikit pemahaman dan penjelasan
secara detail kepada audentsi dalam melakukan presentase pemakalah kelompok
VIII.
BAB II
LEMBAGA
PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Sejak zaman
sebelum kemerdekaan Indonesia sampai sekarang banyak terdapat lembaga
pendidikan Islam yang memegang peranan sangat penting dalam rangka penyebaran
ajaran Islam di Indonesia. Di samping peranannya yang cukup menentukan dalam
membangkitkan sikap patriotism dan nasionalisme sebagai modal mencapai
kemerdekaan Indonesia serta menunjuang tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Dilihat dari bentuk dan sifat
pendidikannya, lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut ada yang bersifat
formal da nada pula yang bersifat nonformal. Bentuk lembaga pendidikan Islam
apa pun dalam Islam harus berpijak pada prinsif-prinsif tertentu yang telah disepakati sebelumnya,
sehingga antara lembaga satu dengan lembaga lainnya tidak terjadi semacam
tumpang-tindih.
A.
Lembaga Pendidikan Islam Formal
1.
Pesantren
a.
Pengertian
Perkataan
pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an
yang berarti tempat tinggal santri. Dalam buku sejarah pertumbuhan dan
pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia, penulis mendapati banyak sekali yang
mengeluarkan pendapat tentang pengertian dari pesantren ini. Salah satunya,
Manfred Ziemek mengatakan bahwa asal etimologi
pesantren adalah pesantrian yang berarti “Tempat santri”. Santri atau
murid mendapat pelajaran dari pimpinan pesantern (kiai) dan oleh para guru
(ulama atau ustadz) serta pelajarannya mencakup berbagai bidang tentang
pengetahan Islam.
Ditinjau dari
segi sejarah, belum ditemukan data sejarah, kapan pertama sekali berdirinya
pesantren, ada yang pendapat mengatakan bahwa pesantren telah tumbuh sejak awal
masuknya Islam ke Indonesia, sementra yang lain berpendapat pesantren baru
muncul pada masa Walisongo dan Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai orang
yang pertama mendirikan pesantren.
Dalam
perkembangan berikutnya pesantren mengalami dinamika, kemampuan dan kesediaan pesantren
untuk mengadopsi nilai-nilai baru akibat modernisasi, menjadikan pesantren
berkembang dari yang tradisional ke modern. Karena itu hingga saat sekarang
pesantren tersebut dibagi dua secara garis besar.Pertama pesantren Salafi, dan
yang kedua pesantren Khalafi.Pesantren Salafi adalah pesantren yang
masih terkait dengan system dan pola lama, sedangkan pesantren Khalafi adalah
pesantren yang telah menerima unsur-unsur pembaruan.
b. Prinsip
Dan Unsur Pendidikan Pesantren
Walaupun
setiap pesantren mempunyai ciri khas masing-masing namun ada lima prinsip dasar
pendidikannya yang tetap sama, yaitu:
1. Adanya
hubungan yang akrab antara santri dan Kiyai
2. Santri
taat dan patuh kepada Kiyainya, karena kebijaksanaan yang dimiliki oleh Kiai
3. Santri
hidup secara mandiri dan sederhana
4. Adanya
semangat gotong royong dalam suasana penuh persaudaraan.
5. Para
santri terlatih hidup berdisiplin dan tirakat
Pada umunya pesantren terdiri dari
beberapa element atau unsure, yaitu:
1.
Pondok
Pondok
pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang lebih menekankan
aspek moralitas kepada santri dalam kehidupan ini karenanya untuk nilai-nilai
tersebut diperlukan bimbingan yang matang kepada santri, untuk memudahkan itu
diperlukan sebuah asrama sebagai tempat tinggal dan belajar di bawah bimbingan
seorang kiayi.
2.
Masjid
Masjid
merupakan elemen yang paling penting, sebab masjid merupakan tempat pusat
kegiatan yang ada bagi umat Islam.Masjid di jadikan sebagai pusat pendidikan.
Seorang kiyai yang ingin mengembangkan pasantren, bisanya yang pertama
didirikan adalah masjid di dekat rumahnya, karena dengan demikian berarti Ia
telah memulai sesuatu dengan simbol keagaman, yaitu Masjid yang merupakan rumah
Allah, dimana di dalamnya dipenuhi dengan rahmat dan ridho Allah SWT .
3.
Santri
Santri adalah
siswa yang tinggal di pesantrenseorang santri harus memperoleh kerelaan sang
kyai, dengan mengikuti segenap kehendaknya dan melayani segenap kepentingannya.
Pelayanan harus dianggap sebagai tugas kehormatan yang mrupakan ukuran
penyerahan diri itu. Kerelaan kyai ini, yang dikenal dipesantren dengan nama
“barokah”, adalah alasan tempat berpijaknya santri di dalam menuntut ilmu.
4.
Kitab kuning
Kitab Kuning,
pada umumnya dipahami sebagai kitab- kitab keagamaan berbahasa Arab, mengunakan
aksara Arab, yang dihasilkan oleh para ulama dan pemikir muslim lainnya di masa
lampau, hususnya yang berasal dari Timur Tengah. Kitab Kuning mempunyai format
sendiri yang khas dan warna kertas “kekuning-kuningan”.pada umunya isinya
menyinggung masalah syaria’at atau fiqih dan masalah-masalah keimanan.
5.
Kiayi
Kyai merupakan
unsur kunci dalam pesantren, karena itu sikap hormat (takzim) dan kepatuhan
mutlak terhadap kyai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan kepada
santri.Kyai dengan karomahnya, adalah orang yang senantiasa dapat memahami
keagungan Allah dan rahasia alam.Dengan demikian, kyai dianggap memiliki
kedudukan yang tidak terjangkau, utamanya oleh orang biasa.Karena karomahnya,
santri dan masyarakat menyerahkan kekuasaan yang luas pada kyai, dan biasanya
mereka percaya hanya orang-orang tertentu yang bisa mewarisi karomahnya
tersebut seperi keturunannya dan santri kepercayaannya.
c.
Pola Pendidikan Pesantren
Pendidikan dan
ajaran islam diberikan melalui pemberian contoh, perbuatan dan sauri teladan.
Para guru yang juga kiayi berlaku sopan santun, ramah-tamah, tulus ikhlas,
amanah percaya, welas asih, jujur adil, tepat janji serta menghormati adat
istiadat dan orang lain. Pada awalnya pendidikan islam dilakukan di
surau-surau, langgar masjid atau bahkan di serambi rumah sang guru. Disana
murid-murid belajar mengaji.Waktu belajarnya biasanya pada waktu petang atau
malam hari. Mereka duduk dilantai, melingkar menghadap sang guru dan belajar
membaca Al-Qur’an. Tempat-tempat pendidikan islam seperti ini yang menjdi
cikal-bakal pendidikan pesantren.
System
pendidikan pesantren masih sama seperti system pendidikan di surau atau langgar
masjid, hanya saja lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama.Pada awalnya
tujuan pokok dari pesantren adalah agar anak-anak dapat membaca Al-Qur’an dan
mengetahui pokok-pokok ajaran islam yang perlu dilaksanakan sehari-hari,
seperti shalat, puasa, dan zakat, maka sekarang disamping memberi pokok ajaran
itu juga diberikan ilmu dan alat untuk mempelajari agama Islam dari sumber yang
asli yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Alat yang digunakan untuk mendalami itu adalah
bahasa arab. Dengan menguasai bahasa arab orang akan dapat menggali
ajaran-ajaran islam dari sumbernya, sehingga dapat mengembangkan agama islam
dengan lebih baik.
Ada dua metode
yang sering digunakan dalam pendidikan pesantren, yaitu:
1) Metode Wetonan
Yaitu metode
dimana Kiai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, dan santri dengan membawa
kitab yang sama mendengarkan dan menyimak bacaan kiai tersebut. Dalam sistem
pengajaran yang semacam ini tidak mengenal absen. Santri boleh datang dan tidak
boleh datang, juga tidak ada ujian. Apakah santri itu memahami apa yang dibaca
Kiai atau tidak, hal itu tidak bisa diketahui. Dalam hal ini dapat dikatakan
bahwa sistem pengajaran di Pondok Pesantren itu adalah bebas, yaitu bebas
mengikuti kegiatan belajar dan bebas untuk tidak mengikuti kegiatan belajar.
2) Metode Sorongan
Yaitu metode
dimana santri (biasanya yang pandai) menyedorkan sebuah kitab kepada kiai untuk
dibaca di hadapan kiai itu.Dan kalau ada kesalahan langsung dibetulkan oleh
kiai itu. Di Pondok Pesantren yang besar, mungkin untuk dapat tampil di depan
kiainya dalam membawakan/ menyajikan materi yang ingin disampaikan, dengan
demikian santri akan dapat memahami dengan cepat terhadap suatu topik yang
telah ada papa kitab yang dipegangnya.
2.
Madrasah
a.
Pengertian
Kata madrasah
dalam bahasa Arab berarti tempat atau wahana untuk mengenyam proses
pembelajaran.Dalam
bahasa Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan atau
lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran.
Dari pengertian
di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah atau tempat belajar ilmu-imu
keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya yang berkembang pada
zamannya.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah madrasah bersumber
dari Islam itu sendiri.
b.
Latar Belakang Timbulnya Madrasah
Madrasah mulai
didirikan dan berkembang pada abad ke 5 H atau abad ke-10 atau ke-11 M. pada
masa itu ajaran agama Islam telah berkembang secara luas dalam berbagai macam
bidang ilmu pengetahuan, dengan berbagai macam mazhab atau pemikirannya.
Pembagian bidang ilmu pengetahuan tersebut bukan saja meliputi ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan al-Qur’an dan hadis, seperti ilmu-ilmu al-Qur’an, hadits,
fiqh, ilmu kalam, maupun ilmu tasawwuf tetapi juga bidang-bidang filsafat, astronomi,
kedokteran, matematika dan berbagai bidang ilmu-ilmu alam dan kemasyarakatan.
Aliran-aliran
yang timbul akibat dari perkembangan tersebut saling berebutan pengaruh di
kalangan umat Islam, dan berusaha mengembangkan aliran dan mazhabnya masing-masing.Maka
terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok pikiran, mazhab atau
aliran.Itulah sebabnya sebahagian besar madrasah didirikan pada masa itu
dihubungkan dengan nama-nama mazhab yang masyhur pada masanya, misalnya
madrasah Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah atau Hanbaliyah.
c.
PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam)
Ada beberapa lembaga dari perguruan
tinggi islam, yaitu:
1. Pendidikan
Tinggi Islam
Mahmud Yunus
mengemukakan bahwa di Padang Sumatera Barat pada tanggal 9 Desember 1940 telah
berdiri perguruan tinggi Islam yang dipelopori oleh Persatuan Guru-Guru Agama
Islam (PGAI). Menurut Mahmud Yunus perguruan tinggi yang pertama di Sumatera
Barat bahkan di Indonesia.Tetapi, ketika Jepang masuk ke Sumatera Barat pada
tahun 1941, pendidikan tinggi ditutup sebab Jepang hanya mengizinkan di buka
tingkat dasar dan menengah. Pendidikan ini di buka dari dua fakultas,
yaitu:
a. Fakultas
Syari’ah (Agama)
b. Fakultas
Pendidikan dan Bahasa Arab
Untuk lebih
meningkatkan efektivitas keluasan jangkauan maka muncullah untuk mengubah
menjadi univesitas.Dan kemudian menjadian menjadi Universitas Islam Indonesia
(UII) dengan membuka 4 fakultas, yaitu Agama, Hukum, Pendidikan, Ekonomi.Dalam
perkembangan berikutnya fakultas agama UII ini di negerikan, sehingga ia
terpisah dari UII menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri)
2. Perguruan
Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)
PTAIN yang
berdiri diresmikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1950, baru
beroperasi secara praktis pada tahun 1951.Dimulailah perkuliahan perdana pada
tahun tersebut dengan jumlah siswa 67 orang dan 28 orang siswa persiapan dengan
pimpinan fakultasnya adalah KH.Adnan.
PTAIN ini
mempunyai jurusan Tarbiyah, Qadha, dan Dakwah dengan lama belajar 4 tahun pada
tinggkat bakalaureat dan doktoral. Mata
pelajaran agama di dampingi mata
pelajaran umum terutama yang berkenaan dengan jurusan. Mahasiswa
Jurusan Tarbiyah diperlukan pengetahuan umum mengenai ilmu pendidikan, dan
begitu juga jurusan lainnya diberikan pula pengetahuan umum yang sesuai dengan jurusannya.
3. Akademi Dinas
Ilmu Agama (ADIA)
Dengan di
tetapkannya peraturan bersama Menteri Agama, Pendidikan Pengajaran dan
Kebudayaan pada tahun 1951 No.K/651 tanggal 20 Januari 1951(Agama) dan No.
143/K tanggal 20 Januari 1951 (pendidikan), maka pendidikan agama dengan resmi
di masukkan kesekolah-sekolah negeri dan swasta.Berkenaan dengan itu, dan
berkaitan dengan peraturan-peraturan sebelumnya, maka departemen agama untuk
kesuksesan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Sehubungan dengan itu untuk
merealisasikan salah satu tugas tersebut pemerintah mendirikan Akademi Dinas
Ilmu Agama (ADIA) dengan maksud dan tujuan guna mendidik dan mempesiapkan
pegawai negeri akan mencapai ijazah pendidikan semi akademi dan akademi untuk
dijadikan ahli didik agama pada sekolah-sekolah lanjutan, baik umum maupun
kejuruan dan agama.
Lama belajar di
ADIA 5 tahun yang dibagi kepada 2 tingkatan, tingkatan semi akedemik belajar 3
tahun, sedangkan tingkatan akademik lama bnelajarnya 2 tahun. Masing-masing
tingkat terdiri dari 2 jurusan, yakni jurusan pendidikan agama dan jurusan
sastra Arab.Syarat
untuk diterima menjadi mahasiswa ADIA adalah lulusan atau berijazah SGAA, PGAA,
atau PHIN, mempunyai masa kerja sekurang-kurangnya 2 tahun dan berumur tidak
lebih dari 30 tahun.
4. Institut Agama
Islam Negeri (IAIN)
Setelah PTAIN
berusaha kuranag lebih 9 tahun, maka lembaga pendidikan tinggi di maksud telah
mengalami perkembangan. Dengan
perkembangan tersebut dirasakan bahwa tidak mampu menampung keluasan cakupan
ilmu-ilmu keislaman tersebut kalau hanya berada di bawah satuan payung fakultas
saja.Berkenaan dengan itu timbullah ide-ide, gagasan-gagasan untuk
mengembangkan cakupan PTAIN kepada yang lebih luas.
Untuk
menciptakan IAIN memerlukan proses yang cukup serius, ringkasnya penggabungan
dua lembaga yang pada mulanya berdiri masing-masing PTAIN dan ADIA ,
berdasarkan pasal 2 peraturan Perisiden No. 11 Tahun 1960 tersebut Mentari Agama
mengeluarkan sebuah ketetapan Menteri Agama No. 43 Tahun 1960 tentang
penyelenggaraan Institut Agama Islam Negeri dan sebagai pelaksanaannya di
keluarkanlah Peraturan Menteri Agama No. 8 tahun 1961 tentang pelaksanaan
penyelenggaraan IAIN.
5. Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN)
IAIN-IAIN pada
awalnya cabang dari Yogyakarta atau Jakarta menjadi IAIN yang berdiri
sendiri.Demikianlah hingga tahu 1973 IAIN tercatat 14 di seluruh Indonesia.
IAIN yang
berdidri sendiri itu, berdasarkan kebutuhan berbagai daerah membuka cabang pula
di luar IAIN induknya sehingga IAIN menjadi berkembang di berbagai daerah, dalam
perkembangan itu muncullah duplikasi fakultas.
Untuk menyahuti
jiwa dan peraturan, yakni untuk menghindari terjadinya duplikasi tersebut serta
untuk menjadikan fakultas-fakultas tersebut mandiri dan lebih dapat
mengembangkan diri tidak terikat kepada peraturan yang mengengkang oleh IAIN
induknya maka, maka fakultas-fakultas tersebut dilepasskan dari IAIN induknya
masing-masing yang secara administrasi tidak lagi memiliki ikatan dengan IAIN
induknya masing-masing. Setelah dipisahkan itu bernamalah lembaga ini menjadi
STAIN.Yang dulunya bernama Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara
Padangsidimpuan, berubah menjadi STAIN Padangsidimpuan, demikian seterusnya.
Beda IAIN
dengan STAIN adalah jika Institut menyelenggarakan program akademik dan/atau
profesional dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau
kesenian yang sejenis.Sedangkan sekolah tinggi menyelenggarakan program
pendidikan akademik dan/profesional dalam lingkup satu disiplin ilmu tertentu.
6. Universitas
Islam Negeri
Beberapa tahun
belakangan ini ada pikiran yang ingin mengembangkan IAIN menjadi
Universitas. Rintisan kearah itu telah mulai di laksanakan.Perubahan tersebut
tidak begitu sulit selama pihak berwenang setuju.Ada beberapa modal dasar yang
dimiliki IAIN yang menjadikan landasannya bagi pengembangannya.
a. Landasan
filosofis dan konstitusional
b. Sosiologis
c. Edukatif
Dasar pemikiran
yang paling penting tentang pembukaan IAIN ke UIN itu adalah:
a) Integrasi
antara bidang ilmu agama dengan bidang ilmu umum sehingga kedua ilmu itu menjadi
menyatu sehingga tidak menjadi dikhonomi
b) Berobahnya
Madrasah sebagai sekolah yang berci khas agama Islam, sehingga tamatan Madrasah
Aliyah lebih dipersiapkan untuk memasuki universitas madrasah di ajarkan
ilmu-ilmu yang sama dengan apa yang di ajarkan di sekolah.
c) Alumni UIN
lebih terbuka kesempatan untuk mobilitas vertikal ketimbang alumni IAIN dan
lebih beragam lapangan kerja yang bisa dimasuki mereka.
7. Perguruan
Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS)
UII setelah
dinegerikan menjadi PTAIN tahun 1950, kemudian PTAIN digabungkan dengan ADIA
menjadi IAIN, dan dari IAIN dari fakultas-fakultas daerahnya menjadi STAIN,
fakultas yang non agama UII (ekonomi, hukum, dan pendidikan) tetap menjadi
fakultas swasta. Fakultas swasta menjadi berkembang dan sekarang ditambah
dengan fakultas-fakultas lain.
Universitas
Islam yang semacam ini sudah tersebar luas di Indonesia, ada yang di asuh
oleh organisasi-organisasi Islam dan ada pula yang brbentuk yayasan yang tidak
bernaung dalam satu organisasi Islam, seperti UISU (Universitas Islam Sumatera
Utara).
Universitas-Universitas
Islam yang di bawah langsung organisasi Islam, tercatat misalnya Universitas
Muhammadiyah, Universitas Nahdatul Ulama dll, universitas yang diasuh oleh
organisasi maupun independen, fakultas keagamaan ini dibawah pengawasan
Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais) pada wilayah
setempat.
Untuk
menetapkan ciri keislaman pada universitas-universitas Islam Swasta tersebut
pendidikan agama Islam pada fakultas non keagamaan tidak hanya terbatas di beri
2 SKS saja seperti yang dilaksanakan di universitas-universitas negeri. Di
universitas agama Islam swasta diberikan pendidikan agama Islam yang bervariasi
di atas 2 SKS, sebagai contohnya Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Medan
diberikan Pendidikan Agama Islam di setiap semesternya.
Permasalahan
pokok yang belum bisa di tuntaskan oleh universitas-universitas Islam Swasta
adalah inti dari permasalahannya bagaimana memasukkan nilai-nilai Islam kedalam
disiplin ilmu sekuler. Praktik yang dilakukan sekarang diberbagai
Universitas Islam tersebut masih tampak pilahnya antara ilmu keagamaan
dengan ilmu non keagamaan. Sebetulnya idealitasnya adalah menyatukan kedua
rumpun ilmu itu dalam satu kesatuan.
B.
Lembaga Pendidikan Islam Non-Formal
1. Majlis Ta’lim
a.
Pengertian Majlis Ta’lim
Majlis ta’lim berasal dari bahasa
arab yaitu majlis, yang artinya tempat duduk, dengan kata lain majlis adalah
wadah atau tempat berlangsungnya kegiatan belajar yaitu: jamaah, guru, atau
ustadz atau pengurus materi yang diajarkan. Definisi majlis adalah tempat untuk
melaksanakan pengajaran atau pengajian Islam. Dapat diartikan lembaga
pendidikan non formal Islam yang memiliki kurikulum tersendiri di
selengagarakan secara berkala dan teratur, dan diikuti oleh jamaah yang relatif
banyak yang bertujuan untuk membina dan menyumbangkan hubungan yang santun dan
serasi antara manusia dengan allah SWT. Antara manusia dengan sesamanya, dan
antara manusia dengan lingkungannya dalam rangka membina masyarakat yang
bertakwa kepada Allah.
Majlis juga dapat dikatakan lembaga dakwah yang dapat memberikan bimbingan,
penyuluhan dan pengajaran kepada masyarakat sehingga kemaslahatan umat dapat
tercipta. Karean majlis merupakan lembaga yang didasarkan kepada tolong
menolong dan kasih sayang.
Dari definisi-definisi diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa: Majlis
ta’lim adalah lembaga pendidikan non formal. Para pengikutnya disebut jamaah
bukan pelajar atau murid, hal ini di dasarkan kepada kehadiran di majlis ta’lim
tidak menempatkan kewajiban sebagaimana dengan kewajiban di sekolah.
Berdasarkan definisi-defini
tersebut yang menjelaskan pengertian majlis ta’lim, maka sangat jelas sebagai
lembaga agama Islam mempunyai peranan dalam membina msyarakat ke arah yang
sesuai dengan norma-norma agama maupun masyarakat.
b.
Unsur-Unsur Dalam Majlis Talim
1. Dai. Adalah seorang musslim yang
memiliki syarat-sayarat dan kemampuan tertenntu yang dapat melaksanakan
pengajian agama dengan baik.
2. Jamaah atau objek dakwah. Objek dakwah
merupakan tujuan utama diselenggarakanya suatu pengajian dalam majlis ta’lim
sebab, materi-materi keagamaan yang diajarkan semata-mata agar mampu meresap
dan dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari para jamaah
3. Materi pengajian adalah ajaran islam
yaitu semua ajaran yang datang dari allah yang dibaca oleh rasulullah untuk
disampaikan kepada seluruh umat manusia yang berada di muka bumi ini.
4. Media pengajian. Agama sebagai alat
objektif yang menjadi saluran untuk mengabungkan ide, dengan umat, suatu elemen
yang vital dan merupakan urat nadi dalam totalitas dakwah atau pengajian.
5. Metode pengajian. Cara yang telah diatur
dan berfikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud,
6. Fungsi majlis sebagai lembaga
pendidikan, menumbuhkan kepekaan sosial dan solidaritas sosial dan ukhuwah dan
persaudaraan, terjadi ikatan emosional, merasa satu rasa, dan satu nasib.
c.
Perilaku Keberagamaan
1. Demensi keyakinan : kehadiran majlis
yang memberikan materidan edukasinya mengenai penjelasan tentang tuhan, alam,
manusia, dan hubungan diantara mereka. Menumbuhkan sebuah pandangan yang sama
sehingga muncullah keyakinan yang telah ditata dengan pengajaran yang relatif
rutin.
2. Demensi pengetahuan : pengajaran majlis
mengenai pengetahuan dalam bidang keberagamaan senantiasa meningkatkan
pengetahuan atau intelegensi dari anggota atau jamaahnya dengan mengacu keoada
pengetahuan agama yang berasal dari teks-teks yang telah umum dikaji dikalangan
masyarakat indonesia. Jamaah menyadari dan menganggap penting agama, bahkan
kesakralan dalam agama dirasakan kuat oleh mereka namun masisng-masing jemaah
mempunyai sudut pandang yang berbeda pada agama yang mereka anut, hal itu
dipengaruhi oleh sejauh mana pengetahuan mereka mengenai agama yang mereka
anut.
3. Demensi pengalaman : lebih kepada
kontinuitas pengalaman suatu ajaran agama,dengan harapan jemaah mampu mengalami
keterlibatan emusional dan sentimen kepada pelaksanaan ajaran agama. Pada
beberapa kegiatan mereka juga melakukan munasabah atau ibadah lain yang mampu
menyentuh perasaan dan hati mereka.
4. Demensi ritual dan konsekuensi: dalam
demensi ini mungking merupakan dimensi keberagamaan yang paling sering
diupayakan dalam majlis taklim mengingat tingkat pikir kaum ibu-ibu yang
relatif lebih memahami agama sebagai sebuah ritual.
2.
Pesantren Kilat.
a.
Pengertian
Pesantren
kilat (sanlat) yang dimaksudkan di sini adalah kegiatan yang biasa dilakukan
pada waktu hari libur sekolah yang seringnya diadakan pada bulan puasa dan,
diisi dengan berbagai bentuk kegiatan keagamaan seperti, buka bersama,
pengajian dan diskusi agama atau kitab-kitab tertentu, shalat tarawih
berjama’ah, tadarus al-qur’an dan pendalamannya, dan lain sebagainya. Jelasnya,
kegiatan ini merupakan bentuk kegiatan intensif yang dilakukan dalam jangka
tertentu yang diikuti secara penuh oleh peserta didik selama 24 jam atau sebagian waktu saja dengan maksud melatih
mereka untuk menghidupkan hari-hari dan malam-malam bulan Ramadhan dengan
kegiatan-kegiatan ibadah. Yang pasti bahwa kegiatan yang dijalankan di sini adalah mencontoh apa yang dilakukan di pesantren-pesantren
pada uumnya baik yang bersifat salaf maupun yang modern.
b.
Tujuan dan Target
Kegiatan pesantren kilat ini
mempunyai tujuan:
1.
Memberi pemahaman yang menyeluruh tentang
pentingnya menghidupkan hari-hari dan malam-malam Ramadhan dengan kegiatan-kegiatan
positif (ibadah).
2.
Meningkatkan amal ibadah peserta didik dan
guru atau yang lainnya pada bulam Ramadhan yang arahnya mendorong pembentukan
kepribadian peserta didik baik secara rohani maupun jasmani dengan melakukan
penghayatan terhadap ibadah puasa dan amal-amal
ibadah yang ia kerjakan.
3.
Memberikan pemahaman yang mendalam kepada
para peserta didik tentang ajaran agama dan bagaimana mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari.
4.
Meningkatkan syi’ar Islam baik untuk
tujuan persuasif rekruitmen peserta didik dalam partisipasi kegiatan keagamaan
maupun untuk tujuan pembangunan opini dan citra positif nan semarak dalam bulan
puasa.
5.
Mengisi waktu luang dengan lebih memakai
dan memperdalam iman dan takwa.
3.
Madrasah Diniyah
a.
Pengertian dan Lahirnya Madrasah Diniyah
Madrasah Diniyah adalah salah satu
lembaga pendidikan keagamaan pada jalur luar sekolah yang diharapkan mampu
secara menerus memberikan pendidikan agama Islam kepada anak didik yang tidak
terpenuhi pada jalur sekolah yang diberikan melalui sistem klasikal serta
menerapkan jenjang pendidikan yaitu: Madrasah Diniyah Awaliyah, dalam
menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat dasar selama selama 4 (empat)
tahun dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu, Madrasah Diniyah Wustho,
dalam menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat menengah pertama sebagai
pengembangan pengetahuan yang diperoleh pada Madrasah Diniyah Awaliyah, masa
belajar selama selama 2 (dua) tahun dengan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran
seminggu dan Madrasah Diniyah Ulya, dalam menyelenggarakan pendidikan agama
Islam tingkat menengah atas dengan melanjutkan dan mengembangkan pendidikan
Madrasah Diniyah Wustho, masa belajar 2 (dua) tahun dengan jumlah jam belajar
18 jam per minggu.
Madrasah diniyah dilihat dari
stuktur bahasa arab berasal dari dua kata madrasah dan al-din. Kata
madrasah dijadikan nama tempat dari asal kata darosa yang berarti belajar. Jadi
madrasah mempunyai makna arti belajar, sedangkan al-din dimaknai dengan makna
keagamaan. Dari dua stuktur kata yang dijadikan satu tersebut, madrasah diniyah
berarti tempat belajar masalah keagamaan, dalam hal ini agama Islam.
Dalam
perkembangannya, Madrasah yang didalamnya terdapat sejumlah mata pelajaran umum
disebut Madrasah lbtidaiyah. sedangkan Madrasah Diniyah khusus untuk pelajaran
agama. Seiring dengan munculnya ide-ide pembaruan pendidikan agama, Madrasah
Diniyah pun ikut serta melakukan pembaharuan dari dalam. Beberapa organisasi
penyelenggaraan Madrasah Diniyah melakukan modifikasi kurikulum yang
dikeluarkan Departemen Agama, namun disesuaikan dengan kondisi lingkungannya,
sedangkan sebagian Madrasah Diniyah yang lainnya menggunakan kurikulum sendiri
menurut kemampuan dan persepsinya masing-masing.
b.
Ciri-ciri Madrasah Diniyah
Dengan meninjau
secara pertumbuhan dan banyaknya aktifitas yang diselenggarakan sub-sistem
Madrasah Diniyah, maka dapat dikatakan ciri-ciri ekstrakurikuler Madrasah
Diniyah adalah sebagai berikut:
1. Madrasah Diniyah
merupakan pelengkap dari pendidikan formal.
2. Madrasah Diniyah
merupakan spesifikasi sesuai dengan kebutuhan dan tidak memerlukan syarat yang
ketat serta dapat diselenggarakan dimana saja.
3. Madrasah Diniyah
tidak dibagi atas jenjang atau kelas-kelas secara ketat.
4. Madrasah Diniyah
dalam materinya bersifat praktis dan khusus.
5. Madrasah Diniyah
waktunya relatif singkat.
c.
Madrasah Diniyah sebagai Pendidikan Non
Formal
Pendidikan Nonformal
adalah jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara
terstruktur dan berjenjang. Pendidikan diniyah nonformal, dijelaskan secara
detail pada pasal 21, 22, 23, 24 dan 25 dalam Undang-Undang Pendidikan Agama
Dan Pendidikan Keagamaan Nomor 55 Tahun 2007 .
Keterangan Lebih
lanjut mengenai Madrasah Diniyah sebagai Pendidikan Non Formal telah dijelaskan
secara rinci dalam PP no. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan
pasal 22 yaitu bahwa “Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk
pengajian kitab, Majelis Taklim, Pendidikan Al Qur’an, Diniyah Takmiliyah, atau
bentuk lain yang sejenis. Pendidikan diniyah nonformal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berbentuk satuan pendidikan. Pendidikan diniyah nonformal
yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan
pendirian satuan pendidikan.”
pendidikan non formal Islam yang
memiliki kurikulum tersendiri di selengagarakan secara berkala dan teratur, dan
diikuti oleh jamaah yang relatif banyak yang bertujuan untuk membina dan
menyumbangkan hubungan yang santun dan serasi antara manusia dengan allah SWT.
Antara manusia dengan sesamanya, dan antara manusia dengan lingkungannya dalam
rangka membina masyarakat yang bertakwa kepada Allah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dilihat dari
bentuk dan sifat pendidikannya, lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut ada
yang bersifat formal da nada pula yang bersifat nonformal. Bentuk lembaga
pendidikan Islam apa pun dalam Islam harus berpijak pada prinsif-prinsif tertentu yang telah disepakati sebelumnya,
sehingga antara lembaga satu dengan lembaga lainnya tidak terjadi semacam
tumpang-tindih.
Dalam
perkembangan berikutnya pesantren mengalami dinamika, kemampuan dan kesediaan
pesantren untuk mengadopsi nilai-nilai baru akibat modernisasi, menjadikan
pesantren berkembang dari yang tradisional ke modern.
Madrasah mulai
didirikan dan berkembang pada abad ke 5 H atau abad ke-10 atau ke-11 M. pada
masa itu ajaran agama Islam telah berkembang secara luas dalam berbagai macam
bidang ilmu pengetahuan, dengan berbagai macam mazhab atau pemikirannya.
Madrasah diniyah dilihat dari
stuktur bahasa arab berasal dari dua kata madrasah dan al-din. Kata
madrasah dijadikan nama tempat dari asal kata darosa yang berarti belajar. Jadi
madrasah mempunyai makna arti belajar, sedangkan al-din dimaknai dengan makna
keagamaan.
B.
Saran
Di lihat dari
segi kewajiban, maka kita semua dituntut untuk bersama-sama melestarikan
Pendidikan yang ada di lingkungan pribadi kita sendiri maupun yang jauh dari
kehidupan kita baik itu yang bersifat Formal maupu Non-Formal.
DAFTAR
PUSTAKA
Daulay,
Haidar Putra. 2005. Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta:
Kencana
. 2009. Sejarah Pertumbuhan dan
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
Harjanto. 2005. Perencanaan pengajaran: Komponen MKDK Materi Disesuaikan dengan Silabi
Kurikulum Nasional, Jakarta: Rineka Cipta
Hasbullah. 2001. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta: Raja Grafindo Persada
Mujib,
Abdul dan Muzakkir, Jusuf. 2006. Ilmu Pendidikan Islam, Cet Ke-I, Jakarta:
Kencana
Nata, Abuddin. 2004. Sejarah
Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Poerwadarminta, W.J.S.. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia,Cet
Ke-VII, Jakarta: Balai Pustaka
Yunus, Mahmud. 1996. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung
Yusuf, Tayar dan Syaiful Anwar.
1995. Metodologi Mengajar Agama dan
Bahasa Arab, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Zuhairini.
2010. Sejarah Pendidikan Islam, Cet Ke- X, Jakarta: Bumi Aksara
Haidar Putra Daulay, Loc-Cit. hal. 125-124.